Tampilkan postingan dengan label Tazkiyatun Nafs. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tazkiyatun Nafs. Tampilkan semua postingan
Bagaimana Cara Membangun Visi Hidup

Bagaimana Cara Membangun Visi Hidup


Membangun Visi Hidup Lebih Bernas." Sesungguhnya tujuan puncak seorang Muslim dalam kehidupannya di dunia adalah menggapai ridha Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Dengan ridha-Nya semua kebutuhan manusia secara jasmani dan ruhani terpenuhi. Bahagia di dunia dan selamat di akhirat.

Secara individu semua orang ingin merasakan kehidupan yang berbobot (hayatan thayyiban), keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, perkampungan yang diberkahi, negeri yang adil dan makmur, beberapa negara yang sejahtera dan penuh ampunan-Nya.

Kualitas kehidupan kita baik secara infiradi dan jama'i, baik dalam aspek ideologi,  sosial, politik, pendidikan, kebudayaaan, pertahanan keamanan berbanding lurus dengan bobot moralitas kita. Nilai-nilai ketuhanan searah dengan nilai-nilai produktifitas (ekonomi berkah).

"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Al Araf (7) : 96).

Sasaran keimanan pada ayat di atas adalah person (ahlun) dan diperagakan dalam sebuah lingkungan sosial tersendiri (al Qura). Kawasan yang tidak terkontaminasi oleh hukmul jahiliyah, dhannul jahilyyah, hamiyyatul jahiliyyah dan tabarrujul jahiliyah.

Karena Islam adalah agama dakwah dan dinul intisyar (agama yang harus disebar). Seorang mukmin itu akan terpelihara idealismenya jika didukung oleh orang-orang terdekatnya. Minimal anak dan istri dan tetangga.

Jadi, keridhaan Allah Subhanhu Wa Ta'ala akan menjamin kehidupan seorang Muslim secara utuh dan seimbang. Potensi manusia akan digali secara optimal dan maksimal. Tidak ada sisi-sisi tertentu yang ditonjolkan, sementara mengabaikan aspek yang lain. Tidak ada dikotomi dalam ajaran Islam. Islam mewadahi potensi ijtihad, mujahadah dan jihad secara sinergis.

"Ingatlah para kekasih Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.  (Yaitu) orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi janji-janji Allah. Demikian itulah kemenangan yang agung." (QS. Yunus (10) : 62-64).

Pada ayat tersebut menggunakan redaksi fiil madhi ‘aamanuu’ (mereka yang telah beriman). Dan memakai redaksi fiil mudhari ‘wa kaanuu yattaqun’ (dan mereka selalu bertakwa). Jadi keimanan yang selalu dipelihara dengan taqwa secara berkesinambungan.

Karena di antara makna fiil mudhari’ adalah lil istimror (secara terus menerus). Yakni dilakukan dengan istiqomah (konsisten). Di antara ciri amal seorang Muslim adalah susul menyusul bagaikan rintik-rintik hujan. Karena amal yang dicintai oleh Allah Subhanhu Wa Ta'ala adalah yang dilakukan secara ajeg (berantai), sekalipun sedikit. Sedikit demi sedikit tetapi ada kenaikan grafik.

"Sesungguhnya orang-orang yang berkata : Tuhan kami adalah Allah kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka maka malaikat-malaikat akan turun mereka (dengan berkata) : Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surge yang telah dijanjikan kepadamu." (QS. Fussilat (41) : 30).

Membangun Komitmen

Syarat utama dalam membangun komitmen keislaman adalah keyakinan seorang Muslim harus steril dari berbagai kontaminasi kekafiran, kemunafikan, kezaliman dll. Dan mengimani apa-apa yang diyakini oleh pendahulu yang shalih dan para imam yang teruji otoritas keilmuan dan kebersihan hatinya, keshalihan, ketakwaannya serta pemahamannya yang bersih, benar dan lurus terhadap Allah Subhanhu Wa Ta'ala.

Banyak wasilah (perantara) menuju surga dan ridha-Nya. Tetapi, secara global (mujmal) disimpulkan ada tiga amalan.

Pertama, ridho kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala melebihi dari mahabbah (kecintaan). Sebab kecintaan hanya berukuran sesuai dengan wadah hati (tempat tumbuhnya benih cinta), sedangkan ridha meluap (luber. bahasa Jawa).

Ketika kita ingat kalimat Rabb. Tergambar dalam doa yang kita panjatkan untuk sosok kedua orangtua.

"Ya Rabbku ampunilah dosa-dosaku dan kedua orangtuaku dan rahmatilah keduanya sebagaimana mereka merawatku di waktu kecil." (QS. Al Isra (17) : 23).

Bukankah kita selalu berhutang budi kepada mereka, selalu ingin membalas jasa-jasanya dan ingin bertemu dan dekat dengannya. Dan tidak ingin meninggalkannya untuk selama-lamanya. Karena kita meyakini, mustahil kita memiliki keturunan yang shalih/shalihah jika kita tidak shalih kepada mereka. Dengan menjadikan Allah sebagai Rabb, aqidah kita steril dari berbagai penyimpangan pola piker dan perilaku.

Kedua, ridha bahwa Islam Sebagai Jalan Kehidupan (minhajul hayah)

Islam adalah celupan Allah Subhanhu Wa Ta'ala (wadh’un ilahi)  bagi yang tercerahkan (lidzawil ‘uqulis salimah) untuk menjamin kemaslahatan di dunia dan keselamatan di akhirat (lishalahi ma’asyihim wa ma’adihim).

Syariat Islam adalah perpaduan antara keyakinan dan amal shalih (iman dan islam). Jika islam dan iman terpisah, pertama bermakna kepasrahan secara utuh kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala dan kedua keyakinan secara penuh terhadap keputusan-Nya. Jika iman dan islam menyatu, berimakna islam secara kaffah. Jadi jika iman dan islam terpisah cenderung menyatu dan jika menyatu condong untuk terpisah. Karena kedua-duanya seiring, tidak bisa dipisah-pisahkan.

Amal yang tidak berlandaskan iman sama jeleknya dengan iman yang tidak melahirkan amal. Celakalah orang yang pandai dalam berislam tetapi miskin aplikasi. Karena islam tidak sebatas serimonial tetapi serangkaian amal shalih. Dakwah yang paling efektif adalah melalui muslim yang menjadikan dirinya mushaf berjalan.

Islam sebagai fikrah dan minhajul hayah, setidaknya mengandung arti turunan (derivat). Arti tersebut menggambarkan tentang sistem kehidupan yang utuh dan seimbang. Pertama, salima minal mustaqdzirat (steril dari kontaminasi kekeruhan niat). Setting sosial menggambarkan penghuni yang mudah salam, sapa, supel, senyum dalam pergaulan. Kedua, at-Taslim (patuh pada Allah dan Rasul-Nya). Ajaran sendika dhawuh (taat) tampak dalam perilaku penduduknya yang qanaah dalam menerima rezki.

Mereka dengan keluguannya memandang patuh kepada sesepuh merupakan bagian tak terpisahkan dari ketaatan kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Ketiga, as Silmu (damai).

Sebagaimana pada umumnya penduduk desa, kehidupan yang penuh kedamaian sangat menonjol. Saling berbagi, saling membutuhkan, saling berempati, merupakan nilai-nilai curtural yang membuat saya dan teman-teman kerasan. Keempat, As Salam (kesejahteraan).

Nilai-nilai keislaman yang diwariskan tokoh pendahulu menjadikan arah kehidupan mereka lebih baik, utamanya dalam aspek ekonomi. Melihat kondisi social ekonomi yang kembang kempis dan motivasi para khatib untuk bekerja keras, banyak diantara mereka yang pergi merantau ke luar negeri (Malaysia). Disamping mendirikan warung di kota Gresik dan mengelola pertambakan. Kelima, As Salamatu (keselamatan). Nilai keislaman yang terakhir ini yang menjaga keutuhan kehidupan social di sebuah negara. Masing-masing individu menjadi penguat bagi yang lain.

Jika kita mengatur kehidupan manusia yang di dalam dirinya penuh rahasia, maka akan terjadi kesalahan fatal. Aturan manusia bersumber dari keterbatasan akal. Tentu hanya didasari syubhat (salah paham terhadap kebenaran) dan syahwat (hawa nafsu). Betapa celakanya jika manusia mengikuti aturan yang relative dan nisbi. Sungguh, yang memahami persis eksistensi manusia hanyalah Yang Maha Menciptakan.

Ketiga: Ridha, Muhammad Sebagai Rasul-Nya

Kecintaan kita kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala tidak akan terwujud tanpa disertai kecintaan yang murni kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Berbeda dengan tokoh dunia, umumnya hanya unggul dalam satu bidang. Sedangkan Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam adalah insan kamil (manusia sempurna), syakhshiyyatun jaami’ah (kepribadian yang utuh). Diakui oleh kawan dan lawan. Berbagai kelebihan tokoh terkumpul dalam kepribadiannya. Wajar, jika seorang mukmin menjadikan beliau sebagai uswah dan qudwah.

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab (33) : 21).

Ayat tersebut kita bisa memahami,  ada tiga pintu untuk menjadikan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sebagai panutan kehidupan kita. Yaitu, Petama : mengharap perjumpaan dengan Allah Subhanhu Wa Ta'ala dengan penuh kerinduan. Orang yang berjumpa dengan-Nya akan mendapatkan pelayanan khusus dari-Nya. Dekat dengan pertolongan-Nya, dekat dengan rahmatnya, dekat dengan maghfirah-Nya, dekat dengan ridha dan surge-Nya. Kedua : Mendambakan kehidupan akhirat. Akhirat adalah harapan terakhir untuk menyempurnakan balasan dari-Nya. Dan bekal untuk menuju kehidupan abadi, hanya bisa dilakukan di dunia. Maka, dunia harus dijadikan ladang untuk beramal sebanyak mungkin. Ketiga :  Banyak berzikir kepada-Nya. Dengan selalu mengingat-Nya akan terlibat dalam mengelola dan mengurai kerumitan kehidupan yang kita hadapi. * 

Penulis adalah kolumnis www.hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah
Dikutip dan Ringkas Judul oleh situs Dakwah Syariah
Red: Cholis Akbar


Rating: 5
Menjadi Mukmin Yang Berpendirian

Menjadi Mukmin Yang Berpendirian


Syeikh Muhammad al Ghazali pernah berkata dalam bukunya “Khuluqul Muslim” mengatakan;  “Apabila iman telah menyatu jiwa, hanya Allah yang paling berkuasa, segala yang maujud ini hanya makhluq belaka (mumkinul wujud). Keyakinan yang kuat dan tumbuh berkembang dengan subur, laksana mata air yang tidak pernah kering sumbernya, yang memberikan dorongan kepada pemiliknya semangat pengabdian, ibadat secara terus-menerus, mampu memikul tanggngjawab dan menanggulangi kesulitan dan bahaya yang dihadapinya. Pengabdian itu dilakukan tak mengenal lelah sampai menemui ajal tanpa ada rasa takut dan cemas.”

Orang mukmin adalah sosok manusia yang memiliki prinsip hidup yang dipeganginya dengan erat. Ia berkerja sama dengan siapapun dalam kebaikan dan ketakwaan. Jika lingkungan sosialnya mengajak kepada kemungkaran, ia mengambil jalan sendiri.

Di tengah dunia yang hanya mememtingkan egoisme, sedikit kita temukan orang-orang mukin yang bisa menjaga diri. Sebaliknya, justru kita banyak temukan kumpulan orang mukin yang  tak memiliki harga diri.

Sekedar contoh saja. Di saat dunia Barat mengkampanyekan budaya dan nilai-nilai idiologinya, kaum Muslim tidak terasa juga ikut termakan dan mengikuti jejaknya. Semua hal dalam kehidupan selalu diukur dan dinilai berdasarkan Hak Asasi Manusia (HAM). Karena Barat begitu membenci poligami dan membenturkannya dengan HAM, lantas para Muslimah kita juga ikut tertular virusnya.  Mereka lupa, al-Quran, membolehkannya (kata membolahkan, bukan berarti menganjurkan).

Bahkan penolak keras apa yang dibolehkan al-Quran ini bukan orang Yahudi atau orang Nasrani. Justru mereka adalah para aktivis, mahasiswa dan ibu-ibu berjilbab.

Ketika Barat membagi-bagi kelompok menjadi dua; Satu kelompok disebutnya "moderat" (yang berarti selalu menerima ide-ide Barat), Satunya disebut kelompok "fundamentalis" (yang selalu menolak ide Barat), umat Islam-pun ramai-ramai mengutinya.

Jangan heran, jika muncul tokoh-tokoh Islam di sekitar kita seolah berebut kata “moderat” dengan maksud agar tak dituduh Barat sebagai kelompok fundamentalis. “Oh, kalau kami ini moderat, tak seperti mereka.”

Ada semacam rasa bangga menyebut dirinya 'moderat', seolah ingin sekalian memojokkan saudara yang lain. Bahkan mereka yang suka berebut kata itu juga tak pernah menyadari. Atas hak dan atas dasar apa seseorang menyebut yang lain radikal atau fundamenlis? Bahkan seseorang ketika menuduh seenaknya pihak lain, pada dasarnya ia adalah ‘radikal’ dan 'fundamentalis'. Orang Muslim seperti ini ibarat dua orang bersaudara yang sedang menghadapi hewan buas di tengah hutan. Bukannya saling bekerjasama dengan saudaranya melawan binatang buas, ia justru mendorong punggung saudaranya di depan si hewan agar dia bisa lari dari terkaman. Itulah cerminan sebagaian dari wajah saudara-saudara kita.

Apalagi di tengah zaman penuh fitnah seperti ini. Orang berjibab, orang yang rajin ke masjid, rajin ta’lim, mengamalkan sunnah, berjenggot, menggunakan simbul-simbul Islam, maka akan mudah baginya mendapat gelar “radikal” atau bahkan cepat-cepat dituduh “teroris”. Jika tak punya pendirian teguh pada agama ini, mungkin banyak orang akan melepaskan kemuslimannya.

Seorang mukmin  di zaman seperti ini, akan banyak godaan iman. Jika tidak istiqomah, mudah baginya 'menjual diri’. Tak sedikit para remaja putri atau para Muslimah melepaskan jilbab dan terpaksa membuka auratnya hanya karena membela pekerjaanya. Tak sedikit pula karyawan pria yang melupakan kewajiban sholat dan mengabaikan ibadahnya karena membela pekerjaan atau takut kehilangan jabatan.

Prinsip Hidup

Rasulullah Muhammad sering menasehati agar kita menjadi seorang yang memiliki pendirian teguh pada agama ini.

Orang mukmin yang sejati mempunyai harga diri, tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang hina. Apabila ia terpaksa melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak pantas. Muk,im yang punya harga diri, ia juga malu membuka aib saudaranya atau jika tau kekurangan saudaranya. Ia malu mempertontonkan di hadapan orang banyak jika aib itu diketaui orang lain. 

Seorang mukmin yang memiliki harga dini, ia pasti berani menegakkan kebenaran sekalipun rasanya pahit. Ia rela mendapat cacian, hinaan atau stigma-stigma buru sekalipun. Karena ia tak memburu urusan jangka pendek dan kenikmatan sesaat (mata’uddunya). Seorang mukmin teguh pendirianya, bagaikan batu karang di tengah lautan. Tegar dari amukan badai dan hempasan gelombang serta pasang surut lautan.

Kekuatan jiwa seorang muslim, terletak pada kuat dan tidaknya keyakinan yang dipegangnya. Jika akidahnya teguh, kuat pula jiwanya. Tetapi jika aqidahnya lemah, lemah pula jiwanya. Ia tinggi karena menghubungkan dirinya kepada Allah Yang Maha Agung dan Maha Tinggi.

Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memberikan keputusan terhadap sebuah kasus antara dua orang laki-laki. Ketika kedua-duanya sudah pulang, yang kalah dalam sidangnya ia berkata : "Hasbiyallahu wa ni’mal wakil" (Allahlah yang mencukupkan daku, dan Dialah sebaik-baik tempat berlindung).

Orang mukmin adalah sosok manusia yang memiliki prinsip hidup yang dipeganginya dengan erat. Ia berkerja sama dengan siapapun dalam kebaikan dan ketakwaan. Namun jika lingkungan sosialnya mengajak kepada kemungkaran, ia akan mengambil jarak bahkan akan “keluar” dari lingkungan itu. Bukan sebaliknya, ikut arus. Seorang mukmin sejati dia akan tetap istiqomah dan amanah,  meski seluruh lingkungannya tercemah ‘korupsi’. 

Rasulullah melarang  orang Muslim tak tak memiliki pendirian.  “Saya ikut bersama-sama orang, kalau orang-orang berbuat baik, saya juga berbuat baik, dan kalau orang-orang berbuat jahat sayapun berbuat jahat. Akan tetapi teguhkanlah pendirianmu. Apabila orang-orang berbuat kebajikan, hendaklah engkau juga berbuat kebajikan, dan kalau mereka melakukan kejahatan, hendaknya engkau menjauhi perbuatan jahat itu.” (HR. Turmudzi).

Karenanya, agar hidup kita senantiasa terus dinaungi cahaya Allah dan terus teguh pendirian, maka iman adalah sumber energi yang senantiasa memberikan kekuatan yang tidak ada habis-habisnya. Iman adalah gelora yang mengalirkan inspirasi kepada akal pikiran, maka lahirlah bashirah (mata hati). Sebuah pandangan yang dilandasi oleh kesempurnaan ilmu dan keutuhan keyakinan.

Sebab iman adalah cahaya yang menerangi dan melapangkan jiwa kita, dan melahirkam taqwa. Sikap mental tawadhu (rendah hati), wara‘ (membatasi konsumsi dari yang halal), qona’ah (puas dengan karunia Allah), yaqin (kepercayaan yang penuh atas kehidupan abadi). Iman adalah bekal yang menjalar di seluruh bagian tubuh kita, maka lahirlah harakah. Sebuah gerakan yang terpimpin untuk memenangkan kebenaran atas kebatilan, keadilan atas kezaliman, kekauatan jiwa atas kelemahan. Iman menentramkan perasaan, mempertajam emosi, menguatkan tekat dan menggerakkan raga.*

Penulis kolumnis www.hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah
Dikutip dan Ringkas Judul oleh situs Dakwah Syariah
Rep: Administrator
Red: Cholis Akbar


Rating: 5
Islam, Antara Cita dan Fakta (Bagian ke 2)

Islam, Antara Cita dan Fakta (Bagian ke 2)


Hari ini kita menyaksikan sebuah fenomena yang menyedihkan, betapa keindahan dan kemuliaan Islam tidak menjadi magnit power (daya tarik) bagi lingkungan sosialnya? Mengapa Islam yang secara tekstual sebagai rahmat bagi seluruh alam dan ya’lu wa la yu’la ‘alaihi ini tidak dinantikan kehadirannya? Justru, Islam yang menyejukkan dan mencerahkan pikiran dan hati itu mendapatkan citra buruk (stigma negatif), menyimpan keshalihan ritual sekaligus criminal secara sosial?

Inilah sebuah pertanyaan yang memilukan hati kita sebagai seorang Muslim.
Kalau boleh menjawab dengan logika sederhana dan mudah, meminjam sebuah statemen seorang ‘alim dari Mesir, Syeikh Muhammad Abduh: "Al Islamu mahjubun bil muslimin" (keimuliaan Islam ditutupi oleh perilaku oknum orang Islam itu sendiri).

Saya yakin, pernyataan yang diucapkan 50 tahun yang silam itu tidak muncul secara spontan, tetapi melewati sebuah penelitian yang panjang. Bahwa, perilaku yang salah dalam berislam diakibatkan oleh pemahaman yang salah secara fatal tentang islam.

Kesalahan dalam memahami dinul Islam (agama Islam) berefek pada kesalahan krusial dalam mengkomunikasikan dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Saya pernah mendengar cerita ekonom Islam, Dr Syafii Antonio di salah satu forum diskusi, bahwa ayah beliau siap masuk Islam dengan beberapa persyaratan, jika orang Islam berhenti dari sikap mental jorok, menghindari korupsi, sandal aman ketika pergi ke masjid, waktu haji berhenti dari berbicara pornografi (rafats) dan meninggalkan kebiasaan senang berdebat. Kebanyakan mereka masuk Islam sebelum menyaksikan perilaku pemeluknya. Kita yakin kesalahan krusial dalam membumikan Islam karena kesalahan fundamental dalam memahami subtansi Islam itu sendiri. Bukankah kita memiliki saham yang besar dalam menodai kemurnian ajaran Islam?

Ÿوَلاَ يُنفِقُونَ نَفَقَةً صَغِيرَةً وَلاَ كَبِيرَةً وَلاَ يَقْطَعُونَ وَادِياً إِلاَّ كُتِبَ لَهُمْ لِيَجْزِيَهُمُ اللّهُ أَحْسَنَ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

“Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula) karena Allah akan memberi balasan kepada mereka yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah (9) : 121-122).

"Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan pada sesorang, maka ia memahamkannya dalam urusan agamanya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Bukankah hari ini kita menyaksikan orang yang menyatakan dirinya Nasrani yang jarang pergi ke gereja, orang islam setahun sekali ke masjid, orang Hindu yang sering absen di kuil, orang yang Yahudi yang tidak pernah menyentuh tempat ibadahnya Sinagog kecuali kepepet.

Lihatlah para ulama terdahulu sejak usia kanak-kanak sudah menghafalkan al-Quran dan isinya 30 juz. Sehingga al-Quran menjadi darah dagingnya.

Sekarang, marilah kita memotret kualitas keislaman umat Islam sekarang, bukankah hari ini kita menyaksikan orang Islam belajar islam setelah pensiun.

Bagaimana mungkin agama yang mulia ini diperjuangkan dari sisa umur dan sisa tenaga?

Pandangan yang sangat ironis belakangan ini, bukankah masjid yang semula dibangun untuk meningkatkan kualitas taqwa (ussisa littaqwa) beralih fungsi menjadi ajang kampanye kepentingan golongan tertentu. Terasa, kurang sakral lagi sebagai media untuk tawajjuh, tabattul dan taqarrub ilallah.

Kita khawatir dengan peringatan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam salah satu sabdanya, masajiduhum ‘amiratun faraghun minal huda (dilihat dari sisi bangunan masjid tersebut mentereng tapi kosong dari petunjuk). Kita tidak at home lagi untuk beribadah di dalamnya. Inilah tanda-tanda kiamat shughra.

Al-Quran Sebagai Manhaj

Jadi, al Quran diturunkan untuk diamalkan, bukan untuk menghiasi dinding-dinding tetapi untuk menghiasi kehidupan manusia secara lahir dan batin. Dengan mengamalkan isinya kehidupan manusia semakin hidup (yang bermakna), tidak sekedar hidup.

Al Quran diturunkan pula bukan untuk dibacakan kepada orang yang telah meninggal, tetapi meluruskan dan mencerahkan perjalanan kehidupan orang yang hidup. Al Quran diturunkan untuk mengatur manusia dan mengeluarkan mereka dari kegelapan ke arah cahaya. Akan tetapi sayang sekali kita sebagai umat Islam, bertolak belakang dengan al Quran.

Kita adalah ummat yang dibimbing dengan spirit Surat Asy-Syura (musyawarah), tetapi kita tidak pandai melakukan musyawarah. Kita adalah ummat yang memiliki surat Al Hadid, tetapi kita tidak pandai membuat industri besi. Kita ummat yang didorong dengan perintah iqra (bacalah), tetapi kenyataannya ummat kita adalah bangsa yang paling bodoh dan terbelakang dalam hal ilmu pengetahuan.

Kita adalah ummat yang diintrodusir untuk mengembara mencari ilmu, sekalipun ke negeri China, tetapi kita adalah ummat yang sempit pandangan dan miskin wawasan. Kita adalah ummat yang diperintahkan bertebaran di muka bumi untuk mencari karunia yang disimpan di perutnya, tetapi kita adalah ummat yang tidak pandai berniaga. Bahkan, kita terpuruk secara ekonomi. Kita dimotivasi untuk memiliki kekuatan, tetapi kita terbelakang secara militer pada saat dunia memamerkan kekuatan militernya. Jika demikian keadaannya, betapa rendahnya kedudukan al-Quran di dalam hati kita?

Agar kita menjadi orang-orang yang berorientasi al-Quran, hendaklah al-Quran menjadi penuntun dan pemandu seluruh kehidupan kita (manhaj). Sehingga al-Quran merubah kehidupan kita sebagaimana isi al0Quran – yang kini di hadapan kita yang masih otentik dan orisinil, masih gadis, meminjam istilah Muhammad Abduh – telah merombak pola pikir dan sikap mental para sahabat secara totalitas.

Marilah kita perbaiki pemahaman dan kita luruskan sikap kita yang terlanjur bengkok terhadap kitab suci, dengan ta’wid (pembiasaan membaca sejak usia dini) tilawah yang benar, tasmi’, (mendengarkan dengan merenungi isinya) tafhim (memahami), ta’lim (mengajarkan kepada orang lain), tathbiq (mengamalkan), kemudian mengajak orang lain ke jalan al-Quran tersebut.

Inilah yang dimaksud al-Quran sebagai manhaj. Mendekatkan jarak antara idealitas dan realitas. Mensinergikan antara cita-cita dan fakta di lapangan. Antara tekstual dan kontekstual. Antara pemahaman secara literal dan menerjemahkan di ranah public. Memadukan antara kualitas keilmuan dan keterampilan mengamalkannya. Antara kemampuan menyerap kandungan isinya dan mendokumentasikan dan membahasakannya di benak publik.

Karena, fiqhusy Syariah memerlukan fann (seni) tersendiri dan mengkomunikasikan di lingkungan sosial memerlukan fann (seni) yang lain (fiqhud dakwah), demikian istilah Imam Syafii.

Jadi disamping kita dituntut memahami maddatud dakwah (materi dakwah), tidak kalah pentingnya adalah menguasai maidanud dakwah (obyek dakwah). Jika kita sudah berinteraksi dengan umat, mereka tidak mempertanyakan tentang wacana kita, tetapi apa yang bisa diperankan untuk memberikan pelayanan terhadap mereka.

Yakni menjadikannya tata acuan dalam berpikir, berprilaku dan rujukan tata kelola kehidupan secara infiradi dan jama’i. Kita mustahil mendakwakan al-Quran jika kita sendiri tidak memahaminya dengan benar dan memiliki pengalaman yang unik dalam mengamalkannya. Al Quran bisa menjadi pembelamu (hujjatun laka) atau saksimu yang memberatkan (hujjatun ‘alaika) di akhirat kelak, begitu kata Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.


“Dan apabila kamu tidak membawa suatu ayat Al Quran kepada mereka, mereka berkata: "Mengapa tidak kamu buat sendiri ayat itu ?" Katakanlah: "Sesungguhnya aku hanya mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku. Al Quran Ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman." Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat[mendengar dan memperhatikan sambil berdiam diri] (QS. Al Araf (7) : 203-204).”

Untuk mengakhiri muhasabah usb’uiyah (intropeksi pekanan) pada momentum hari Jumat ini baiklah kita mengutip dua ayat firman Allah Subhanhu Wa Ta'ala dalam surat ash Shaf (61) dan Al Jumu’ah (62).

“Wahai orang-orang yang beriman ! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan ?. (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan (QS. Ash Shaf (61) : 2-3).”

Mudah-mudahan kita mampu menjadi individu dan umat terbaik (khoirul bariyyah) sepanjang zaman.*

Baca tulisan PERTAMA

Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah
Dikutip dan Ringkas Judul oleh situs Dakwah Syariah
Red: Cholis Akbar


Rating: 5
Islam, Antara Cita dan Fakta (Bagian ke 1)

Islam, Antara Cita dan Fakta (Bagian ke 1)


Beberapa waktu yang lalu, saya membaca sebuah karya tulis ilmiah yang disusun oleh seorang intelektual Mesir Syeikh Muhammad Quthub. Beliau dilahirkan dari keluarga terdidik dan agamis. Rupanya, faktor keluarga yang mengantarkan beliau memiliki reputasi yang baik di dunia Islam. Dosen pasca sarjana di Universitas Ummul Qura' itu pernah pula memperoleh hadiah nobel dunia Islam King Faishal Abdul Aziz atas karya spektakulernya setelah mengalami futur (stagnasi) dan berhasil mengkhatamkan al-Quran sebanyak 15 kali “Manhajut Tarbiyah Al-Islamiyyah Nadhariyyan Wa Tathbiqiyyan.”

Karya tulis beliau yang saya maksud berjudul “Hal Nahnu Muslimun?" (Muslimkah Kita?). Berbagai buku karangan beliau yang pernah saya baca menunjukkan bahwa beliau adalah akademisi inovatif, kreatif dan produktif, yang sangat peduli dengan nasib yang menimpa bangsanya. Beliau saudara kandung Sayid Quthub dan Hamidah Quthub.

Setelah saya bolak-balik buku tersebut, saya sedikit merenung dan lahirlah pertanyaan-pertanyaan sederhana yang cukup menggelitik, betapa berat dan strategisnya membangun citra diri sebagai muslim di tengah-tengah lingkungan social kita yang identik “sok sial”. Selanjutnya, saya bisa membuat kesimpulan yang agak mudah dipahami, sesungguhnya persepsi orang lain terhadap jati diri kita yang mewakili lingkungan strategis berbanding lurus dengan keberhasilan kita dalam membangun citra diri. Jika citra diri (gambaran mental) kita positif, orang lain mempersepsikan kita kurang lebih sama. Dan demikian pula sebaliknya.

Saya juga membaca buku komunikasi, psikologi, sejarah, sosiologi sebagai bahan perbandingan (muqaranah) dalam memperkuat kualitas komitmen (iltizam) keberagamaan saya. Menurut Stone (pakar psikologi social), sesungguhnya penampilan adalah fase transaksi social yang menegaskan identitas para partisan (pemeran-serta transaksi social tersebut). Penampilan itu, sebagaimana adanya, bisa dibedakan dengan wacana yang kita konseptualisasikan sebagai teks transaksi. Penampilan dan wacana adalah dua dimensi yang kontradiksi dari transaksi sosial.

Penampilan tampaknya bersifat lebih fundamental. Ia memungkinkan, menopang, menetapkan batas-batas, dan menyediakan ruang bagi (perwujudan) berbagai kemungkinan wacana dengan jalan memastikan kemungkinan-kemungkinan bagi diskusi yang bermakna. Satu amal lebih fasih dari seribu kata-kata (lisanul hal afshahu min lisanil maqal), meminjam sastra Arab.

Bila kita berjumpa dengan orang lain, kita segera mengkategorikan orang lain dalam satu kategori yang terdapat dalam laci memori kita. Kita akan secepatnya mengelompokkannya sebagai mahasiswa, cendikawan, petani, pedagang, atau kiai.

Kita menetapkan kategori orang itu berdasarkan deskripsi verbal, petunjuk proksemik, petunjuk kinestik, petunjuk wajah, petunjuk paralinguistic, dan petunjuk artifaktual.

Proyek Besar Peradaban Kita ?

Al-Hamdulillah wasy syukru lillah, hari ini kita kecipratan nikmat berislam. Berkat perjuangan air mata dan darah yang istiqamah dan tidak mengenal lelah pendahulu kita yang shalih (salafus shalih). Bahkan, kebanyakan mereka mengakhiri hidupnya di medan dakwah. Para wali-wali dahulu datang ke negeri ini, meninggalkan negeri dan tanah tumpah darah mereka mengarungi samudra yang tidak bertepi karena mereka yakin bahwa Islam ini adalah jalan kebenaran dan jalan keselamatan.

Di antara bukti faktualnya pada medan semantik membuktikan, kosa kata yang digunakan bangsa Indonesia adalah inhearent dengan term Islam. Islam yang datang ke Nusantara ini dengan cara damai dan mencerahkan (merubah cara pandang dengan metode yang sistematis) telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya bangsa (refleksi dari keyakinan yang dianut). Budaya senyum, sapa, supel, menghormati tamu, tepo sliro, toleran, tegas dalam prinsip, tahan uji dalam menghadapi ujian, paternalistik adalah turunan (derivasi) dari Islam.

Secara historis, Islam adalah ajaran terakhir yang menyempurnakan ajaran nabi-nabi sebelumnya dan terbukti hingga kini masih steril dari berbagai penyimpangan tangan jahil manusia, maka pemeluknya berhak menyebarkan kebenaran Islam ke seluruh penjuru dunia. Inilah konsekwensi sebagai umat terakhir dari penutup para nabi dan utusan Allah Subhanhu Wa Ta'ala.

Jadi, kewajiban jihad dakwah secara otomatis terpikul pada setiap individu muslim, dalam kedudukan apapun dan dimanapun dan kapanpun. Maka setelah kita berhasil mengirimkan para mujahid dakwah secara terjun bebas di seluruh pelosok nusantara, dilanjutkan ekspansi dakwah ke luar negeri. Ke depan perwakilan Hidayatullah di luar negeri hal yang niscaya. Sehingga kita mengembalikan ketaatan manusia hanya kepada pemilik kehidupan, Allah Subhanhu Wa Ta'ala.

Itulah sebabnya di pundak seorang muslim terpikul tanggung jawab yang tidak ringan. Islam sudah memberikan mediator untuk mengadakan muhasabah yaumiyyah, usbu’iyah, syahriyyah, ‘amiyyah atau marrotan fil ‘umr (sekali seumur hidup), secara berkesinambungan dan radikal. Betulkah kehidupan kita secara individu, keluarga, masyarakat, baik aspek ideologi, sosial, kebudayaan, politik, keamanan merujuk keislaman yang sudah kita anut salama ini? Inilah proyek besar peradaban kita !. Menata ulang persepsi, perasaan, perilaku mereka agar selaras dengan referensi Islam itu sendiri.

Hanya saja, yang perlu menjadi catatan penting, bahwa pesan Islam tidak akan sampai kepada obyek dakwah hanya dengan ceramah-ceramah, makalah-makalah, seminar-seminar, orasi-orasi, diskusi-diskusi, diplomasi-diplomasi (katsratur riwayah). Justru, Islam sampai menerobos dinding-dinding pembatas teritorial dunia ini dengan akhlak/moralitas yang melekat dalam diri para muballigh itu sendiri. Akhlak yang mulia itu merupakan gambaran dari kekokohan iman/keyakinan.

وَقَالَ لِفِتْيَانِهِ اجْعَلُواْ بِضَاعَتَهُمْ فِي رِحَالِهِمْ لَعَلَّهُمْ يَعْرِفُونَهَا إِذَا انقَلَبُواْ إِلَى أَهْلِهِمْ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
فَلَمَّا رَجِعُوا إِلَى أَبِيهِمْ قَالُواْ يَا أَبَانَا مُنِعَ مِنَّا الْكَيْلُ فَأَرْسِلْ مَعَنَا أَخَانَا نَكْتَلْ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

"Ingatlah sesungguhnya para kekasih Allah itu tidak ada ketakutan dan kesedihan hati pada mereka. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa (memelihara iman dengan akhlak) (QS. Yunus (10) : 62-63)."

Jadi, yang menjadi tantangan dakwah ke depan adalah bagaimana kita mendekatkan jarak diri kita dengan refrensi Islam itu sendiri. Setiap individu muslim adalah sebagai alat peraga dakwah. Kita dituntut menjadi al-Quran dan al-Hadits yang beroperasi secara kongkrit di jalan raya, pasar, gedung parlemen, lembaga pendidikan, tempat-tempat wisata, dan di tempat-tempat yang lain. Karena semua medan kehidupan menghajatkan untuk ditemani Islam, agar tidak membuat pemburunya kecewa. Terjangkiti oleh penyakit manusia modern, yaitu krisis makna.

Baca tulisan KEDUA

Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah
Dikutip dan Ringkas Judul oleh situs Dakwah Syariah
Red: Cholis Akbar


Rating: 5
Pentingnya Menata Pola Kehidupan Kita

Pentingnya Menata Pola Kehidupan Kita


Berapakah usia Anda hari ini? Rasulullah pernah mengatakan, rata-rata umur ummat nya hanya seputar 60-70 tahun saja.

أَعْماَرُ أُمَّتِي بَيْنَ سِتِّيْنَ وَ سَبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنَ يُجاَوِزُ عَلَى ذَلِكَ

“Umur ummatku antara 60-70 tahun. Sangat sedikit di antara mereka yang umurnya melampaui kisaran itu.” (HR. At Tirmidzi 3550, Ibnu Hibban 7/246, Ibnu Majah 4236).

Nah, sekarang, marilah kita hitung dengan matematika sederhana saja. Bisa jadi, kita diberi Allah usia sampai 70 tahun. Tetapi bisa saja tidak. Marilah kita pilih di tengah, anggap saja, kita diberita kemudahan untuk hidup pada usia 50 tahun.

50 tahun telah menghabiskan sekitar 18.250 hari atau setara dengan 458.000 jam. Itu andakan kita menggunakannya 24 jam sehari semalam penuh melakukan aktivitas. Faktanya, kebanyakan manusia membutuhkan istirahat, tidur, nonton, jalan-jalan, berbelanja, bergurau dll.

Anggap saja waktu tidur kita adalah 8 jam/hari. Maka, dalam masa 50 tahun, waktu yang telah kita habiskan untuk tidur memakan waktu 146.000 jam atau sama dengan 16 tahun 7 bulan (dibulatkan 17 tahun). Betapa sia-sianya kita menghabiskan waktu selama 17 tahun hanya untuk tidur.

Selain tidur, umumnya kegiatan manusia di siang hari adalah; bekerja, belajar, mengajar makan, jalan-jalan, istirahat atau ngerumpi. Jika semua waktu itu memakan waktu 4 jam rata-rata. Maka, dalam 50 tahun waktu yang dipakai untuk istirahat,ngerumpi, jalan-jalan dll membutuhkan (18.250 hari x 4 jam) atau 73.000 jam. Ini setara dengan 8 tahun.

Jadi, selama 50 tahun itu pula kegiatan kita untuk tidur, jalan-jalan, ngerumpi, nonton, istirahat memakan waktu 17 tahun + 8 tahun atau menghabiskan waktu 25 tahun.

Jika usia Anda hari ini masih 20-25 tahun, maka tinggal mengurangi 10 tahun “angka sia-sianya”. Maka, hasilnya tetaplah sama, hampir separuh masa kita telah hilang dengan sia-sia.

Pertanyaannya sekarang, berapa sisa waktu yang dipergunakan untuk beribadah dan sebagai bekal menghadap yang Khalik?

***

Alkisah, suatu ketika ada seorang tabi’in bernama Tsabit bin Amir bin Abdullah bin Zubair jatuh sakit. Saat mendengar panggilan azan shalat Maghrib, ia berkata kepada anak-anaknya, Bawalah aku ke masjid ! Anak-anaknya menjawab : Engkau sedang sakit ! Allah memaafkanmu. Ia kembali berkata, Laa ilaaha illallah ! Aku mendengar seruan hayya ‘ala ash-shalah hayya ‘ala al-falah ! dan aku tidak menjawab seruan itu? Demi Allah, Bawalah aku ke masjid. Mereka pun akhirnya membawa ayahnya ke masjid. Ketika sampai pada sujud terakhir dalam shalat maghrib itu, Allah mencabut nyawanya.

Sebagian ulama ada yang menceritakan bahwa lelaki tersebut ketika melakukan shalat shubuh selalu berdoa, Ya Allah, aku memohon kematian yang baik pada-MU. Lalu ia ditanya apa maksud dari kematian yang baik yang ia mohon dalam potongan doanya itu adalah kematian saat bersujud.

Kematian menjemput siapa saja tanpa memandang bulu, masa ajal tiba adalah rahasia dari-Nya, agar manusia siap menghadapinya setiap saat. Siapapun tidak bisa menjamin selamat dalam mabuk kematian (sakaratul maut). Kematian yang indah adalah ketika bersujud, baca al-quran, berjihad di jalan Allah Subhanhu Wa Ta'ala, di majlis ta’lim, majlis zikir dan majlis shalat jamaah. Orang akan mengakhiri kehidupannya berbanding lurus dengan hobinya di dunia. Maka, kita perlu selektif dalam memilih hobi (man syabba, syaaba ‘alaih).

Masalahnya, apakah benar semua kegiatan kita –bekerja, kuliah, istirahat, makan-makan, jalan-jalan kita-- digunakan untuk tujuan puncak, yakni hanya mengabdikan diri kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Andakan persepsi ibadah kita hanya 5 x sehari semalam, berarti semua itu masih memenuhi tujuan penciptaan kita.

Berapa lama shalat yang kita lakukan selama 50 tahun? Atau berapa lama waktu shalat yang telah kita lakukan selama 20-25 tahun usia kita ini?

Untuk sekali shalat , orang menghabiskan waktu 10 menit. Ini berarti dalam 5x shalat (menghabislan waktu sekitar 1 jam). Maka, dalam 50 tahun waktu yang kita digunakan untuk shalat = 18.250 hari x 1 jam = 18.250 jam. Setara dengan 2 tahun.

Masa 50 tahun di dunia hanya 2 tahun untuk shalat? Ini, bagi yang shalat memakan waktu 10 menit. Kalau cara shalat ekspres (super cepat), lalu bagaimana?

Benarkah shalat kita itu mencukupi untuk diterima dan pantas untuk menghadap Allah? Mengapa Anda begitu yakin?

Padahal Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman dalam suratnya:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
مَا أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan.” (QS. Adz Dzariyat (51) : 56-57).

2 tahun dari 50 tahun kesempatan…itupun belum dapat dipastikan shalat kita memberikan efek pada perubahan pola pikir dan pembentukan akhlak yang mulia.

Sepertinya pahala shalat selama 2 tahun tidak sebanding dengan perbuatan dosa-dosa selama 50 tahun, dalam percakapan yang terkadang dusta, baik direncanakan atau tidak disengaja, ucapan yang menyinggung, memakan harta yang bukan milik kita, menggelapkan dan memalsukan angka-angka dll. Bukankah kita tidak berdaya dalam mengendalikan dosa panca indra kita?

Menata Ulang Pola Hidup

Suatu yang paling mahal dalam kehidupan kita adalah kesadaran tentang misi kehidupan di dunia ini. Tiada kata terlambat, sekalipun waktu demikian cepat, yang berlalu tidak akan kembali. Jangan kita biarkan kehidupan kita ini sia-sia belaka. Hanya memburu dunia, memarginalkan kehidupan akhirat.

Pernahkah kita membayangkan, berapa lamakah umat akhir zaman ini menikmati kehidupannya yang fana ini?

Kehidupan di dunia ini bagaikan berteduh di bawah pohon (halte) untuk menghilangkan kepenatan dalam menempuh perjalanan kehidupan yang jauh. Atau bagaikan mampir untuk membasahi kerongkongan yang sedang kering, karena dahaga.

Dalam ayat di atas disebutkan 1 hari menurut perhitungan Allah Subhanhu Wa Ta'ala adalah 1000 tahun menurut perhitungan kita. Berarti kita hidup tidak lebih dari 1/10 hari menurut perhitungan-Nya. Sekarang kita mencoba untuk mengkalkulasi. Dengan cara ini semoga muncul kesadaran baru untuk tajdidul iman, tajdidul ‘ibadah dan tajdidul akhlaq, tajdidul jihad wal ijtihad wal mujahadah.

Dalam sebuah firmannya, Allah bertanya: "Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?" Mereka menjawab: "Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung." Allah berfirman : "Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui." (QS. Al-Mukminun (23) : 112-114).

Kesimpulannya, sesungguhnya kehidupan di dunia ini --yang seolah kita persepsikan panjang-- hakikatnya sangat singkat. Alangkah sia-sianya jika kita gunakan hanya untuk hal-hal yang tak ada hubungannya dengan ibadah di jalan Allah.

Meminjam istilah Hasan Al Banna, barangsiapa yang mengisi waktunya hanya untuk bersenda gurau berarti melupakan misi kehidupannya. Mudah-mudakan, kita bisa memanfaatkan kesempatan hidup ini jauh lebih baik lagi.*

Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah
Dikutip dan Ringkas Judul oleh situs Dakwah Syariah
Red: Cholis Akbar


Rating: 5
Selalu Merawat dan Memperbaiki Batin

Selalu Merawat dan Memperbaiki Batin


Pentingnya Merawat dan Memperbaiki Batin." Dalam sebuah kisah sufi yang terkenal, tersebutlah sebuah kisah tentang seorang pemuda ahli ibadah dan seorang pecinta dunia. Suatu hari, si ahli ibadah memasuki hutan yang penuh dengan singa. Melihat kedatangan pemuda ahli ibadah tadi, singa-singa di hutan itu merasa senang dan menyambutnya. Sementara itu, si pecinta dunia yang tatkala itu sedang berburu, baru saja memasuki hutan yang sama. Melihat kedatangan si pecinta dunia dan rombongannya, singa-singa itu mengaum siap menerkam sehingga membuat mereka merasa ketakutan.

Si ahli ibadah melihat kejadian itu dan dia berusaha menenangkan singa-singa tersebut. Maka berkatalah si ahli ibadah kepada si pecinta dunia dan orang-orangnya setelah menenangkan singa-singa ini, “Kalian hanya memperbagus dan memperindah penampilan luar saja, maka kalian takut kepada singa. Adapun kami, kami selalu memperbaiki dan memperbagus batin kami, sehingga singa pun takut kepada kami.”

Kisah di atas memuat pelajaran penting tentang hati sebagai pusat kebaikan. Hati adalah ibarat Raja yang punya hak veto dalam memerintah seluruh anggota jasmani menuju perbuatan baik atau jahat. Untuk merawat dan memperindah hati agar bercahaya, maka seseorang perlu terus-menerus mempertahankan dan mengamalkan kebaikan. Hati akan terus bersih, bening dan bercahaya jika kejahatan terus dihindari, jauh dari debu-debu dengki, riya`, takabbur, dan cobaan dijalani dengan ikhlas.

Memelihara hati bukanlah tugas yang sulit. Ini merupakan tugas yang wajib dilakukan setiap Muslim. Andaikata pun sulit atau mudah, itu harus dilakukan agar hati yang bersih berpendar dengan sinar kebaikan. Hati adalah wajahnya jiwa. Orang yang jiwanya baik, hatinya akan baik. Cara memperbaiki jiwa dengan memperbaiki hati.

Hati, dalam pandangan Imam Abdullah Al-Haddad adalah tempat penglihatan Allah. Sebelum yang lain, Allah melihat hati seseorang terlebih dahulu. Di sisi berbeda, anggota lahir badan kita menjadi tempat perhatian sesama makhluk yang acap dipandang dengan pandangan kekaguman.

Dalam sebuah doanya, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengatakan :

"Allahummaj`al Sariiratiy Khairan Min `Alaaniyatiy Waj`al `Alaaniyatiy Shaalihah." (Ya Allah, jadikanlah keadaan batinku lebih baik dari keadaan lahirku dan jadikanlah keadaan lahirku baik). Inilah salah satu doa yang sering dipanjatkan oleh Nabi kepada Allah. Di dalamnya terkandung permintaan agar menjadikan suasana hati lebih bagus ketimbang keadaan lahir.

Pertanyaanya, mengapa nabi menitikberatkan pada batin atau hati? Imam Abdullah menjawab: “Ketika hati baik, maka keadaan lahir akan mengikuti kebaikan itu pula. Ini merupakan sebuah kepastian.” Keyakinan ini didasarkan pada peringatan sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sendiri: “Di dalam jasad ada sekerat daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari-Muslim)

Hati Sebagai Pusat Segalanya

Setiap orang pasti menyukai keindahan. Banyak orang yang memandang keindahan sebagai sumber pujian. Ribuan kilometer pun akan ditempuh demi mencari suasana dan pemandangan yang indah. Uang berjuta-juta akan dirogoh untuk memperindah pakaian. Waktu akan disediakan demi membentuk tubuh yang indah.

Perhatikan bagaimana Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang meski pakaiannya tidak bertabur bintang penghargaan, tanda jasa dan pangkat, tapi tidak berkurang kemuliaannya sepanjang waktu. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tidak menempuh ribuan kilo, merogoh harta demi singgasana dari emas yang gemerlap, ataupun memiliki rumah yang megah dan indah. Akan tetapi, penghargaan terhadap beliau tidak luntur dan menyusut ditelan masa. Beliau adalah orang yang sangat menjaga mutu keindahan dan kesucian hatinya. Kunci keindahan yang sesungguhnya adalah ketika kita mampu merawat serta memperhatikan kecantikan dan keindahan hati. Inilah pangkal kemuliaan sebenarnya.

Hati adalah penggerak, raja, poros, dan pusat segala ibadah. Hati yang thuma`ninah (tenang) akan dapat membuat orang ringan bangun malam, membaca Al-Qur`an, datang ke masjid, dan semua amal shalih lainnya. Hati bisa mengajak kepada kebaikan sekaligus di saat yang sama bisa mengajak kepada kejahatan.

Kita melihat tidak sedikit orang yang mempunyai anggapan bahwa melakukan maksiat tidaklah mengapa asal hati kita baik. Anggapan dan keyakinan seperti ini jelas merupakan kesalahan besar. Menurut Imam Abdullah, orang yang berpendirian semacam ini adalah pendusta besar. Lahir dan batin haruslah berimbang dan sama-sama baik. Seumpama makanan, ia akan diminati orang jika isi dan bungkusnya baik.

Kebaikan yang dibuat-buat juga harus dihindari. Ada orang yang berjalan membungkuk, mengenakan tasbih, pakaiannya pakaian orang saleh. Di balik semua ini, kita melihat dalam batinnya orang seperti ini tertanam cinta dunia mengakar kuat, keangkuhan, kebanggaan pada diri sendiri, serta kegilaan pada pujian. Menurut Imam Abdullah, orang semacam ini adalah orang yang berpaling dari Allah.

Dalam sebuah peristiwa, Sayidina Umar ra. melihat seorang yang berjalan di hadapannya dengan membungkuk sebagai bentuk ke-tawadhu-an. Melihat ini, Sayidina Umar berkata, “Takwa itu bukan dengan cara membungkukkan badanmu. Takwa itu ada di dalam hati.”

Bagaimana jika seseorang tidak mampu memperbaiki batin lebih dari keadaan lahirnya? Menurut Imam Abdullah Al-Haddad, hendaknya ia menyamakan kebaikan lahir dan batin meski idealnya meningkatkan kebaikan batin lebih diutamakan dan disukai.

Orang yang memiliki hati yang bersih, tak pernah absen bersyukur kepada Allah, Penguasa jagat alam raya ini. Pribadinya menyimpan mutu dan pesona. Tak mudah jatuh dalam kesombongan dan kepongahan di kala merebut sesuatu namun tetap istiqamah tunduk pada Allah. 

Orang yang mempunyai hati yang baik akan terus bersikap rendah hati walaupun berpangkat tinggi dan harta melimpah.

Mari bersihkanlah hati ini, beningkanlah dari segala kotoran, isilah dengan sifat-sifat yang baik agar ia tetap terang benderang, bersinar dan bercahaya serta selalu cenderung kepada kebaikan dan takwa.*

Penulis staf pengajar di Ponpes. Darut Tauhid, Malang- Jawa timur
Dikutip dan Ringkas Judul oleh situs Dakwah Syariah
Red: Cholis Akbar


Rating: 5
Menuju Peradaban Yang Lebih Berkah

Menuju Peradaban Yang Lebih Berkah


Menuju Peradaban yang Lebih “Diberkahi”. Sejak awal perkembangan Islam, langkah fundamental yang diambil oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam untuk membumikan nilai-nilai Islam, adalah mencari lingkungan yang steril dari kontaminasi dan dominasi hukmu al jahiliyyah (hukum jahiliyah), tabarruj Al Jahiliyyah (tatanan sosial yang mengabaikan moral), Zhan Al Jahiliyyah (gaya hidup yang menuhankan materi), hamiyyatul jahiliyyah (kultur jahiliyah) dalam segala dimensinya.

Membangun Islam dalam lingkungan yang tidak kondusif dengan begitu, laksana menanam benih di lahan yang gersang, kering kerontang. Tentu benih yang ditanam tidak akan tumbuh menjadi tanaman yang subur. Bahkan, kemungkinan besar akan layu. Hidup segan, mati tak mau. "Laa yamuutu wa laa yahyaa."

Umar bin Khathab ketika memimpin upacara pemberangkatan para dai ke berbagai belahan dunia: Fii ayyi ardhin taqo’ anta mas’ulun ‘an Islamiha (di bumi manapun anda berdiam, anda memiliki tugas untuk mengIslamkan penduduknya).

Selama 13 tahun Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya berIslam di Makkah, terbukti hanya beberapa gelintir orang yang menyambut seruannya. Itupun, sebagian besar berasal dari kalangan grass root (mustadh’afin)..Karena lingkungan sosial Makkah didominasi kemusyrikan. Penyakit molimo (minum, mencuri, membunuh, main perempuan, berjudi, memakan riba) yang diderita masyarakat sudah pada stadium akut.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda : “Seseorang itu tergantung agama kekasihnya, maka lihatlah kepada siapa ia berteman.” (HR. Ahmad )

Dalam Hadits lain disebutkan, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tua lah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani dan Majusi.” (HR. Bukhari Muslim).

Begitu pentingnya sebuah lingkungan (al Biah), sehingga sastra arab mengatakan : “Nahnu ibnul biah.” (kita adalah produk sebuah lingkungan). Ada ungkapan lain yang senada: “Al Jaaru qabla ddar.” (mencari tetangga yang sepaham/sefikrah terlebih dahulu sebelum membangun rumah). Manusia itu diperbudak oleh kebiasaan dimana ia berdiam, kata sastra Arab. Seseorang yang akrab, dekat dan erat dengan penjual minyak wangi, akan terkena bau wangi, seseorang yang dekat dengan pandai besi, akan kecipratan bau besi. Seseorang yang dekat dengan orang-orang pilihan, ia akan terpengaruh oleh mereka.

Jadi, lingkungan yang Islami merupakan hidden curiculum yang akan merekonstruksi/menata ulang struktur kepribadian penghuninya menjadi Islami. Sebaliknya kawasan yang jahili akan membentuk pola pikir dan sikap mental jahiliyah penghuninya pula.

“Perumpamaan hidayah dan ilmu yang dengannya aku diutus oleh Allah, seperti tamsil hujan lebat mengguyur bumi. Maka ada tanah yang bagus menerima air kemudian menumbuhkan tanaman hijau dan rumput yang banyak. Dan ada tanah keras yang bisa menahan air, kemudian Allah berikan manfaatnya bagi manusia, sehingga mereka bisa mengambil air minum, menyirami, dan bercocok tanam. Dan ada lagi hujan yang mengguyur bumi yang licin, tidak menyerap air dan tidak menumbuhkan tanaman. Itulah tamsil orang yang memahami agama Allah dan petunjuk yang aku diutus Allah dengannya memberi manfaat baginya, maka ia tahu dan mengajarkannya kepada orang lain, dan tamsil orang yang tidak peduli dengan agama Allah dan tidak menerima hidayah Allah dengannya aku diutus.”
(HR. Bukhari, Shahih Al Bukhari 1/28).

Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan para sahabat As Sabiqun Al Awwalun ( angkatan Islam pertama) itu merasakan bumi Makah terlalu sempit menampung idealisme tauhid, Beliau ekspansi dakwah dan mencari basis teritorial lain yang lebih menjanjikan. Sehingga beliau memilih tanah Thaif sebagai alternatif pertama, tetapi respon kaum Thaif tidak menyenangkan. Bahkan beliau dilempari dengan batu. Kemudian mengadakan hijrah ke Habasyah. Namun imigrasi yang kedua ini kurang lebih sama dengan tujuan hijrah pertama. Sekalipun Raja Habsyi cukup toleran, hanya ghulam (seorang pemuda) yang masuk Islam ketika tertarik melihat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam makan dengan membaca doa.

Baru setelah hijrah ke Madinah terjadi perkembangan spektakuler baik dari segi kaulitas maupun kuantitas kaum Muslimin. Dalam waktu 10 tahun di Madinah, kaum muslim tercatat 10.000 orang. Peristiwa hijrah ini kemudian dijadikan Khalifah Umar bin Khathab sebagai momentum penetapan tahun baru Islam. Sekalipun banyak peristiwa besar yang mendahuluinya, seperti pasukan gajah yang dipimpin oleh Raja Abraha untuk menghancurkan Ka’bah dll. Dari sini titik tolak perubahan totalitas kaum muslimin pertama terjadi. 

Pelajaran Fundamental Hijrah

Ada beberapa pelajaran penting dari peristiwa hijrah ini, dikaitkan “hijrah” modern dengan visi membangunan peradaban Islam ke depan.

Pertama: Reformasi itu dimulai dari level kepemimpinan

Yang perlu diluruskan bahwa hijrah itu tidak identik dengan urbanisasi. Karena hijrah itu menuntut adanya perubahan secara radikal dan total. Dan setiap perubahan itu, berimplikasi sangat jauh. Perubahan itu memerlukan pengorbanan, maka terasa pahit. Apalagi jika seseorang itu telah membangun imperium, kedaulatan, status quo sudah sedemikian kokoh. Dipagari oleh kesetiaan dan hak-hak istimewa. Dalam kondisi demikian, perubahan itu biasanya ditafsirkan dengan instabilitas, anti kemapanan dll.

Dari berbagai teori perubahan, kejatuhan dan kebangunan negara dapat dipahami bahwa perubahan itu akan sukses jika di pelopori dari setiap individu, utamanya kalangan elitis sebuah komunitas. “Taghyiiru khuluqil ummah taabi’un litaghyiiri khuluqil qiyadah,” (perubahan sebuah bangsa berbanding lurus dengan kesiapan berubah di kalangan elit kepemimpinan), kata Ibnu Khaldun. Jika kita getol menyapu lantai rumah, sementara kotoran atapnya dibiarkan menempel, maka lantai akan kotor kembali.

Kedua: Komitmen terhadap regenerasi

Kepimpinan yang baik adalah mempersiapkan penggantinya. Penerus dan pewaris perjuangannya. Sebab usia seorang pemimpin umumnya lebih pendek dibandingkan dengan nilai immaterial, misi yang diperjuangkan. Bahkan ummat Muhammad hanya berumur berkisar 60 sampai 70 tahun (HR. Ahmad). Nilai-nilai moral yang tidak secepatnya diwariskan, maka negara, intitusi, akan kurang dinamis dalam merespon perubahan sekitarnya. Yang dimaksud kader disini adalah seseorang yang dididik, disiapkan, disetting, untuk melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan dalam sebuah keluarga, partai, intitusi, lembaga, negara. Oleh karena itu sebelum Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam hijrah, telah mempersiapkan Ali untuk menggantikan tempat tidurnya. Dengan regenerasi maka kesinambungan amal dan transfer nilai akan berjalan dengan baik.

Ketiga: Memperkuat Sandaran Vertikal

Ketika rumah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sudah dikepung oleh para algojo dari berbagai kabilah Arab untuk menghabisi nyawanya, beliau tetap memiliki kestabilan jiwa. Hal ini merupakan salah satu buah ketargantungannya (ta’alluq) kepada Al Khaliq yang sudah terlatih selama 13 tahun di Makkah. Bahkan pada malam hari, saat memutuskan berangkat secara rahasia bersama kekasihnya Abu Bakar, beliau membacakan salah satu firman Allah Swt. :

وَجَعَلْنَا مِن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ سَدّاً وَمِنْ خَلْفِهِمْ سَدّاً فَأَغْشَيْنَاهُمْ فَهُمْ لاَ يُبْصِرُونَ

“Dan Kami adakan dihadapan mereka dinding dan dibelakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.” (QS. Yasin 36/9).

Setelah itu para algojo itu tidak bisa mendeteksi kepergian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. karena dibuat mengantuk oleh Allah. Setelah memasuki rumah beliau merasa terheran-heran, ternyata yang menempati tidur Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam adalah anak pamannya Abu Thalib, Ali kw. Betapa terkejutnya mereka. Mereka membuat makar, dan Allah membuat makar yang lebih canggih kepada mereka.

Sebuah bangsa yang dibangun tanpa memperhatikan aspek moral, keterlibatan Tuhan maka ucapkanlah taziyah (ucapan terakhir untuk mayit) kepada bengsa itu. Negara yang dibangun dengan mengabaikan peranan Tuhan, laksana membangun istana pasir atau permukaan balon. Negara itu akan keropos, mudah rapuh oleh tangan jahil penghuninya atau oleh konspirasi eksternal.

Keempat: Membangun sinergi dengan pihak lain

Sesungguhnya eksistensi sebuah peradaban sangat didukung oleh ketrampilannya dalam membangun kerjasama dengan pihak lain. Untuk mendukung keberhasilan hijrah, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bekerjasama dengan penggembala kambing orang Nasrani (Abdullah) untuk menghilangkan jejak dan rute yang dilewati. Sehingga beliau dan Abu Bakar menaiki Gua Tsur dengan aman. Tanpa sepengetahuan musuh-musuhnya.

Sesungguhnya ajaran Islam menjunjung tinggi kerjama dalam kebaikan dan taqwa. Dan menolak sinergi dalam perbuatan dosa dan permusuhan.Ciri yang paling menonjol akhlaq Islam dengan agama lain adalah menjunjung tinggi kesepahaman dan tidak menghalalkan segala cara. Bertolak belakang dengan sistem politik Machiavelli. “Al ghoyatu tubarrirul wasaa-il” (segala cara ditempuh, demi mencapai tujuan). Maka ada sebuah pameo; “Tidak ada kawan abadi, yang kekal adalah kepentingan.”

Disamping konsep Islam teguh dalam persoalan prinsip, terbuka pula dalam menerima perubahan-perubahan yang bersifat tekhnikal. Rasulullah telah mengajarkan sikap keterbukaan dalam memandang perbedaan. Perbedaan pandangan adalah suatu fitrah. Bahkan dengan beragam perbedaan itu bisa mendewasakan seseorang. Yang penting, mensiasati dan mengelola perbedaan itu agar menjadi produktif. Islam mengajarkan sepakat dalam persoalan prinsip dan toleran dalam perbedaan yang bersifat non prinsip. Oleh karena itu, kita dituntut menyederhanakan perbedaan dan mengedepankan kesepahaman. Dengan kerjasama yang baik antara berbagai komponen komunitas (pemimpin (Rasulullah), generasi tua (Abu Bakar), kalangan pemuda (Ali krw) kesulitan dan tantangan seberat apapun akan mudah diatasi.

Kelima: Pemberdayaan perempuan

Sesungguhnya wanita adalah saudara laki-laki (syaqoiqur Rijal). Dalam Islam laki-laki dan wanita itu satu kesatuan. Bahkan wanita itu terbuat dari tulang rusuk laki-laki. Karena dari satu jiwa, maka laki-laki dan perempuan saling membutuhkan dan saling melengkapi. Laki-laki dan perempuan yang berprestasi akan mendapatkan balasan yang sama.Oleh karena itu Allah memberikan tugas dan kewajiban kepada makhluq-Nya sesuai dengan fungsi kodratinya.

Perempuan yang terdidik dengan baik, memiliki kualitas yang melebihi laki-laki. Asma’ binti Abu Bakar dalam usia belia berhasil mengomandani urusan logistik ketika hijrah. Sekalipun medan yang dilewati terjal, dan nyawanya terancam. Demikianlah perempuan yang berkualitas, mengungguli bidadari. Karena bidadari masuk surga karena takdir. Sedangkan wanita shalihah berhasil karena perjuangan. Ketika masuk surga, menghargai tempat yang dihuni.

Sebaliknya wanita yang dibiarkan bengkok, maka kejahatannya akan melebihi laki-laki. Masih ingatkah kita peristiwa pembedahan dada mayat Hamzah bin Abdul Mutholib, kemudian digigit hatinya. Itulah perbuatan terkutuk yang dilakukan oleh Hindun. Sehingga ketika telah masuk Islam, Rasulullah melihat wajahnya. Terbayang dengan peristiwa yang memilukan/menyayat hati.

Wanita shalihah lebih baik dari bidadari. Karena wanita shalihah berhasil berkat perjuangannya (mujahadah). Ketika masuk surga, ia menghargai posisi yang ditempatinya. Sedangkan bidadari masuk surga secara cuma-cuma (majjanan). Ia tidak merasakan pentingnya tempat yang dihuni (Hadil Arwah, Ibnul Qayyim Al Jauziyah).

Keenam: Membangun pola kepemimpinan Imamah

Ketika di Gua Tsur Abu Bakar merasa cemas, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menghiburnya: Laa tahzan innalloha ma’anaa (Jangan takut, sesungguhnya Allah bersama kita). Pada ayat ini beliau menggunakan khithab (pembicaraan) nun jama’ (prular) “ma’anaa”. Disini diambil pelajaran pentingnya berjamaah dalam membangun peradaban.

Berjamaah adalah media yang efektif dan efisien dalam memperkecil konflik. Mengesampingkan perbedaan dan menonjolkan persamaan. Berjamaah adalah fitrah manusia. Dengan berjamaah kita menyadari keterbatasan kita. Keberhasilan kita terwujud didukung oleh pengorbanan pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kehadiran kita di bumi ini juga tidak bisa dilepaskan dari kerjasama kedua orang tua kita. Sesungguhnya kita berasal dari percikan-percikan air (qothorot) dan menjadi manusia (fashorot insanan).

Keberhasilan yang dinikmati sendirian, tidak terlalu membahagiakan. Kesusahan yang ditanggung secara kolektif, maka derita menjadi ringan untuk dipikul. Itulah pentingnya kebersamaan. Dan karena kelemahan kita, menuntut adanya kerja sama dengan pihak lain di luar kita. Bahkan menjaga keshalihan kita mustahil terwujud tanpa berjamaah.

Kebenaran tanpa aturan, terkadang dikalahkan oleh kebatilan yang teratur kata Imam Syafii. Dunia ini dikuasai oleh negara Super Power. Namun, yang sedikit kita ketahui, dibalik kekuatan negara adi kuasa itu, terbukti ada kekuatan penekan (jama’atudh dhoghthi) yang diperankan oleh jaringan mafia kejahatan yang terorganisir dengan rapi. Dunia ini dikuasai oleh mafia. Wajar, jika kita menyaksikan media informasi di dunia ini tidak mendidik.

Demikian, beberapa pesan yang bisa dipetik dari hijrah. Yang jelas, “Al Hijratu maadhin ilaa yaumil qiayamah.” (hijrah tetap berlangsung sampai hari kiamat). Baik secara maknawi (hajara, meninggalkan segala bentuk maksiat), pula yang bersifat makani (haajara : meninggalkan lingkungan yang tidak Islami). Ketika Islam belum mendominasi kehidupan. Berbeda dengan haji, hanya diperuntukkan bagi yang mampu. Sebaliknya, selama Islam belum tegak secara de jure dan de vacto, perintah hijrah bersifat wajib sampai hari kiamat sekalipun tidak memiliki apa-apa dan berangkat harus ditempuh dengan berjalan kaki, memakan urat pohon, tempat yang dituju tidak menjanjikan kehidupan dll, menurut jumhur ulama.

وَمَن يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللّهِ يَجِدْ فِي الأَرْضِ مُرَاغَماً كَثِيراً وَسَعَةً وَمَن يَخْرُجْ مِن بَيْتِهِ مُهَاجِراً إِلَى اللّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلى اللّهِ وَكَانَ اللّهُ غَفُوراً رَّحِيماً

“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa (4) : 100).

Allah Subhanhu Wa Ta'ala akan memberikan pertolongan kaum muhajir di tempat yang baru dengan berbagai fasilitas yang menggiurkan. Bakkah (lingkungan yang membuat orang menangis) yang semula ditempati Ibu Hajar dan Ismail, menjadi Makkah Al Mukarromah (tempat yang diberkahi dan dimuliakan). Tempat yang membuat daya tarik spiritual bagi yang pernah mengunjunginya. Gua dikelola oleh ashhabul kahfi menjadi pusat dakwah. Penjara dirubah oleh Yusuf menjadi sarana tarbiyah.

Jika di tempat pertama belum ditemukan janji Allah, maka carilah tempat yang lain. Karena di tempat yang baru ini Allah akan membuktikan jaminan-Nya. Bukankah bumi Allah itu luas?

Jika bahan pembuatan pabrik di perut bumi tertentu habis, carilah bumi yang lain. Insya Allah tempat yang baru akan ditemukan limpahan karunia-Nya.*

Penulis kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Semarang, Jawa Tengah
Dikutip dan Ringkas Judul oleh situs Dakwah Syariah
Red: Cholis Akbar


Rating: 5
Penyebab Utama Disorientasi Kehidupan

Penyebab Utama Disorientasi Kehidupan

Disorientasi Kehidupan, Miskin Tazkiyatu Nafs." SUATU kali, pemimpin Singapura, Lee Kuan Yew, mengingatkan generasi mudanya; “Hidup bukan cuma untuk sepotong roti. Masih ada bianglala di langit Singapura. Keberhasilan pembangunan fisik bukan segala-galanya dalam hidup ini.”

Ungkapan arif demi melihat kembali keluhuran tujuan hidup bukan tanpa alasan. Sekarang kita melihat generasi muda bangsa di dunia rata-rata berfikir dan berorientasi jangka pendek (mata’).

Pertanyaan umum klasik para calon mahasiswa di Amerika dari dulu sampai sekarang berkisar tentang kebimbangan/ketidakpastian tujuan hidup. “Bagaimana saya harus memutuskan apa yang harus saya lakukan setelah saya dewasa?”

Tapi sayang, perguruan tinggi tak bisa menjawab kegelisahan batin remaja dunia seperti itu. Bentuk baru kemiskinan idealisme generasi muda zaman ini ketika setiap fakultas hanya melaksanakan mandat mengajarkan kepada anak-anak bangsa untuk menjadi “mesin pembuat uang”.

Di seberang lain, perguruan tinggi harus merespon permintaan pasar sehingga berurusan dengan tujuan karir dan penambahan income belaka.

Pada saat yang sama, para guru bangsa --mereka yang berada di koridor kekuasaan, kelas menengah bangsa-- merasakan ketiadaan makna hidup semacam itu. Tidak sedikit yang bertanya sendiri dalam hati, hidup ini untuk apa, ketika sudah di puncak? Ketika semuanya sudah diperoleh dan sangat berlebih? Tetapi mengapa seperti terus saja terasa ada yang belum tuntas dan belum terjawab dengan tuntas ? Seperti ada yang belum terselesaikan? Pesona gemerlapan material, prestise, terbukti membuat pemburunya kecewa?

Kata orang, itulah salah satu fenomena “sakit jiwa” dalam kehidupan modern. Bentuk kekosongan spiritual insan berdasi karena tidak tepat memilih dan memutuskan tujuan hidup. Kecenderungan hidup untuk memiliki, bukan untuk menjadi bermakna dengan memberi. Kebanyakan mereka mempersepsikan, aktifitas memberi dan berkorban untuk sesama itu sebagai kehilangan, bukan mendapatkan.

Padahal, Islam, 13 abad telah mengingatkan banyak orang, sesungguhnya jika hidup hanya ditujukan mencari dunia, hanyalah fatamorgana dan tipuan belaka. Layaknya harta yang diberikan pada kaum kafir. Nampak ada, namun sesungguhnya tipuan.

وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاء حَتَّى إِذَا جَاءهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئاً وَوَجَدَ اللَّهَ عِندَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ

“Dan orang-orang yang kafir, perbuatan mereka seperti fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi apabila didatangi tidak ada apa pun.” (QS. An-Nur (24) : 39).

Karena pemuasan kebutuhan psikologis, membuat orang yang mempercayakan kebahagiaan hidupnya pada kebendaan berubah karakternya. Mereka cenderung agresif, kompetitif, dan antagonistis. Wajah sipil tapi bertabiat militer. Bangsa maju yang berkarakter primitif. Bangsa yang bugar secara phisik, tetapi terluka jiwanya. Indikasinya, ketakutan akan kehabisan alat pemuas sesaat yang dianggap dapat mengancam kehilangan makna hidup itu, sehingga orang tak henti menimbun dan menumpuk harta. Siklus hidupnya tak lain; berebut pengaruh, posisi, nasi dan kursi. Sekalipun harus menghalalkan segala cara. Persetan dengan aturan halal dan haram.

Dari kecil, anak-anak bangsa di dunia, diajarkan kecanduan pada bendawi. Mereka menambah deretan panjang barisan kelas konsumen dunia, bukan di mata Tuhan. Mereka dibiasakan terbius oleh pemenuhan sesaat. “Besuk besak jadi apa? Dokter, ya,” bagitu para guru dan orangtua mendikte.

Karenanya, anak-anak tak lagi diajarkan dari mana kita ini lahir dan hidup, untuk apa dan mau kemana kita semua hidup?

Alhasil, materialisme yang membuat nilai-nilai, ikatan dalam keluarga dan masyarakat makin longgar. Kita lebih suka berikirim SMS daripada datang langsung untuk bersalaman dengan sahabat, saudara bahkan tetangga sebelah rumah.Banyak waktu, tapi seolah sibuk dan kekurangan waktu. Kita terasing di tengah keramaian dan kerumunan manusia. Kita berdekatan dengan anak, istri, saudara dan handai tolan, tetapi sesungguhnya hati terasa jauh.

“Industri hati yang sepi,” itulah tema dunia yang kini banyak diminati masyarakat modern. Mereka merasakan kesepian dan kekosongan jiwa, kian terpojok pada rasa nihilistik.

Dalam sebuah media, dicerikan, bagaimana generasi muda Jepang sekarang membenci orangtua mereka sendiri yang pandangan hidupnya cuma untuk kerja dan kerja (karosi). Mereka mengucilkan orangtua yang telah membuat hidup keluarga mereka terlanjur tak bahagia. Orang sekarang mengisi kehidupannya di mall dan diskotik, tempat rekreasi, di ajang politik, free seks, narkoba, dan entah apa lagi. Tetapi sayang, mereka tidak menemukan yang dicarinya di sana. Karena kebahagiaan bukan berbentuk barang yang harus diburu di tempat tertentu. Apa yang diidamkan terwujud, hanya saja membuat pemiliknya justru kehilangan. Mirip dengan hati sanubari yang menyelimuti orang-orang kafir. Allah mengibaratkan padanya seperti gelap tapi masih diliputi awan berlapis-lapis. Itulah hati dan jiwa orang yang tak pernah merasakan “cahaya” iman.

أَوْ كَظُلُمَاتٍ فِي بَحْرٍ لُّجِّيٍّ يَغْشَاهُ مَوْجٌ مِّن فَوْقِهِ مَوْجٌ مِّن فَوْقِهِ سَحَابٌ ظُلُمَاتٌ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ إِذَا أَخْرَجَ يَدَهُ لَمْ يَكَدْ يَرَاهَا وَمَن لَّمْ يَجْعَلِ اللَّهُ لَهُ نُوراً فَمَا لَهُ مِن نُّورٍ

“Atau (keadaan orang-orang kafir) seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh gelombang, di atasnya ada (lagi) awan gelap. Itulah gelap gulita yang berlapis-lapis. Apabila dia mengeluarkan tangannya hampir tidak dapat melihatnya. Barangsiapa tidak diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, maka dia tidak mempunyai cahaya sedikitpun." (QS. An-Nur (24) : 40).”

Sebut saja Negara Amerika Serikat (AS), tercatat sudah menjadi mall terbesar di dunia. Lebih banyak mall dibangun di dunia dibanding dengan sekolah atau gereja. Lebih banyak alat elektronik canggih diciptakan. Semua untuk pemuas kehidupan manusia. Hanya saja, tidak bisa menolong orang dengan krisis spiritual dalam kehidupan yang glamor. Kelaparan orang modern berbentuk miskin orientasi dan sikap hidup.

Pendiri Sightline dan peneliti senior di Institut Worldwatch di Washington, DC, Alan Thein Durning pernah mengatakan, gaya hidup konsumerisme Barat tak membuat kebahagiaan orang meningkat. Peningkatan gizi, minim sekali sumbangannya bagi kebahagiaan orang seorang di Amerika Serikat, dari tahun 1957 sampai sekarang tetap saja sepertiganya. Padahal selama lebih dari tiga dasawarsa, pola hidup konsumerisme telah berlipat kali lebih besar.

Akibatnya, banyak anak di dunia harus menggendong cita-cita, ambisi, dan falsafah hidup yang keliru yang bukan miliknya sendiri. Mereka memikul ambisi orangtua, kemauan politik, dan kesalahan sistem pendidikan bangsanya. Mereka disetting agar siap sukses dan berprestasi di mata dunia (dalam ukuran-ukuran materi dan finansial). Mereka dipilihkan jalan hidup yang terbukti salah.

Kita, rupanya ikut terlanjur mengajarkan pada anak-anak untuk menjadi “nomor satu”, seperti dilazimkan dalam kredo bangsa Amerika. Semua anak digiring bercita-cita agar menjadi dokter, insinyur, atau apa saja karena profesi semacam itu dinilai orang potensial meraup uang. Karenanya, Mohammad Iqbal pernah mengatakan, ”Pendidikan modern tidak mengajarkan air mata pada mata, dan kekhusuan di hati”, serta karakter.” 

Saatnya kita dan anak-anak kita memerlukan logoterapi, bentuk terapi agar hidup yang pecah menjadi utuh dan bernilai. Sekarang kita membutuhkan kembali ilmu kehidupan itu bagi semua anak bangsa agar tahu bahwa menemukan cara hidupnya yang indah sama baiknya dengan cara matinya yang mempesona. Kematian yang berkesan dihati banyak orang. “‘isy kariiman au mut syahiidan.”

Adalah Ibrahim Al A’zham, seorang putra mahkota yang akhirnya memilik keluar dari istana dan menyukai tinggal di luar kekuasaan. Dalam sebuah doa di shalat tahajjutnya, ia memanjatkan doa. “Kami merasakan kelezatan spiritual, sekiranya para raja mengetahui bahwa sumber kebahagiaan bersumber dari sini, mereka akan menguliti kami karena dengki.” Inilah iqamatul haq (panggilan kebenaran) dan iqamatud din (panggilan agama) yang harus kita ajarkan pada anak-cucu kita.

Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah
Red: Cholis Akbar
Dikutip dan Ringkas Judul oleh situs Dakwah Syariah


Rating: 5