Tampilkan postingan dengan label Perbankan Syariah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Perbankan Syariah. Tampilkan semua postingan
Peran Stakeholder Perbankan Syariah

Peran Stakeholder Perbankan Syariah


Harmonisasi Peran Stake Holder Perbankan Syariah (Pemerintah, Ulama Dan Bank Syariah) : Sebagai Upaya Meningkatkan Kinerja Bank Syariah Di Indonesia." Sejarah perkembangan bank syariah di Indonesia diawali dengan berdirinya Bank Muammalat Indonesia (BMI) pada November 1991, yang akhirnya diikuti oleh keluarnya peraturan tentang perbankan yaitu, UU No 7 tahun 1992 yang membolehkan operasional bank dengan sistem bagi hasil di Indonesia.

    Namun setelah muncul nya UU No 10 tahun 1998, yang mengatur tentang dual banking-system yaitu peraturan yang membolehkan setiap bank konvensional membuka sistem pelayanan syariah di cabangnya membuat perkembangan bank syariah berjalan sangat cepat, perkembangan selanjutnya adalah terbitnya UU No 23 tahun 1999 mengenai proses pendirian dan jaringan bank umum syariah (BUS), pengaturan kelembagaan bank umum konvensional (BUK) yang membuka Unit Usaha Syariah (UUS), pendirian Kantor Cabang Syariah (KCS), dan pendirian Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Perkembangan selanjutnya adalah keluarnya fatwa tentang haram nya bunga bank yang dikeluarkan oleh MUI pada tahun 2003, keluarnya fatwa ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap laju pertumbuhan industri perbankan syariah. Hal ini terlihat dengan terjadinya over likuiditas perbankan syariah yang mencapai 300 miliar rupiah pada saat itu. Pertumbuhan industri perbankan syariah yang saat ini dapat dilihat dengan munculnya 3 bank umum syariah dan 22 unit usaha syariah di beberapa bank konvensional di Indonesia. Perkembangan ini dapat dilihat dengan tumbuhnya 3 bank umum syariah yaitu Bank Muammalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, dan Bank Syariah Mega Indonesia serta terdapat 22 unit usaha syariah di beberapa bank konvensional di Indonesia. ( Statistik Perbankan Syariah-Bank Indonesia)

Berbagai produk yang ditawarkan oleh perbankan syariah antara lain: (1) produk pengumpulan dana, terdiri dari: giro wadi’ah, tabungan mudharabah, dan deposito mudharabah; (2) produk pembiayaan: murabahah, bai’ as salam, bai istishna’, ijarah, musyarakah, mudharabah. (3) produk jasa; al-wakalah, al-hawalah, kafalah, dll

POTENSI BANK SYARIAH DALAM PEREKONOMIAN

Bank syariah mempunyai peluang yang sangat besar untuk memberdayakan perekonomian ummat, karena tingkat rasio penyaluran dana pihak ketiga (FDR) kepada nasabah pada bank syariah sangat besar, yaitu sebesar 105,70 persen, lebih tinggi daripada LDR pada perbankan nasional yang rata-ratanya hanya sebesar 64 persen, dengan tinginya tingkat FDR bank syariah mencerminkan bahwa fungsi intermediasi bank syariah dapat tercapai dengan optimal. Selain itu apabila dilihat dari prosentase pembiayaan berdasarkan golongan pembiayaan, sektor UMKM merupakan fokus pembiayaan bank syariah dengan prosentase pembiayaan mencapai 70 persen dari seluruh total pembiayaan Rp23,23 triliun, lebih tinggi daripada sektor korporasi yang hanya mencapai 30 persen.

Bank syariah lebih mencerminkan prinsip keadilan melalui mekanisme pembiayaan bagi hasil dengan skema distribusi pendapatan yang merata karena lebih fokus pada pemberdayaan UMKM. Hal ini terjadi karena jumlah populasi UKM pada 2006 mencapai 48,9 juta unit usaha atau sekitar 99,98 persen terhadap total unit usaha di Indonesia, sementara jumlah tenaga kerjanya mencapai 85,4 juta orang atau 96,18 persen terhadap seluruh tenaga kerja Indonesia atau sebanyak 46,28 persen dari jumlah total penduduk Indonesia. Selain itu sektor UMKM memiliki potensi yang sangat luar biasa, yaitu sekitar 57 persen kebutuhan barang dan jasa serta sekitar 19 persen produk ekspor merupakan hasil produksi UMKM dan mampu memberikan kontribusi 2-4 persen pertumbuhan nasional. Menurut Menteri Negara Koperasi dan UKM (Menegkop & UKM), sektor UKM menyumbang 53,3 persen atau sebesar Rp1.778,7 triliun dari total Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2006 yang mencapai Rp3.338,2 triliun ( www.menkokesra.go.id).

Menurut Siti Ch. Fadjriah (2007), Pembiayaan dengan menggunakan sistem syariah lebih cocok diterapkan dalam membiayai sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) karena lebih memberikan kepastian dan tidak terbebani akibat kenaikan suku bunga karena skema pembiayaan pada bank syariah tidak mengacu pada system bunga yang dapat mengakibatkan terjadinya kemungkinan negative spread. Selain itu bank syariah mempunyai risiko yang lebih kecil dari pada bank konvensional yang terkait dengan risiko bunga (Hilmy, 2005), diantaranya:

    Risiko negative spread, terjadi karena kemungkinan kenaikan tingkat suku bunga yang sangat tinggi yang dapat mengakibatkan kemungkinan terjadinya kredit macet.

    Risiko praktik “bank dalam bank” (BDB). Praktik BDB adalah praktik “bank gelap” yang dilakukan oleh penguasa bank (oknum) tetapi dilakukan di dalam bank yang legal. Ketika BDB berjalan lancar, maka keuntungannya diambil cukong. Tetapi, apabila BDB bermasalah, misal non performing loan (NPL, pinjaman bermasalah), bank harus menanggung masalah likuiditasnya, yaitu oknum perbankan menghindar dan risikonya dapat dialihkan ke bank.

    Risiko kompetisi bunga dan hadiah. Pada bank sistem bunga, bank lebih mudah menarik DPK, dengan menawarkan kenaikan suku bunga atau hadiah. Bunga dan hadiah adalah janji pasti (fixed income) sehingga sangat menarik bagi DPK. Semua Bank dengan system bunga akan terlibat dalam persaingan menaikkan tingkat suku bunga dan pemberian hadiah. Bila ada Bank yang tidak ikut, maka bank itu ditinggalkan nasabah dan bank terancam kegiatan operasionalnya. Sehingga memaksa hampir semua bank dengan operasi system bunga untuk ikut berkompetisi dalam persaingan penjaringan DPK walaupun dengan beban bunga itu dirasakan beban berat.

    Risiko spekulasi. Spekulasi yang biasa dilakukan pada bank dengan system bunga di antaranya ialah dalam jual beli valas.

KELEMAHAN DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH

Dalam Perkembangannya bank syariah mengalami beberapa kendala diantaranya adalah rendahnya market share perbankan syariah yang total asset nya baru mencapai 1,66 persen dari seluruh total asset bank di perbankan nasional sehingga menyebabkan peran bank syariah dalam memberdayakan perekonomian ummat menjadi kurang optimal. Kondisi saat ini pertumbuhan asset perbankan syariah terkesan melambat, sehingga perkembangan laju pertumbuhannya tidak begitu pesat seperti tahun-tahun sebelumnya. Hal ini terjadi karena perbankan syariah terkesan mengerem penerimaan dana pihak ketiga (DPK) karena bank syariah tidak bisa melakukan pembiayaan secara menyeluruh kepada pengusaha karena terkait asas prudential banking dan prospek usaha yang kurang bagus ( Tempo, 21 Oktober 2007).

Statistik Perbankan Syariah Terhadap Total Bank Posisi Agustus 2007 (Triliun rupiah)
Islamic Bank
Total Banks
Nominal
Share
Total Asset
30,145
1.66%
1 ,820,388
Depoosit Fund
23,309
1.67%
1 ,392,668
Credit/Financing Extended
24,638
2.76%
893,497
FDR/LDR
105.70 %
64.16 %
                 (Sumber: Statistik Perbankan Syariah-Bank Indonesia September 2007)



Padahal Bank syariah mempunyai peluang yang sangat besar untuk menggerakkan ekonomi ummat, karena tingkat rasio penyaluran dana pihak ketiga (FDR) kepada nasabah pada bank syariah sangat besar, yaitu sebesar 105,70 persen lebih tinggi daripada bank konvensional rata-rata hanya sebesar 64 persen. Dengan tingginya tingkat FDR tersebut, bank syariah mempunyai peluang yang besar untuk menumbuhkan iklim investasi dan jiwa entrepreneurship nasabah yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan dan mengurangi pengangguran di masyarakat. Minimnya total asset bank syariah disebabkan oleh faktor-faktor antata lain yaitu:

Pertama, kurangnya sosialisasi dan pengetahuan masyarakat tentang produk-produk bank syariah, sehingga banyak masyarakat yang belum menggunakan jasa layanan keuangan bank syariah. Kedua, terbatasnya pakar dan SDM yang ahli dalam perbankan syariah. Ketiga, kurang inovatif dan minimnya produk yang dapat mengakomodir kebutuhan nasabah. Keempat, sistem regulasi atau perundang-undangan yang belum memadai. Kelima, dukungan Pemerintah dinilai masih kurang dalam upaya pengembangan bank syariah. Hal ini dilihat dari dari sisi alokasi dana yang dikeluarkan untuk edukasi, sosialisasi dan promosi tentang bank syariah masih sangat minim. Keenam, kurangnya instrumen moneter yang berbasis syariah untuk membantu kebutuhan likuiditas dan instrumen investasi bank syariah. Ketujuh, terjadi pajak ganda dalam suatu transaksi produk pembiayaan di bank syariah (murabahah), sehingga menyebabkan produk tersebut kurang kompetitif.

Selain masalah tersebut bank syariah juga kurang memberikan kontribusi yang signifikan dalam upaya memberdayakan ekonomi ummat, hal ini terlihat dari portofolio pembiayaannya yang masih didominasi oleh pembiayaan non-bagi hasil, yaitu pembiayaan murabahah dan ijarah. Hal ini terlihat dalam statistik pembiayaan bank syariah, bahwa tingkat pembiayaaan murabahah hampir mencapai 60 persen, sedangkan pembiayaan bagi hasil (musyarakah dan mudharabah) hanya mencapai sekitar 35 persen.

Dengan kondisi tersebut sungguh ironis, karena berdasarkan prinsip dasar produk tersebut, bank syariah sesungguhnya memiliki core product pembiayaan bagi hasil, yang dikembangkan dalam produk pembiayaan musyarakah dan mudharabah (Muhammad, 2005). Hal ini berarti keberadaan bank syariah harus mampu memberikan kontribusi yang meningkatkan pertumbuhan sektor riil. Fungsi tersebut akan terwujud bila bank syariah menggunakan akad profit and loss sharing (mudharabah dan musyarakah) sebagai core productnya (Beik, 2005) dalam (Muhammad, 2005).

Menurut (Beik, 2007) tingginya pembiayaan non-bagi hasil dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya inflasi, dimana harga komoditas barang cenderung meningkat selain itu, skema murabahah tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan produktivitas barang dan jasa. Tingginya pembiayaan non-bagi hasil tidak hanya menimbulkan masalah bagi dunia usaha, tetapi juga mengakibatkan rendahnya perolehan pendapatan bank syariah itu sendiri, karena walaupun dengan risiko yang lebih tinggi produk pembiayaan bagi hasil dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar daripada produk pembiayaan non-bagi hasil, yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan bank syariah itu sendiri. Selain itu menurut (Agustianto, 2007) Pembiayaan non bagi hasil sesungguhnya tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangkan sektor riel, karena bentuknya dominan konsumtif Dengan tingginya pembiayaan non bagi hasil, mengindikasikan bank syariah terkesan sangat menghindari risiko .

SOLUSI PERMASALAHAN

Upaya pengembangan kinerja dan daya saing industri perbankan syariah membutuhkan peran serta dan komitmen yang kuat dari stake holder perbankan syariah, yaitu pemerintah, ulama, perbankan syariah maupun masyarakat umum. Sehingga perlu di lakukan sinergisitas peran masing-masing pemegang kepentingan untuk saling bekerja sama mengembangkan industri perbankan syariah.

Peran Pemerintah

Keberpihakan pemerintah sebagai regulator sangat diperlukan, yaitu dalam mendukung perkembangan perbankan syariah, yang dapat direalisasikan dengan pengeluaran kebijakan-kebijakan yang mendukung. Ironisnya peran tersebut belum terlihat nyata, hal ini terlihat dari belum keluarnya UU khusus tentang perbankan syariah yang mengatur kegiatan operasional bank dan adanya pajak ganda dalam suatu transaksi bank syariah, selain itu penyediaan instrumen moneter yang sesuai prinsip syariah masih kurang sehingga dapat menghambat perkembangan likuiditas perbankan syariah karena bank syariah terkesan menahan laju pertumbuhan DPK karena mengalami kendala dalam penyaluran dana karena tidak cukupnya instrumen syariah yang digunakan untuk melakukan investasi, kondisi ini sangat berbeda dengan bank konvensional yang diuntungkan dengan adanya SBI sehingga mampu menarik DPK dalam jumlah yang besar.

Oleh karena itu kontribusi dari pihak pemerintah sebagai regulator yang paling diharapkan saat ini dalam pengembangan industri perbankan syariah adalah :

Pertama, mengeluarkan UU khusus yang mengatur tentang perbankan syariah, sehingga dalam kegiatan operasionalnya bank syariah dapat bergerak dengan optimal, serta mampu menarik investor asing untuk ikut serta mengembangkan bank syariah karena ada kejelasan hukum dan perundang-undangan yang mengaturnya.

Kedua, menerbitkan Undang-undang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), dengan terbitnya UU SBSN maka penerintah dapat menarik dana yang melimpah dari investor timur tengah yang sedang menikmati untung besar akibat lonjakan harga minyak dunia, namun yang lebih penting dengan adanya SBSN, pemerintah dapat menerbitkan sukuk negara yang menjadi produk investasi alternatif bagi bank syariah dalam menyalurkan DPK nasabah dan menjadi media pengelolaan likuiditas, dimana bank syariah dapat menginvestasikan dana seoptimal mungkin, tetapi juga dapat dicairkan sewaktu-waktu bila bank syariah membutuhkan dana untuk memenuhi kebutuhan likuiditasnya. Dengan adanya sukuk negara diharapkan bank syariah dapat menarik DPK dengan jumlah yang besar tanpa ada kesulitan untuk menyalurkan nya ke sektor yang produktif .

Ketiga, menghapus pajak ganda atas transaksi keuangan bank syariah, dalam transaksi pembiayaan bank syariah (murabahah) dikenai pajak ganda, sehingga produk ini menjadi kurang kompetitif dan dapat menjadikan ekonomi biaya tinggi karena dapat bersifat inflatoar, sehingga dengan dihapuskan nya pajak ganda dalam transaksi ini diharapkan produk pembiayaan ini ini lebih diminati oleh nasabah.

Keempat, meningkatkan simpanan dana pemerintah di bank syariah, dengan adanya simpanan dana dari pemerintah, menyebabkan struktur DPK bank syariah menjadi kuat sehingga bank syariah dapat mengelola dana yang murah dan mampu mengambil pilihan investasi yang beragam yang mampu memberikan tingkat keuntungan yang di harapkan sehingga mampu memberikan imbal hasil yang kompetitif kepada nasabah. Contoh riil dari upaya ini dapat dilakukan melalui institusi Departemen Agama (Depag) yang mengeluarkan kebijakan pengelolaan dana haji oleh industri perbankan syariah.

Kelima, melakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang produk-produk perbankan syariah. Hal ini sudah terlihat dengan adanya pencantuman logo IB (Islamic Banking) di situs maupun publikasi Bank Indonesia ataupun program “AYO KE BANK”.

Keenam, mengeluarkan serangkaian kebijakan yang mendung perkembangan industri keuangan syairah, di antaranya dapat di lakukan melalui pelatihan SDM atau kegiatan lain yang dapat meningkatkan kualitas SDM industri perbankan syariah, keringanan biaya dalam pembukaan office channeling untuk meningkatkan kualitas dan akses pelayanan nasabah maupun meningkatkan kinerja industri perbankan syariah

Ketujuh, menaikkan bagi hasil instrumen uang bank syariah, yaitu SWBI minimal mendekati dengan perolehan bunga SBI bank konvensional, sehingga bank syariah dapat menempatkan dananya untuk sementara di SWBI sebelum diinvestasikan ke sektor produktif. Menurut Riawan Amin (2007) dengan dinaikkannya bagi hasil SWBI yang mendekati SBI bank konvensional dapat tercipta iklim persaingan yang seimbang diperbankan nasional.

Namun dalam penyimpanan dana bank syariah di SWBI sebaiknya dibatasi baik jumlah maupun batas waktunya, karena dengan naiknya bagi hasil SWBI mendekati instrumen SBI pada bank konvensional, dikhawatirkan perilaku bankir syariah akan menjadi sama dengan bank konvensional, yaitu terkesan menghindari risiko sehingga menempatkan dana DPK dalam jumlah besar ke instrumen SWBI yang akhirnya peran perbankan syariah sebagai lembaga intermediasi dalam pembangunan masyarakat yang berkeadilan tidak berjalan dengan optimal.

Peran Ulama

Ulama mempunyai kedudukan yang sangat vital dikalangan masyarakat, terutama masyarakat religius. Ulama ditempatkan sebagai penerus para nabi sebagai pembawa risalah kebenaran, sehingga keteladanannya sangat diharapkan dalam pengembangan bank syariah kedepan. Peran ulama bukan hanya pada aspek ibadah mahdhah saja, seperti yang terlihat pada materi bahasan dakwah para ustadz di masjid melalui khutbah jum’at, majelis ta’lim yaitu mengenai aspek ibadah saja, tetapi juga mencakup berbagai bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya untuk kesejahteraan hidup ummat manusia. Menurut (Agustianto, 2007) ulama mempunyai peran yang sangat penting dalam memasyarakatkan perbankan syariah di kalangan masyarakat, karena ulama mempunyai figur penggerak, motivator dan dinamisator masyarakat menuju perubahan yang lebih baik melalui ucapan dan perilaku ulama yang dapat dijadikan teladan dan panutan oleh masyarakat. Sehingga nanti diharapkan dalam melakukan kegiatan dakwahnya, cakupan bahasan mengenai aspek muamalah yaitu mengenai perbankan syariah maupun lembaga keuangan syariah lainnya hendaknya disampaikan ke kalangan masyarakat.

Selain itu, penggunaan masjid sebagai sarana sosialisasi, edukasi dan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang produk-produk lembaga keuangan syariah sangat menentukan keberhasilan dalam pengembangan bank syariah

Peran Bank Syariah

Upaya yang dilakukan bank syariah merupakan faktor yang terpenting dan paling utama bagi pengembangan bank syariah ke depan untuk memberdayakan perekonomian ummat, karena bank syariah sendiri yang menjadi subjek dan motor penggerak dalam pembangunan masyarakat. Oleh karena itu dalam setiap pengambilan kebijakan dan keputusan diharapkan mendukung perkembangan bank syariah itu sendiri. Namun saat ini perbankan syariah mengalami masalah-masalah yang cukup kompleks dalam upaya pembangunan ekonomi masyarakat. Sehingga dalam upaya pengembangan ke depan, bank syariah harus mensinkronkan fungsi dan tujuan bank syariah, artinya dalam pengembangan ke depan bank syariah harus menyesuaikan sesuai fungsinya sebagai lembaga intermediasi yang ikut berperan serta dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat, dengan tetap memperhatikan tujuan bank syariah tersebut yaitu meningkatkan pertumbuhan market share baik deposit fund maupun financing fund untuk meningkatkan peran perbankan syariah dalam pembangunan ekonomi masyarakat yang berkeadilan.

Langkah-langkah yang dapat ditempuh oleh bank syariah untuk meningkatkan peran dan fungsinya dalam memberdayakan ummat adalah sebagai berikut :

Pertama, Meningkatkan kualitas SDI bank syairah, peningkatan SDI bank syariah sangat penting karena berkaitan erat dengan kualitas produk-produk yang dikeluarkan oleh bank syariah. Menurut (Ramzi Zuhdi, 2007), keterbatasan SDI yang andal pada bank syariah menyebabkan bank syariah terkesan mengerem laju pertumbuhan DPK bank syariah. Hal ini terjadi karena SDI di perbankan syariah masih terfokus pada sektor jasa dan perdagangan sehingga sektor-sektor lain yang lebih produktif seperti industri pertambangan dan pembangkit tenaga listrik belum bisa dikelola dengan optimal.

Kedua, Inovasi produk-produk yang sesuai syariah, kebutuhan inovasi terhadap produk syariah merupakan suatu kebutuhan yang mendesak karena untuk meningkatkan market share dan daya saing bank syariah secara berkelanjutan dibutuhkan inovasi produk untuk menghasilkan produk baru yang menawarkan kemudahan bertransaksi dan mampu memenuhi kebutuhan nasabah yang semakin kompleks terhadap suatu produk syariah. Menurut (Agustianto, 2007) Keberhasilan sistem perbankan syari’ah di masa depan akan banyak tergantung kepada kemampuan bank-bank syari’ah menyajikan produk-produk yang menarik, kompetitif, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, tetapi tetap sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah. Langkah yang mudah untuk digunakan saat ini adalah dengan mengadopsi produk-produk perbankan syariah diluar negeri yang sudah maju perkembangan bank syariahnya dan melakukan rekayasa finansial, misalnya menerbitkan produk tabungan dengan berbagai macam fasilitas transaksi yang sesuai dengan prinsip syariah untuk diterapkan di Indonesia.

Ketiga, Kepatuhan terhadap prinsip syariah, kepatuhan terhadap prinsip syairah merupakan syarat yang sangat penting untuk meningkatkan image bank syariah terhadap nasabah, karena dengan adanya kepatuhan terhadap prinsip syariah bank syariah mampu menghasilkan produk dan sistem operasional yang sesuai dengan prinsip syariah. Kepatuhan terhadap prinsip syariah dapat menjadi ciri khas yang melekat dan membedakannya dengan bank konvensional, contohnya dalam pembiayaan profit and loss sharing yang seharusnya tanpa adanya jaminan (collateral), dengan prinsip trust financing pembiayaan bagi hasil dapat menjadi produk inti bank syariah untuk menarik nasabah, sehingga dengan produk ini diharapkan adanya anggapan bahwa bank syariah sama saja dengan bank konvensional dapat dihilangkan karena dapat menghambat pertumbuhan bank syariah itu sendiri. Kepatuhan terhadap prinsip syariah dapat ditingkatkan melalui optimalisasi peran DPS di bank syariah, sehingga produk dan operasional industri perbankan syariah tidak keluar dari koridor syariah.

Keempat, Optimalisasi pembiayaan profit and loss sharing (musyarakah dan mudharabah). Pembiayaan bagi hasil merupakan produk inti bank syariah yang membedakannya dengan sistem fixed-rate return dalam sistem bunga bank konvensional dan optimalnya pembiayaan profit and loss sharing sangat menentukan kualitas pembiayaan bank syariah itu sendiri, selain itu pembiayaan bagi hasil lebih mencerminkan prinsip keadilan karena terdapat prinsip saling berbagi hasil dan risiko antara kedua belah pihak terhadap usaha yang dibiayai. Oleh karena itu bank syariah mempunyai peluang yang sangat besar dalam membangun perekonomian ummat yang berkeadilan melalui optimalisasi pembiayaan bagi hasil karena rasio dana pihak ketiga yang disalurkan ke nasabah (FDR) bank syariah mencapai 105,70 persen, lebih tinggi daripada bank konvensional yang rata-rata sebesar 60 persen. Selain itu pambiayaan bagi hasil berpotensi menghasilkan return yang lebih tinggi daripada pambiayaan non bagi hasil apabila dijalankan dengan memperhatikan prinsip prudential banking dengan mengantisipasi risiko yang akan muncul terhadap jenis usaha yang akan dibiayai.

Kelima, Meningkatkan kualitas pelayanan dan jasa perbankan syariah, untuk meningkatkan daya saing perbankan syariah maka peningkatan kualitas pelayanan dan jasa merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak. Hal ini terjadi karena pertumbuhan jumlah nasabah bank syariah yang kompleks. Nasabah tidak hanya membutuhkan bank sebagai tempat transaksi keuangan yang sesuai syariah, tetapi juga membutuhkan suatu produk yang memberikan jasa pelayanan kebutuhan lain yang dapat memberikan fasilitas dan kemudahan kepada nasabah. Alternatif ini dapat di tempuh dengan melakukan kerjasama dengan bank maupun lembaga lain dalam hal produk, layanan, dan jaringan untuk memenuhi kebutuhan nasabah.

Keenam, meningkatkan akses pelayanan dan sistem teknologi informasi bank syariah. Peningkatan teknologi informasi dan akses pelayanan bertujuan untuk menciptakan kepuasan pelanggan melalui penciptaan produk baru dan kualitas pelayanan. Menurut Ani Sulasiah (2007), kepuasan pelanggan mencakup perbedaan antara harapan dan kinerja atau hasil yang dirasakan. Apabila pelayanan yang diterima nasabah sesuai dengan harapan pelanggan maka pelanggan akan merasa puas, sebaliknya apabila pelayanan yang diberikan kepada nasabah tidak sesuai dengan harapan pelanggan maka pelanggan akan merasa tidak puas.

Kepuasan pelanggan sangat erat kaitannya dengan service excellence, yaitu suatu bentuk pelayanan dimana kualitasnya lebih baik dari yang dijanjikan, lebih baik dari yang diperkirakan pelanggan, dan rata-rata yang lebih baik daripada kualitas layanan perusahaan pesaing. Ada beberapa unsur pokok dalam service excellence dalam Fandy Tjiptono (2002) dalam Ani Sulaisiah (2007), yaitu antara lain;

Kecepatan Pelayanan. Pelayanan uang cepat dan akurat dapat tercapai melalui ketersedian teknologi dan sarana yang memadai serta ketersediaan tenaga yang terampil dalam system pengoperasianya.

Kenyamanan dalam pelayanan. Kenyamanan dalam pelayanan bagi perusahaan jasa adalah merupakan bagian dari produk yang ditawarkan oleh karena itu, tingkat kenyamanan dalam pelayanan akan menentukan tingkat kepuasan pelanggan.

Keramahan pelayanan. Keramahan dalam pelayanan kadang dapat mentralisir kekurangan – kekurangan yang lain. Keramahan dalam pelayanan hendaklah diberikan secara ikhlas dan efektif.

Kebenaran Pelayanan. Kebenaran di dalam pelayanan dipengaruhi oleh ketelitian petugas, tersedianya sarana pendukung, ada tidaknya kerja sama yang baik antar unit atau antar sesama karyawan.

Langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatn kualitas dan akses pelayanan adalah dengan melakukan Office Channeling di cabang bank-bank konvensional untuk membuka layanan syariah. Penerapan kebijakan Office Channeling ini bertujuan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap jasa dan layanan keuangan syariah serta dapat menghemat biaya untuk penyediaan teknologi informasi dengan pemanfaatan fasilitas dan teknologi informasi pada bank konvensional. Selain itu upaya peningkatan kualitas dan akses pelayanan dapat dilakukan adalah menjalin aliansi dengan mitra strategis seperti bank syariah, lembaga keuangan syariah lain, maupun instansi-instansi lain. Kerjasama aliansi diharapkan dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan syariah untuk melakukan simpanan ataupun penarikan tunai tanpa harus datang langsung ke bank yang dituju.

Ketujuh, Meningkatkan edukasi dan sosialisasi ke masyarakat tentang manfaat produk-produk bank syariah untuk meningkatkan pemahaman masyarakat umum, sehingga peningkatan akses layanan syariah dipengaruhi oleh sisi permintaan masyarakat dengan mau menggunakan jasa layanan bank syariah. Peningkatan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat harus secara berkelanjutan yang bertujuan untuk:

Memperluas cakupan wilayah edukasi melalui kerjasama dengan media massa baik media cetak maupun elektronik untuk meningkatkan awareness masyarakat terhadap kelembagaan, produk dan jasa layanan industri perbankan syariah.

Memperluas dan mengintensifkan program edukasi masyarakat, melalui integrasi program edukasi dengan materi kurikulum sekolah dengan memberikan materi tentang system keuangan, perbankan maupun ekonomi yang sesuai prinsip syariah di lingkungan sekolah baik.

Meningkatkan cakupan program, sasaran dan wilayah edukasi melalui kerjasama dengan pihak-pihak terkait baik formal maupun non formal untuk meningkatkan permintaan masyarakat terhadap jasa layanan keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah.

Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap fungsi, peranan dan kelembagaan perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional, sehingga tercipta brand awareness di benak nasabah.

Kedelapan, Fokus terhadap potensi tipe nasabah yang rasionalis . Sebuah keadaan yang memprihatinkan dimana lebih dari 80 persen penduduk di indonesia adalah muslim, tapi tidak memberikan manfaat yang berarti bagi perkembangan bank syariah itu sendiri karena market share nya baru sekitar 1,66 persen. Hal ini menggambarkan bahwa sebagian besar masyarakat muslim di Indonesia adalah tipe nasabah rasionalis yang mengharapkan nilai tambah dan kepuasan pelanggan yang lebih tinggi, sehingga diharapkan dalam melakukan pendekatan ke masyarakat bank syariah dapat menawarkan nilai tambah yang lebih tinggi dari bank konvensional. Karena kondisi saat ini sangat memungkinkan terjadinya migrasi nasabah bertipe rasionalis menjadi nasabah bank syariah, karena pada saat ini terjadi kecenderungan bahwa tingkat SBI berada pada tingkat yang rendah yaitu 8,25 persen dan dimungkinkan lagi dapat turun pada level yang lebih rendah, menyebabkan nasabah yang bertipe rasionalis pindah menjadi nasabah bank syariah yang berpotensi mampu memberikan imbal bagi hasil yang lebih tinggi daripada bank konvensional.

Kesembilan, lebih berpihak pada pengembangan Usaha Kecil Mikro dan Menengah (UMKM). Upaya pemberdayaan ummat yang berkeadilan dapat tercapai apabila bank syariah lebih berpihak kepada UMKM, karena UMKM mempunyai potensi yang sangat besar yaitu mampu menyerap lebih dari 98 persen tenaga kerja dan jumlahnya mencapai lebih dari 90 persen sektor usaha di Indonesia. Sehingga memungkinkan terjadinya pemerataan pendapatan dan dapat mengurangi pengangguran secara signifikan.

Kesepuluh, menawarkan imbal bagi hasil yang kompetitif, langkah ini digunakan untuk menarik nasabah yang bertipe rasionalis yang menginginkan bagi hasil yang lebih tinggi dari pada return tingkat suku bunga pada bank konvensional. Strategi ini dapat dilakukan dengan efisiensi dan pengelolaan DPK yang dilakukan oleh menajer investasi yang andal dengan menggunakan prinsip manajemen risiko pada pembiayaan kreditnya, sehingga sektor usaha yang dibiayai oleh bank syariah dapat menghasilkan tingkat keuntungan yang tinggi yang pada akhirnya imbal bagi hasil kepada nasabah dapat menjadi kompetitif.

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Peningkatan daya saing bank syariah tidak hanya dilihat dari jumlah total asset saja, tetapi lebih dilihat dari kemampuan untuk memberikan manfaat dan nilai tambah kepada nasabah serta mampu memberdayakan perekonomian ummat secara umum. Sehingga upaya pengembangan bank syariah diharapkan dapat menyelaraskan pertumbuhan market share dan permodalan yang kuat dengan tetap memberikan dampak yang positif terhadap perekonomian ummat yang sesuai prinsip syariah melalui pembiayaan yang berkualitas yang mampu memberikan manfaat kepada ummat.

Upaya pengembangan kinerja dan daya saing industri perbankan syariah membutuhkan peran serta dan komitmen yang kuat dari stake holder perbankan syariah, yaitu pemerintah, ulama, perbankan syariah maupun masyarakat umum. Sehingga perlu di lakukan sinergisitas peran masing-masing pemegang kepentingan untuk saling bekerja sama mengembangkan industri perbankan syariah.

SARAN

Dalam upaya pengembangan industri perbankan syariah di perlukan kerjasama dengan pihak-pihak yang pemegang kepentingan dalam perkembangan industri perbankan syariah di masa yang akan datang. Para stake holder perbankan syariah mempunyai peran dan fungsi yng berbeda-beda sesuai dengan karakteristik tugas dan wewenangnya masing-masing, yang dapat di integrasikan secara bersama-sama untuk kemajuan perkembangan industri perbankan syariah.

Bentuk harmonisasi peran dan fungsi stake holder perbankan syariah dapat di implementasikan melalui komunikasi yang efektif dan dalam setiap pengambilan keputusan dan kebijakan masing-masing pihak yang saling mendukung pihak lain untuk pengembangan industri perbankan syariah di masa yang akan datang.

REFERENSI

Muhammad. 2005. Permasalahan Agency Dalam Pembiayaan Mudharabah Pada Bank Syariah di Indonesia. Disertasi. Yogyakarta: UII Yogyakarta

Bank Indonesia. 2007. Laporan Perkembangan Perbankan Syariah Bulan September 2007. Jakarta: Direktorat Perbankan Syariah: Bank Indonesia.

Beik, Irfan Syauqi. 2007. Bank Syariah dan Pengembangan Sektor Riil. Jakarta: pesantrenvirtual.com.

Zuhdi, Ramzi. 2007. Berebut Triliunan Rupiah di Syariah. Jakarta: Tempo hal 88, edisi 21 Oktober 2007

Agustianto. 2007. Peranan Ulama dalam Sosialisasi Perbankan Syariah. Jakarta: pesantrenvirtual.com

Amin, Riawan. 2007. Berebut Triliunan Rupiah di Syariah. Jakarta: Tempo hal 88, edisi 21 Oktober 2007

Republika.co.id. 2007. Situs resmi harian umum republika.

Agustianto. 2003. Sepuluh Pilar Pengembangan Bank Syariah. Jakarta: Pelita.or.id. Harian Umum Pelita.

Fadjriah, Siti Ch. 2005. Sistem syariah lebih cocok untuk pembiayaan UKM. http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A34&cdate=15-APR-2005&inw_id=356756.

Kiryanto, Ryan. 2005. Sistem syariah lebih cocok untuk pembiayaan UKM, dalam www.bisnis.com.

Zuhdi, Ramzi. 2007. Berebut Triliunan Rupiah di Syariah. Jakarta: Tempo hal 88, edisi 21 Oktober 2007.

Suliasih, Ani. 2007. Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Nasabah Tabungan Pada Bank Muamalat Indonesia Kediri. Skripsi. Malang : Universitas Brawijaya Malang.

S.E., Hilmy. 2005. Risiko Bank Syariah lebih Kecil. Jakarta : Harian umum Republika edisi 06 Juni 2005.

http://www.menkokesra.go.id/content/view/3391/1/.
http://oegloer.multiply.com/journal
Dikutip dan Ringkas Judul oleh situs Dakwah Syariah


Rating: 5
Bank Syariah diLirik Perbankan Dunia

Bank Syariah diLirik Perbankan Dunia


Bank Syariah dianggap mampu mengatasi kehancuran ekonomi global.

Alasan Di Balik Bergesernya Perbankan Dunia Ke Syariah." Peraturannya sederhana saja, tidak ada transaksi yang berkaitan dengan alkohol, pornografi, atau apapun yang merusak moral digabungkan dengan peniadaan bunga, maka itulah landasan dari sistem keuangan Islam, yang mampu tetap bertahan ditengah kian runtuhnya keadaan perekonomian dunia, sebaliknya, bank-bank Islam memiliki peluang untuk terus berkembang.

Krisis keuangan dunia memberikan peluang bagi bank-bank syariah yang berpusat di sejumlah negara-negara teluk.

Tidak seperti bank-bank Barat, bank Islam hanya sedikit terpengaruh oleh gelombang krisis keuangan dan para ahli meyakini bahwa hal tersebut karena hukum perbankan syariah memang benar-benar didasarkan pada kitab suci umat Islam, Al-Quran, yang merupakan firman Allah.

Bank syariah juga tidak mengenal pinjaman antar bank karena dana yang mereka kelola adalah dana deposit mereka sendiri, bank syariah juga tidak mau berurusan dengan obligasi hutang yang berisiko. Lebih lanjut lagi, hukum Islam melarang adanya bunga dan menganjurkan sistem bagi hasil, yang berarti bahwa segala macam investasi, baik hasilnya untung atau rugi, akan dibagi rata antara pihak bank dan kliennya.

Fakta bahwa bank-bank Islam hanya mengalami efek minimum dari krisis global membuat bank Islam lebih menarik dimata para investor, khususnya yang tergabung dalam Dewan Kerjasama Teluk (GCC), yang terus mengawasi nilai investasi mereka ditengah tersungkurnya bank-bank umum, menurut sebuah laporan baru, yang diberi nama perkembangan keuangan Islam di GC, dari London School bidang Ekonomi dan pengetahuan politik (LSE).

"Ada banyak pertanyaan yang timbul mengenai nilai-nilai dalam sistem keuangan konvesional, dan sebagai alternatif, bank-bank syariah akan lebih dilirik, khususnya karena alasan berdirinya bank Islam adalah karena perlunya moralitas dalam transaksi keuangan, berdasarkan tuntunan agama," kata penulis laporan tersebut, profesor Rodney Wilson, yang menulis laporan untuk program pengembangan, pemerintahan dan globalisasi di negara-negara teluk.

Tuntutan dari umat Muslim dunia yang berjumlah 1,3 miliar orang untuk cara investasi yang sesuai dengan keyakinan mereka berarti bahwa aset-aset yang sesuai dengan hukum Islam berkisar antara $700 juta hingga $1 triliun, dengan sejumlah perkiraan yang menyebutkan bahwa aset-aset tersebut tumbuh hingga mencapai $1,6 triliun pada akhir 2012.

Nilai dari aset-aset yang sesuai dengan tuntunan syariah di GCC, yang anggotanya termasuk Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab, diperkirakan berjumlah lebih dari $262 miliar.

"Meningkatnya minat dunia internasional terhadap sistem keuangan Islam telah dicatat di GCC, dan hal ini akan mendorong penerimaan terhadap pemerintah setempat dan klien bank, karena bank Islam berhasil melalui krisis dan tidak ada yang memerlukan bantuan dana talangan dari pemerintah," kata Wilson.

Wilson mengatakan bahwa GCC ada dijantung dunia Muslim membuat kawasan terdsebut menjadi pusat strategis yang dapat menghubungkan sistem perbankan Islam dengan Eropa, Asia dan Afrika dan berpendapat bahwa penyebaran cabang bank Islam GCC merupakan indikasi bahwa hal tersebut tengah terjadi.

Lebih lanjut lagi, pemulihan ekonomi global kemungkinan akan menguntungkan GCC karena harga minyak dan gas kembali naik, sehingga dana segar akan masuk kepada perbankan syariah untuk melakukan ekspansi yang lebih luas lagi.

Selain menjadi pendukung perbankan Islam hingga sekarang, Arab Saudi bisa saja menjadi pemimpin global dalam industri keuangan islam di seluruh dunia jika Saudi Arabian Monetary Agency (SAMA) dan otoritas pasar modal bergerak lebih proaktif dalam mempromosikan industri syariah.

Namun demikian, perbedaan-perbedaan regulasi dan harmonisasi antara satu pemikiran dengan pemikiran lainnya, hanyalah segelintir penghalang utama dari sistem perbankan Islam untuk tumbuh berkembang melintasi batas negara, utamanya negara-negara Eropa yang memiliki komunitas umat Muslim dalam jumlah besar.

Disaat industri tersebut melebarkan sayap ke negara-negara non-Muslim atau negara sekuler, kebutuhan untuk memberikan pengetahuan mengenai sektor perbankan syariah menjadi kian meningkat.

Ketika sudah ada pertanda bahwa penghalang budaya tidak akan menjadi masalah, minggu ini sebuah program pelatihan yang berbasis di London diluncurkan oleh walikota London, Ian Luder, untuk memungkinkan cabang bank eropa untuk lebih menyesuaikan diri terhadap persyarakat sistem keuangan Islam.

"Meski tengah diterpa gelombang krisis keuangan, sistem keuangan Islam terus tumbuh pesat sebagai sistem perbankan alternatif bagi kaum Muslim dan juga non-Muslim. (Sistem syariah) akan menjadi komponen penting bagi infrastruktur keuangan global yang baru," kata Luder.

Program tersebut, yang akan dijalankan oleh pusat perbankan Islam Inggris, dijalankan untuk memberikan pelatihan dan penelitian untuk organisasi pemerintahan dan swasta seperti perusahaan asuransi, bank, bisnis non-keuangan, dan instiutsi-institusi akademik.

"Sektor keuangan Islam berkembang dalam tingkatan yang terus meningkat, dikarenakan kuatnya prinsip-prinsip keuangan dan nilai-nilai etis, yang melarang bunga dan menganjurkan sistem berbagi risiko dan berbagi hasil antara kedua pihak," kata Akmal Hanuk, direktur pelaksana IBFC-UK.

Nilai dari aset-aset syariah di GC melebihi $262,6 miliar jika nilai aset Arab Saudi, Kuwait, UEA, Bahrain dan Qatar digabungkan. Dengan total aset syariah di seluruh dunia mencapai sekitar $640 miliar pada akhir tahun 2007, hal ini menandakan bahwa negara-negara GCC menyumbangkan 41% dari nilai keseluruhan tersebut. (dn/aby/meo) 
Informasi dari www.suaramedia.com
Dikutip dan Ringkas Judul oleh situs Dakwah Syariah


Rating: 5
Bank Syariah Indonesia Terus Membaik

Bank Syariah Indonesia Terus Membaik


Dalam kurun waktu lima tahun, geliat perbankan syariah di Indonesia- yang tadinya bukan siapa-siapa di tingkat dunia- kini menerobos masuk ke papan atas di bawah Iran, Malaysia, dan Saudi Arabia. Peringkat tersebut baru dilihat dari indeks daya saing, bukan hanya dari pertumbuhan aset dan kontribusinya terhadap total aset perbankan. Kontribusi aset perbankan syariah memang masih relatif kecil, namun, pertumbuhannya relatif pesat, bahkan lebih tinggi dari rata-rata dunia.

Melesatnya perbankan syariah mungkin saja di luar dugaan BI. Kita lihat saja ”ramalan” BI yang tertuang dalam dokumen”Outlook Perbankan Syariah 2011” pada bulan November 2010. Sebuah tinjauan ke masa depan ketika itu.  Kini, masa depan tersebut sudah hampir berakhir, yakni tahun 2011 ini.

Pada akhir tahun 2010 tersebut BI membuat proyeksi pertumbuhan perbankan syariah pada tahun 2011 dalam tiga skenario, yaitu: (a) Skenario pesimis, yaitu aset sebesar 131 Triliun dengan pertumbuhan 35%, (b) Skenario moderat, yaitu aset Rp 141 Triliun dengan pertumbuhan 45%, dan (c) Skenario optimis, yakni aset sebesar Rp 150 Triliun dengan pertumbuhan 55%.

Skenario mana yang terwujud? Kita lihat perkembangan aset sampai bulan Oktober 2011 dan perbandingannya dengan tahun 2007, atau setahun sebelum diberlakukannya UU Perbankan Syariah. Yang jelas, perbankan syariah di Indonesia terus berkembang pesat setelah Undang-Undang No.21 tentang Perbankan Syariah disyahkan pada tahun 2008.

Perkembangan perbankan syariah sampai bulan Oktober 2011 ternyata masih pada kisaran skenario pesimis dari BI. Memang masih ada tersisa dua bulan lagi, namun paling banter pertumbuhan perbankan syariah Indonesia sesuai dengan skenario moderat yaitu dengan estimasi aset sebesar Rp 141 Triliun dengan pertumbuhan sebesar 45%.

Apakah realitas tersebut menunjukkan keberhasilan BI dalam mendorong perbankan syariah di Indonesia?

Kita kilas balik terlebuh dahulu  dengan melihat  ”Grand Strategy Pengembangan Perbankan Syariah” yang telah disusun oleh BI. Saya kutip pentahapan visinya sebagai berikut:

    ” .…… menerapkan visi baru pengembangan perbankan syariah pada fase I tahun 2008 membangun pemahaman perbankan syariah sebagai Beyond Banking, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.50 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 40%, fase II tahun 2009 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai perbankan syariah paling atraktif di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.87 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 75%. Fase III  tahun 2010 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai perbankan syariah terkemuka di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.124 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 81%”.
Aset perbankan syariah per Desember 2010 adalah Rp 100,3 Triliun, atau masih di bawah target BI yang ditetapkan sebelumnya. Walaupun demikian, perbankan syariah di Indonesia tergolong berkembang pesat, dan dinilai mempunyai potensi besar untuk terus berkembang. Kita lihat perbandingan aset bank syariah nasional dibandingkan dengan negara-negara lain. Data perbankan syariah bersumber dari Statistik Perbankan Indonesia per Oktober 2011 yang dipublikasikan di website BI.Sedangkan negara pembandingnya adalah negara-negara di wilayah timur tengah yang dikutip dari ”World Islamic Competitiveness Report”. Angka dalam lingkaran kuning menunjukkan aset dalam US$ Milyar dan angka disampingnya adalah kontribusinya dalam total aset perbankan di setiap negara.


Pada Desember 2010 aset perbankan syariah Indonesia adalah Rp 100.258 Milyar, yang terdiri dari  Rp 79.186 Milyar dari Bank Umum Syariah, Rp 18.333 Milyar Unit Usaha Syariah (UUS), dan Rp 2.739 Milyar dari BPR Syariah. Total asset tersebut hanya 3,28% dari total asset perbankan nasional yang sudah mencapai Rp 3.054.595 Milyar yang berasalah dari Bank Umum sebanyak Rp 3.008.853 Milyar dan BPR sebesar Rp 45.742 Milyar. Pada Oktober 2011, total asset perbankan syariah sebesar Rp 130.502 Milyar dengan rincian Rp 101.597 Milyar Bank Umum Syariah, Rp 25.553 Milyar UUS, dan Rp 3.352 Milyar BPR Syariah. Jumlah tersebut adalah 3,77% dari total asset perbankan konvensional yang mencapai Rp 3.460.752 Milyar, yang terdiri dari Rp 3.407.508 dari Bank Umum dan Rp 53.244 Milyar dari BPR. Aset dan kontribusi perbankan syariah Indosia memang masih tertinggal dibanding beberapa negara di timur tengah, misalnya Turki, Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Mesir, Irak, atau Kuwait.

Apakah pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia sebesar 30% tergolong tinggi dibandingkan perkembangan global?

” The 2011 survey of financial institutions practising Islamic finance reveals that sharia-compliant assets rose by 21.45% from $895bn in 2010 to $1,087bn in 2011”, itulah berita yang dikutip dari Majalah The Banker bertajuk: “Top 500 Islamic Financial Institutions”. Angka tersebut memang mencakup lembaga keuangan syariah secara keseluruhan, atau bukan hanya perbankan syariah saja. Khusus untuk perbankan syariah, Ersnt&Young memprediksi total set perbankan syariah pada tahun 2012 sekitar US$ 1,1 Triliun. Dengan menggunakaan kurs Rp 9000, total asset perbankan syariah per Oktober 2011 adalah US$ 27,7 Milyar.

Pertumbuhan aset perbankan syariah Indonesia sebesar 30% (desember 2010-Oktober 2011) ternyata lebih tinggi dari rata-rata dunia. Jika total asset perbankan syariah sebesar 130,5 Triliun dikonversi ke US$ dengan kurs Rp 9000 per US$ maka total asset perbankan syariah per Oktober baru mencapai 1,33% dari etimasi total keuangan syariah global versi Majalah The Bankers. Persentase tersebut akan sedikit meningkat jika memperhitungkan lembaha keuangan syariah non-bank seperti takaful atau lembaga pembiayaan syariah lainnya.

“Indonesia Bakal Kalahkan Saudi Arabia”

Itu tajuk berita Kompas.com pada tanggal 16 November 2011. Berita tersebut menyikapi keberhasilan Indonesia meraih peringkat empat di dunia dalam hal indeks negara penyelenggaran pembiayaan syariah global. Peringkat tersebut berdasarkan Global Islamic Finance Report 2011 yang dirilis oleh Sebuah Lembaga Konsultan bernama BNB Islamic yang berbasis di London. Peringkat tersebut menggunakan Islamic Finance Country Index. Saat ini, Indonesia masih berada di posisi keempat dibawah Iran, Malaysia, dan Arab Saudi, dalam indeks itu.

Informasi peringkat tersebut baru diperoleh dari berita di Kompas.com yang mengutip pernyataan Direktur Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, Mulya E Siregar, di Jakarta, Rabu (16/11/2011). Saya pun mendapatkan informasi peringkat tersebut dari sebuah press release di http://www.zawya.com dengan judul: “ Global Islamic Finance Report 2011 Released”. Lembaga penyelenggara survey tersebut baru menyiapkan situsnya di www.globalislamicfinancereport.com, namun hasil lengkapnya belum diumumkan ke publik. Jadi kita belum bisa mencermati metodologi dan hasil pemeringkatan selengkapnya.

Kita kembali ke perkembangan bank syariah Indonesia.

Selain dari perkembangan aset, geliat perbankan syariah di Indonesia bisa dilihat dari perkembangan jumlah bank dan jumlah kantor perbankan syariah di Indonesia. Salah satu jenis perbankan syarian yang paling menonjol pertumbuhaannya adalah BPR Syariah serta pertumbuhan jumlah kantor untuk bank umum syariah. Saat ini ada 11 Bank Umum Syariah, atau bertambah 7 bank dibandingkan tahun 2007. Sebagian besar bank umum syariah tersebut muncul setelah BI mengeluarkan kebijakan spin-off yang memungkinkan unit usaha syariah bisa menjadi bank umum syariah.  Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/15/PBI/2009 - Perubahan Kegiatan Usaha Bank Konvensional Menjadi Bank Syariah tanggal 29 April 2009.

Penggunaan tahun 2007 sebagai tahun acuan karena BI ketika itu mempublikasikan ”Kebijakan Akselerasi Pengembangan Perbankan Syariah 2007-2008”. Pada tahun 2007 Indonesia memang masih menjadi anak kecil di antara raksasa ekonomi syariah di dunia, yang ketika itu masih dipimpin oleh Iran, yang total aset syariahnya mencapai US$ 154,6 Milyar, jauh meninggalkan Arab Saudi yang menempati posisi kedua dengan US$ 69,4 Milyar (The Banker, 2007). Indonesia semakin menanjak dalam periode lima tahun terakhir. Walau belum masuk papan atas untuk tingkat negara, dua bank syariah Indonesia masuk dalam 25 besar pada tahun 2011 berdasarkan pertumbuhan asetnya, yakni PT Bank BRI Syariah dan HSBC Amanah Indonesia pada posisi ke 17 dan 21. Dan PT BPD Kalimantan Selatan peringkat 22 untuk nilai ROA.

Jadi, mungkinkah: “2023, Indonesia Penguasa Aset Syariah?” seperti diberitakan oleh Kompas.com (16/11/2011).

*****

Berikut daftar Peraturan Perbankan dari BI berupa PBI dan SE setelah ditandatanganinya UU No. 21 tentang Perbankan Syariah pada tanggal 16 Juli 2008.

Peraturan Bank Indonesia:

Tahun 2011

    Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/23/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah tanggal 02-11-2011

    Peraturan Bank Indonesia No.13/14/PBI/2011 tanggal 24 Maret 2011 tentang Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tanggal 24-03-2011

    Peraturan Bank Indonesia No.13/13/PBI/2011 tanggal 24 Maret 2011 tentang Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah tanggal 24-03-2011

    Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/9/PBI/2011 tanggal 8 Februari 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No. 10/18/PBI/2008 Tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah tanggal 08-02-2011

    Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/6/PBI/2011 tanggal 24 Januari 2011 tentang Tindak Lanjut Penanganan Terhadap Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Dalam Status Pengawasan Khusus tanggal 24-01-2011

    Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/5/PBI/2011 tanggal 24 Januari 2011 tentang Batas Maksimum Penyaluran Dana Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tanggal 24-01-2011

Tahun 2010

Peraturan Bank Indonesia Nomor: 12/20/PBI/2010 - Penerapan Program Anti Pencucian Uang (APU) dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (PPT) bagi Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat tanggal 04-10-2010

Tahun 2009

    Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/33/PBI/2009 tanggal 7 Desember 2009 - Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah tanggal 07-12-2009

    Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/31/PBI/2009 - Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah tanggal 28-08-2009

    Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/29/PBI/2009 - Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah Bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tanggal 07-07-2009

    Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/24/PBI/2009 - Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah Bagi Bank Umum Syariah tanggal 01-07-2009

    Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/23/PBI/2009- Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tanggal 01-07-2009

    Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/15/PBI/2009 - Perubahan Kegiatan Usaha Bank Konvensional Menjadi Bank Syariah tanggal 29-04-2009

    Peraturan Bank Indonesia No.11/10/PBI/2009 - Unit Usaha Syariah tanggal 19-03-2009

    Peraturan Bank Indonesia No. 11/ 3 /PBI/2009 - Bank Umum Syariah tanggal 29-01-2009

Tahun 2008

    Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/32/PBI/2008 - Komite Perbankan Syariah tanggal 20-11-2008

    Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/24/PBI/2008- Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah tanggal 16-10-2008

    Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/23/PBI/2008 - Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/21/PBI/2004 Tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah tanggal 16-10-2008

    Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/18/PBI/2008- Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Umum Syariah Dan Unit Usaha Syariah tanggal 25-09-2008

    Peraturan Bank Indonesia No. 10/17/PBI/2008 - Produk Bank Syariah Dan Unit Usaha Syariah tanggal 25-09-2008

    Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/16/PBI/2008 - Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 Tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah tanggal 25-09-2008

Surat Edaran Bank Indonesia

Tahun 2011

    Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/18/DPbS tanggal 30 Mei 2011 tentang Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/34/DPbS tanggal 22 Oktober 2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah tanggal 30-05-2011

    Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/17/DPbS tanggal 30 Mei 2011 tentang Batas Maksimum Penyaluran Dana Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tanggal 30-05-2011

    Surat Edaran Bank Indonesia Nomor Nomor 13/16/DPbS tanggal 30 Mei 2011 tentang Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/35/DPbS tanggal 22 Oktober 2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tanggal 30-05-2011

    Surat Edaran Bank Indonesia Nomor Nomor 13/15/DPbS perihal Laporan Bulanan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tanggal 30-05-2011

    Surat Edaran Bank Indonesia No.13/14/DKBU/2011 Tanggal 12 Mei 2011 Tentang Penerapan Program Antipencucian Uang Dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Perkreditan Rakyat Dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tanggal 12-05-2011

    Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/ 11 /DPbS perihal Penilaian Kualitas Aktiva Bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tanggal 13-04-2011

    Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/ 10 /DPbS perihal Penilaian Kualitas Aktiva Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah tanggal 13-04-2011

    Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/2/DPbS tanggal 31 Januari 2011 tentang Tindak Lanjut Penanganan Terhadap Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Dalam Status Pengawasan Khusus tanggal 31-01-2011

Tahun 2010

    Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/39/DPbS tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS) bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) tanggal 31-12-2010

    Surat Edaran Bank Indonesia No.12/32/DPbS - Rencana Bisnis Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah tanggal 18-11-2010

    Surat Edaran Bank Indonesia No. 12/13/DPbS - Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah tanggal 30-04-2010

    Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/6/DPbS tanggal 8 Maret 2010 - Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah tanggal 08-03-2010

Tahun 2009

    Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/34/DPbS - Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tanggal 23-12-2009

    Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/28/DPbS- Unit Usaha Syariah tanggal 05-10-2009

    Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/25/DPbS - Perubahan Kegiatan Usaha Bank Perkreditan Rakyat Menjadi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tanggal 29-09-2009

    Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/24/DPbS - Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Syariah tanggal 29-09-2009

    Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/9/DPbS - Bank Umum Syariah tanggal 07-04-2009

Tahun 2008

    Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/36/DPbS - Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/22/ DPbS tanggal 18 Oktober 2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah tanggal 22-10-2008

    Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/35/DPbS - Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tanggal 22-10-2008

    Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/34/DPbS - Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Umum Syariah Dan Unit Usaha Syariah tanggal 22-10-2008

    Surat EdaranBank Indonesia Nomor 10/31/DPbS - Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah tanggal 08-10-2008

    Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/14/DPbS Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah tanggal 17-03-2008




http://ekonomi.kompasiana.com
Dikutip dan Ringkas Judul oleh situs Dakwah Syariah





Rating: 5
Perbankan Syariah Akan Terus Meningkat

Perbankan Syariah Akan Terus Meningkat


Perdamaian Dunia yang sejati tidak akan bisa dicapai tanpa kemampuan masyarakat dunia keluar dari jerat kemiskinan. (Nobel Foundation)

Ini merupakan kabar gembira bagi para pengusaha menengah dan kecil yang berjuang susah payah mendapatkan kucuran kredit dari bank untuk modal usaha.

Sementara kalangan perbankan sepertinya tidak mau mengambil resiko karena khawatir para pengusaha menengah dan kecil ini tidak mampu mengembalikan hutangnya kepada bank, Bank Syariah justru berhasil melakukan langkah-langkah kebijakan perkreditan yang cukup progresif.

Mari kita lihat data Bank Indonesia.Ternyata, perbankan Syariah telah meningkatkan pembiayaan mudharabah atau pembiayaan bagi hasil. Menurut data Bank Indonesia, porsi pembiayaan mudharabah meningkat dari 19,4 persen pada akhir 2008 menjadi 20,6 pada akhir Maret 2009.

Ini berarti, Bank Syariah tidak hanya tetap menyalurkan pembiayaan, tetapi juga berhasil mendorong sektor riil untuk tetap bergerak meski Bank Syariah tahu hal ini bukannya tanpa resiko.

Sekadar informasi bagi kalangan awam di bidang ekonomi, khususnya perbankan, pembiayaan mudharabah merupakan pembiayaan bagi hasil antara bank dan nasabah peminjam dengan besaran margin yang disepakati.

Jika laba usaha peminjam besar, maka keuntungan yang diperoleh bank juga besar dan begitu pula sebaliknya.

Meningkatnya pembiayaan mudharabah tentu saja merupakan berita bagus bagi kalangan pengusaha menengah dan kecil yang memerlukan modal usaha berkisar antara 30 sampai 50 juta rupiah. Dan ini mencirminkan arah kebijakan perbankan Syariah untuk berpihak kepada pengusaha menengah dan kecil daripada pengusaha atau konglomerat besar.

Celakanya, sektor perbankan Indonesia saat ini dinilai terlalu berpihak kepada pengusaha besar yang biasanya mengejar modal ratusan sampai miliaran rupiah. Perbankan umum sepertinya lebih mudah mengalokasikan kreditnya kepada pengusaha besar dibandingkan sektor usaha menengah dan kecil.

Bank-bank konvensional umumnya menolak memberi kredit kepada pengusaha menengah dan kecil tanpa jaminan (collateral) misalnya tanah, rumah dan lain sebagainya. Padahal rakyat miskin ini kan umumhnya tidak punya kemampuan menyediakan jaminan tersebut.

Karenanya, gagasan perbankan Syariah untuk mengangkat harkat pengusaha lemah memang patut dipuji. Seperti tercatat dalam Data Bank Indonesia, dari total pembiayaan mudharabah sebesar Rp 39,1 triliun, sebanyak 70,9 persen telah disalurkan ke usaha kecil dan menengah.


Mencontoh Bank Grameen Bangladesh

Bank Syariah telah menerapkan skema kredit kecil dengan mencontoh konsep Grameen Bank di Bangladesh. Yaitu dengan mengembangkan lembaga keuangan mikro. Nah, Bank Syariah kemudian mengembangkan lembaga keuangan mikro Syariah yang penerapannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip Syariat Islam. Yaitu menerapkan sistem bagi hasil, bukan sistem bunga (riba).

Beberapa contoh antara lain seperti Bank Muamalat dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Sedangkan yang berbentuk bukan bank terdiri dari Baitul Mal Wa Tamwil(BMT) di bawah pembinaan Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK) dan Koperasi Syarkah Muawanah yang diberdayakan oleh beberapa Pesantren.

Status legalnya ada yang berbentuk koperasi, tapi umumnya masih dalam pembinaan yayasan atau sama sekali lepas dari institusi pengembang.

Tahun 1976, Bangladesh mengembangkan konsep Grameen Bank, dengan misi melayani rakyat yang termiskin dari yang miskin. Grameen dalam bahasa Bangla berarti desa atau pedesaan. Jadi Grameen memberikan kredit mikro tanpa jaminan. Hebatnya lagi, Bangladesh sempat mengklaim jumlah yang membayar cicilan hutangnya (repayment rate) ternyata mencapai 96 sampai 100 persen. Suatu bukti bahwa tidak benar kalau pengusaha menengah dan kecil puna sifat untuk menghindar bayar hutang.

Dalam kasus Indonesia, ternyata juga tak kalah menggembirakan. Seperti diungkapkan oleh Direktur Perbankan Syariah BI Ramzi A Zuhdi, aset perbankan Syariah nasional mengalami pertumbuhan di triwulan I tahun 2009.

Aset meningkat dari Rp 49,5 triliun pada akhir Desember 2008 menjadi Rp 51,6 triliun pada akhir Maret 2009.   

Masih Rapuh Sebagai Lembaga Keuangan

Namun ada beberapa catatan yang perlu menjadi perhatian kita bersama. Beberapa masalah internal masih terjadi seperti fakta bahwa struktur kelembagaannya masih belum berfungsi sebagai sistem lembaga keuangan yang efisien, daya dobrakya belum meluas dan terkesan kurang produktif.

Selain itu, sumberdaya manusia masih terbatas, manajemen yang belum efektif sehingga belum efisien, serta keterbatasan modal. Sementara itu dari segi eksternal, kemampuan monitoring juga belum efektif. Apalagi infrastruktur sampai sekarang masih kurang mendukung.

Ini tentu saja harus menjadi perhatian para pelaku bisnis dan perbankan. Bila perlu, jangan segan-segan belajar dari negara lain yang berhasil memberdayakan sektor ekonomi lemah. beberapa negara bisa jadi baha studi yang cukup efektif seperti Kanada, India dan Korea Selatan. Ketiga negara ini ternyata lembaga keuangan mikronya mampu dan telah berhasil untuk menjadi kekuatan efektif untuk pembiayaan para petani, peternak, produsen, maupun konsumen.


Tim Global Future Institute
Dikutip dan Ringkas Judul oleh situs Dakwah Syariah

Rating: 5
Pembiayaan Industri Pada Bank Syariah

Pembiayaan Industri Pada Bank Syariah




Melanjuti artikel tentang bank syariah, sekarang kita akan melihat pembiayaan bank syariah, salah satunya sebagai alternatif pembiayaan Industri Kreatif. Industri kreatif Indonesia dihadapkan pada enam permasalahan utama, yaitu kuantitas dan kualitas sumber daya insani, ketersediaan bahan baku, iklim usaha, apresiasi, teknologi informasi dan komunikasi, dan pembiayaan. Sulitnya memperoleh pembiayaan masih merupakan salah satu yang sering muncul ke permukaan, dimana ketiadaan agunan dan kurangnya pengetahuan tentang industri kreatif masih merupakan penyebab utama.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mencari solusi permasalahan pembiayaan industri kreatif melalui berbagai program seperti KUR dan PKBL, sampai kepada upaya memasukkan terminologi industri kreatif dalam nomenklatur (tata nama keilmuan tertentu) kebijakan Bank Indonesia. Bahkan, telah tercipta Nota Kesepahaman antara Pemerintah dengan BNI 46 untuk kemudahan akses pembiayaan pelaku kreatif. Salah satu potensi sumber pembiayaan yang tampaknya luput dari perhatian adalah bank syariah, yang dipelopori Bank Muamalat Indonesia sejak 1991.


Melihat pola operasi bank syariah, pembiayaan jenis ini dapat menjadi alternatif bagi pelaku industri kreatif. Seperti halnya bank konvensional, bank syariah juga berfungsi sebagai lembaga intermediasi yang operasinya berdasarkan syariah, menghubungkan nasabah pemilik dana (Shahibul Maal) dengan nasabah yang membutuhkan dana (Mudharib).

Penghimpunan dana dari shahibul maal diperoleh dalam dua bentuk, yaitu Wadiah dan Mudharabah. Wadiah berbentuk produk giro dan tabungan, dan Mudharabah berbentuk dana investasi untuk dikelola bank seperti halnya deposito. Sementara itu penyaluran dana kepada mudharib dilakukan melalui dua prinsip yaitu prinsip bagi hasil dan prinsip jual beli.

Prinsip bagi hasil dilakukan secara mudharabah dan musyarakah yang tidak mengisyaratkan agunan dan bunga. Mudharabah yaitu bank memberi modal niaga kepada nasabah untuk diniagakan dengan perjanjian, dimana keuntungannya dibagi antara dua belah pihak sesuai perjanjian, sedang kerugian ditanggung oleh pemilik modal. Sementara musyarakah adalah kerjasama antara bank dan nasabah, dimana bank setuju untuk membiayai usaha secara bersama-sama dengan nasabah sebagai inisiator proyek dengan suatu jumlah berdasarkan persentase tertentu dari jumlah total biaya usaha dengan dasar pembagian keuntungan dari hasil yang diperoleh dari usaha berdasarkan persentase bagi-hasil yang telah ditetapkan terlebih dahulu.

Prinsip jual beli dilakukan secara murabahah, salam dan istishna dengan memberikan barang dan bukan uang pada produk jual beli, sehingga komitmen pengusaha tetap terjaga. Murabahah adalah pembiayaan berdasarkan akad jual beli antara bank dan nasabah, dimana bank membeli barang yang dibutuhkan dan menjualnya kepada nasabah sebesar harga pokok ditambah dengan keuntungan margin yang disepakati. Sedangkan salam adalah transaksi jual beli, dimana barang yang diperjualbelikan belum ada sehingga barang tersebut diserahkan secara tangguh oleh penjual (nasabah), sedangkan pembayaran secara tunai oleh pembeli (bank). Istishna menyerupai salam, namun pembayaran dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa termin pembayaran. Istishna dilakukan untuk pembiayaan manufaktur dan konstruksi dengan spesifikasi barang pesanan harus jelas, seperti: jenis, ukuran, mutu dan jumlah dan harga jual dicantumkan dalam akad istishna serta tak boleh berubah selama berlakunya akad.

Jelas terlihat bahwa pola operasi bank syariah berbeda dengan pola bank konvensional. Pola operasi bank syariah didasari oleh semangat menolong. Semangat ini ditunjukkan oleh ketiadaan agunan, ketiadaan bunga, prinsip bagi hasil dan prinsip jual belinya. Ketiadaan agunan, ketiadaan bunga, prinsip bagi hasil, dan prinsip jual beli ini pulalah yang menjadi penyebab mengapa pembiayaan syariah dapat menjadi alternatif bagi pelaku kreatif yang sulit memperoleh pembiayaan dari bank-bank konvensional karena faktor agunan dan faktor kepercayaan terhadap industri kreatif.



Hingga saat ini, model pembiayaan syariah terus berkembang di Indonesia yang ditandai dengan semakin banyaknya bank-bank syariah baru di tanah air. Tidak kurang dari 16 bank syariah telah hadir di berbagai daerah di Indonesia.




Program-program pembiayaan syariah pun semakin berkembang, diantaranya adalah Pembiayaan Dana Berputar Bank Mandiri Syariah dan Pembiayaan Bisnis Modal Kerja iB dari Bank Mega Syariah. Pembiayaan Dana Berputar adalah fasilitas pembiayaan modal kerja dengan prinsip musyarakah yang penarikan dananya dapat dilakukan sewaktu-waktu berdasarkan kebutuhan riil nasabah. Pembiayaan jenis ini memiliki persyaratan seperti nasabah komersial kecil, menengah, besar dan korporasi; nasabah harus membuat laporan penggunaan dana selama 1 (satu) bulan; fasilitas diberikan untuk memenuhi kebutuhan modal kerja sementara; setiap periode penggunaan fasilitas Pembiayaan Dana Berputar harus digunakan untuk pencapaian realisasi sales sehingga dapat bagi hasil; dan memiliki aktifitas rekening koran yang aktif berkaitan dengan kegiatan bisnisnya.

Sementara itu Pembiayaan Bisnis Modal Kerja iB Bank Mega Syariah merupakan fasilitas pembiayaan modal kerja usaha produktif dengan menggunakan konsep syariah mudharabah dan musyarakah dengan nisbah bagi hasil yang telah disepakati antara bank dan nasabah. Modal kerja usaha produktif meliputi seperti pengadaan bahan baku, barang dagangan/persediaan, kebutuhan menutupi hutang/piutang usaha dan kebutuhan operasional dan ekspansi usaha lainnya. Persyaratan umum yang harus dipenuhi nasabah adalah Warga Negara Indonesia; perorangan, usia minimal 21 tahun dan pada saat pembiayaan lunas berusia maksimum 55 tahun; Badan Hukum (PT, Yayasan, Koperasi) dengan masa usaha minimal 2 (dua) tahun memiliki kinerja baik; tidak terdaftar dalam pembiayaan bermasalah Bank Indonesia dan Bank Mega Syariah; dan memenuhi persyaratan berdasarkan penilaian bank.

Industri-industri kreatif startup yang belum bankable dapat memanfaatkan pola penyaluran dana melalui bagi hasil, demikian juga dengan industri-industri kreatif yang akan mengembangkan usahanya. Sementara industri-industri kreatif yang membutuhkan peralatan dan mesin, seperti kerajinan dan fesyen, dapat memanfaatkan pola penyaluran dana melalui prinsip jual beli syariah untuk memperoleh kebutuhan peralatan dan mesinnya. Perkembangan menggembirakan dari bank syariah di Indonesia ini, kiranya dapat menjadi salah satu alternatif solusi permasalahan pembiayaan industri kreatif.

Ref: Erika Asdi (Peneliti Ekonomi Kreatif)
Dikutip dan Ringkas Judul oleh situs Dakwah Syariah


Rating: 5