Tampilkan postingan dengan label Pendidikan Anak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan Anak. Tampilkan semua postingan
Biasakan Anak Kita Berjilbab Sejak Kecil

Biasakan Anak Kita Berjilbab Sejak Kecil

Biasakan Anak Kita Berjilbab Sejak Kecil
Membiasakan Anak Berjilbab Sejak Kecil." Begitu masuk masa baligh, pada anak perempuan berlangsung lebih awal yakni 9-12 tahun, seorang anak mulai dibebani dengan hukum syara’ (mukallaf).  Amal dan dosa mereka dihisab.  Agar saat baligh mereka telah siap menjalankan hukum syara’,  mereka perlu dilatih dan dibiasakan menjalankannya sedari kecil.  Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

“Jika seorang anak telah mampu membedakan tangan kanan dan kirinya maka perintahkanlah ia untuk melakukan shalat.” (HR Thabrani).

Begitu juga Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: “Perintahkan anakmu shalat usia 7 tahun, dan bila telah berusia 10 tahun pukullah bila ia mengabaikannya .” (HR Abu Dawud, Tirmidzi dan Daruquthni)
Dari perintah membiasakan anak shalat saat usianya belum menginjak baligh, dapat diambil analogi bagi pembiasaan hukum-hukum syara’ yang lain.   Telah masyhur bahwa para shahabat mengajarkan anak-anak mereka berpuasa saat mereka masih kecil, sampai-sampai mereka membuatkan mainan dari wol agar anak-anak bisa bermain sampai tiba waktu berbuka (HR Bukhari –Muslim).

Dari apa yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan apa yang dilakukan para shahabat, maka pembiasaan bagi anak dalam menjalankan hukum syara’ adalah hal yang harus kita lakukan.  Tanpa adanya pembiasaan di awal, dikhawatirkan anak akan merasa berat menjalankan hukum syara’ saat usia mereka masuk baligh.  Sementara mereka telah dikenai dosa ketika meninggalkan kewajiban-kewajiban syara’.

Pembiasaan

Wajibnya mengenakan jilbab dan kerudung adalah kewajiban yang sama dengan wajibnya shalat atau puasa.  Dengan demikian, melatih anak perempuan mengenakan jilbab dan kerudung juga sama wajibnya dengan melatih anak untuk shalat atau berpuasa.  Pembiasaan semenjak dini akan menjadikan anak merasa lebih nyaman dan tidak canggung lagi saat mengenakan jilbab dan kerudung telah menjadi wajib baginya.

Upaya pembiasaan mengenakan jilbab dan kerudung bagi anak-anak dapat dilakukan secara bertahap.  Pertama, tentu perlu adanya teladan dari orang tuanya.  Anak-anak akan merasa gembira meniru apa yang dilakukan oleh orang tuanya, terutama anak perempuan meniru ibunya.  Untuk kenyamanan anak perlu kita pertimbangkan bahan jilbab dan kerudung yang akan dikenakan, misalnya bahan kaos yang dingin dan menyerap keringat.

Setiap kali membawa anak keluar rumah, orang tua dapat mengajak anak mengenakan kerudungnya.  Bila anak tidak mau orang tua tidak perlu memaksa.  Begitu pula bila di tengah perjalanan anak kegerahan atau tidak nyaman, dapat kita lepaskan dulu kerudungnya.  Inti dari latihan ini adalah membuat anak merasa nyaman, bukan membuatnya merasa bahwa jilbab dan kerudung menyusahkannya.

Pemaksaan orang tua dapat berakibat anak malahan menjadi tidak nyaman dengan jilbab dan kerudungnya sehingga ia cenderung untuk meninggalkannya bila di luar pengawasan orang tua. Bila anak sudah menjelang baligh, kita perlu menyampaikan kepada mereka dalil-dalil wajibnya jilbab dan kerudung sehingga mereka kuat berpegang pada hukum.  Bukan melakukan sesuatu yang sifatnya dogma semata.  Upaya ini senantiasa kita iringi dengan penanaman akidah yang kokoh pada anak, sehingga yang muncul adalah kesadaran dan bukan keterpaksaan.

Kesulitan yang kita alami dalam proses pembiasaan anak mengenakan jilbab, insya Allah kelak akan berbuah manis di hadapan Rabb kita.  Mengajarkan anak mengenakan jilbab, akan menjadi ilmu bermanfaat.  Selama anak kita berjilbab, pahalanya akan terus mengalir, sekalipun kita sudah berselimut tanah di dalam kubur.  Insya Allah. (mediaumat.com, 27/2)."Dikutip dan Update Judul oleh situs Dakwah Syariah



Rating: 5
Panduan Agar Anak-Anak Mengenal Allah

Panduan Agar Anak-Anak Mengenal Allah




Judul buku: Ayo Mengenal Allah (Pendekatan Psikologis Bagi Anak).
Penulis: Sutrisna Sumadi dan Rafi'udin
Penerbit: PT. Mutiara Sumber Widya
Tahun : 2002


Mendidik anak merupakan kewajiban setiap orang tua. Baik dan buruknya akhlak anak, tergantung pada budi pekerti yang ditanamkan oleh orang tua. Anak adalah amanat bagi kedua orang tua dan hatinya yang suci merupakan potensi dasar bagi perkembangan akhlak yang baik. Apabila ia dididik dan dibiasakan pada kebaikan, maka ia akan tumbuh dengan kebaikan itu, dan insyaAllah akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sebaliknya jika dibiasakan untuk berbuat kejahatan serta dibiarkan tanpa pengawasan, pendidikan dan pengarahan dari orang tua, maka ia akan berperangai dan berperilaku buruk.

Sebagai panduan bagaimana orang tua maupun guru dalam mendidik anak menjadi anak yang sholeh, buku dengan judul 'Ayo Mengenal Allah' dapat dan layak menjadi rujukan.



Rating: 5
Anak Ibarat Perhiasan Sekaligus Ujian

Anak Ibarat Perhiasan Sekaligus Ujian

Anak, Perhiasan Sekaligus Ujian." Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman: “Harta dan anak-anak adalah perhiasaan kehidupan dunia “(QS. Al-Kahfi:46)

Ya tentu saja, anak adalah perhiasan kehidupan dunia. Betapa jiwa kita merasa bahagia menyaksikan mereka dan hati pun bergembira saat bercanda ria dengan mereka.

Namun waspadalah, sebab anak adalah fitnah (ujian).

Dan Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman:

إِنَّمَآ أَمۡوَٲلُكُمۡ وَأَوۡلَـٰدُكُمۡ فِتۡنَةٌ۬‌ۚ وَٱللَّهُ عِندَهُ ۥۤ أَجۡرٌ عَظِيمٌ۬

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu); dan di sisi Allah-lah pahala yang besar” (QS. At-Taghaabun:15)

Jangan kita terpedaya!
Anak, kadang membuat seorang hamba menjadi angkuh dan tidak mensyukuri nikmat Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Ia menjadi angkuh dan berbangga diri karena anaknya, merasa paling tinggi dari orang lain. Ia sombong dan takabbur, bahkan merendahkan orang lain dan berlaku aniaya. Maka hal itu hanya mengantarkannya ke neraka.

Simak firman Allah Subhanhu Wa Ta'ala berikut ini:

(وَمَآ أَرۡسَلۡنَا فِى قَرۡيَةٍ۬ مِّن نَّذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتۡرَفُوهَآ إِنَّا بِمَآ أُرۡسِلۡتُم بِهِۦ كَـٰفِرُونَ (٣٤

(وَقَالُواْ نَحۡنُ أَڪۡثَرُ أَمۡوَٲلاً۬ وَأَوۡلَـٰدً۬ا وَمَا نَحۡنُ بِمُعَذَّبِينَ (٣٥

(قُلۡ إِنَّ رَبِّى يَبۡسُطُ ٱلرِّزۡقَ لِمَن يَشَآءُ وَيَقۡدِرُ وَلَـٰكِنَّ أَڪۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ (٣٦

وَمَآ أَمۡوَٲلُكُمۡ وَلَآ أَوۡلَـٰدُكُم بِٱلَّتِى تُقَرِّبُكُمۡ عِندَنَا زُلۡفَىٰٓ إِلَّا مَنۡ ءَامَنَ وَعَمِلَ صَـٰلِحً۬ا فَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ

(لَهُمۡ جَزَآءُ ٱلضِّعۡفِ بِمَا عَمِلُواْ وَهُمۡ فِى ٱلۡغُرُفَـٰتِ ءَامِنُونَ (٣٧

Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatanpun, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata:”Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya”.

Dan mereka berkata:”Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak-anak (daripada kamu) dan kami sekali-kali tidak akan di azab”.

Katakanlah:”Sesungguhnya Rabb-ku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (bagi siapa yang dikendaki-Nya), akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.

Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, merekalah itu yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam jannah). (QS. Saba’: 34-37)

Anak, kerap kali mendorong ayah untuk meghalalkan usaha yang haram. Demi masa depan anak katanya…

Ia pun berusaha keras mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, dengan segala cara, sekalipun ia harus mendzhalimi yang lemah, memusuhi manusia atau memutus tali silaturrahim.

Anak, kadang membuat seorang hamba menjadi kikir dan penakut. Saat ingin bersedekah, setan datang kepadanya seraya berkata,”Anakmu tadi minta ini dan itu! Maka demi anaknya, ia pun urung menginfakkan hartanya di jalan Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Padahal yang diminta oleh anaknya itu bukanlah suatu kebutuhan primer.

Benarlah sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:
“Sesungguhnya anak bisa membuat seseorang menjadi bakhil, penakut, jahil dan bersedih.” (HR. Al-Hakim (5284) dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Jaami’(1990))

Ketika ia harus mengatakan kalimat yang hak, ia berfikir dua kali. Ia takut petaka akan menimpa dirinya dan anak kesayangannya. Ia pun memilih diam daripada menyampaikan kebenaran.

Ketika anak jatuh sakit, rasa iba mendorong orang tua bertindak bodoh, melanggar syari’at agama dengan ucapan maupun perbuatannya, mengugat takdir Allooh dan tidak menerima ketetapan-Nya. Ia pun membawa anaknya ke dukun padahal Nabi melarang pebuatannya itu.

Yang parah lagi, ada pula anak yang mendorong orang tuanya kepada kesesatan dan kekafiran, Wallaahul musta’an.

Perhatikanlah orang yang tertipu disebabkan anak-anaknya dan tidak mensyukuri nikmat Allah! Ia adalah seorang kafir Makkah bernama Khalid bin Mughirah. Allah Subhanhu Wa Ta'ala berkata tentangnya:

Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendirian.

Dan Aku jadikan baginya harta benda yang banyak,

dan anak-anak yang selalu bersama dia,

dan Ku-lapangkan baginya (rezki dan kekuasaan) dengan selapang-lapangnya,

kemudian dia ingin sekali supaya Aku menambahnya.

Sekali-kali tidak (akan Aku tambah), karena sesungguhnya dia menentang ayat-ayat Kami (al-Qur’an).

Aku akan membebaninya mendaki pendakian yang memayahkan. (QS. Al-Muddatstsir: 11-17)

Dia adalah lelaki yang dikarunia anak-anak dan Allah menjadikan ia selalu bersama mereka untuk mengais rizki. Bahkan rizki lah yang mengelilinginya. Dan anak-anaknya senantiasa berada di sisi nya menjadi hiburan baginya. Walau demikian, ia tidak mensyukuri nikmat Allah, bahkan dibalasnya dengan kekufuran.

Akibatnya, Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman:

Aku akan memasukkannya ke dalam Saqar.

Tahukah kamu apa (naar) Saqar itu

Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak membiarkan.

(Naar Saqar) adalah pembakar kulit manusia. (QS. Al-Muddatstsir: 26-29)

Lalu bagaimana caranya agar kita terhindar dari fitnah (godaan) ini?
Jadikanlah cinta pertama kita untuk Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Jadikan manusia yang paling kita cintai adalah Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah dalam mengurus mereka.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengajarkan bahwa di antara yang dapat menghapuskan keburukan akibat godaan anak adalah mengerjakan sholat, puasa, shodaqoh dan beramar ma’ruf nahi munkar. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

“Gangguan menimpa seseorang disebabkan keluarga, harta, anak, diri dan tetangganya dapat dihapuskan oleh puasa, sholat, shodaqoh dan beramar ma’ruf nahi munkar.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Wallahu a'lam bish-shawab.

sumber: “Mencetak Generasi Robbani, Pustaka Darul Ilmi
Dikutip dan Update Judul oleh situs Dakwah Syariah
(MZ)


Rating: 5
Cara Pembinaan Aqidah Untuk Anak Kita

Cara Pembinaan Aqidah Untuk Anak Kita

Aqidah Islamiyah dengan enam pokok keimanan, yaitu beriman kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala, para malaikatnya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, beriman kepada hari akhir dan beriman kepada qadha’ dan qadar yang baik maupun buruk, mempunyai keunikan bahwa kesemuanya itu merupakan perkara yang ghaib.

Seseorang akan menghadapi kebingungan bagaimana ia mesti menyampaikannya kepada anak dan bagaimana pula anak bisa berinteraksi dengan itu semua ? bagaimana cara menjelasakan dan memaparkannya? Di hadapan pertanyaan ini atau pertanyaan sejenis lainnya, kedua orangtua bisa kelabakan dan mencari tahu bagaimana caranya. Akan tetapi melalui penelaahan terhadap cara Nabi shalallahu’alaihi wassalam dalam bergaul dengan anak-anak, kita temukan ada lima pilar mendasar di dalam menananmkan aqidah ini.

1. Pendiktean kalimat tauhid kepada anak.

2. Mencintai Allah dan merasa diawasi oleh-Nya, memohon pertolongan kepadaNya, serta beriman kepada qadha’ dan qadar.

3. Mencintai Nabi dan keluarga beliau.

4. Mengajarkan Al-Qur’an kepada anak.

5. Menanamkan aqidah yang kuat dan kerelaan berkorban karenanya.

Pendiktean kalimat tauhid kepada anak

Dari ibnu ‘Abbas bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Ajarkan kalimat laailaha illallah kepada anak-anak kalian sebagai kalimat pertama dan tuntunkanlah mereka mengucapkan kalimat laa ilaha illallah ketika menjelang mati.” (HR. Hakim)

Abdurrazaq meriwayatkan bahwa para sahabat menyukai untuk mengajarkan kepada nak-anak mereka kalimat laa ilaha illallah sebagai kalimat yang pertama kali bisa mereka ucapkan secara fasih sampai tujuh kali, sehingga kalimat ini menjadi yang pertama-tama mereka ucapkan.

Ibnu Qayyim dalam kitab Ahkam Al-Maulud mengatakan, “Diawal waktu ketika anak-anak mulai bisa bicara, hendaknya mendiktekan kepada mereka kalimat laa ilaha illa llah muhammadurrasulullah, dan hendaknya sesuatu yang pertama kali didengar oleh telinga mereka adalah laa ilaha illallah (mengenal Allah) dan mentauhidkan-Nya. Juga diajarkan kepada mereka bahwa Allah bersemayam di atas singgasana-Nya yang senantiasa melihat dan mendengar perkataaan mereka, senantiasa bersama mereka dimanapun mereka berada.”

Oleh karena itu, wasiat  Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam  kepada Mu’adz radhiyallahu’anhu sebagimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah dan Bukhari dalam Adabul Mufrad, adalah, “Nafkahkanlah keluargamu sesuai dengan kemampuanmu. Janganlah kamu angkat tongkatmu di hadapan mereka dan tanamkanlah kepada mereka rasa takut kepada Allah.”

Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam sejak pertama kali mendapatkan risalah tidak pernah mengecualikan anak-anak dari target dakwah beliau. Beliau berangkat menemui Ali bin Ab Thalib yang ketika itu usianya belum genap sepuluh tahun.  Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam  mengajaknya untuk beriman, yang akhirnya ajakan itu dipenuhinya. Ali bahkan menemani beliau dalam melaksanakan shalat secara sembunyi-sembunyi di lembah Mekkah sehingga tidak diketahui oleh keluarga dan ayahnya sekalipun.

Orang yang pertama-tama masuk Islam dari kalangan budak yang dimerdekakan adalah Zaid bin Haritsah. Di bawa oleh paman Khadijah, yaitu Hakim bin Hizam dari Syam sebagai tawanan, lalu ia diambil sebagai pembantu oleh Khadijah. Rasulullah kemudian memintanya dari Khadijah lalu memerdekakannya dan mengadopsinya sebagai anak dan mendidiknya ditengah-tengah mereka.

Demikianlah Rasulullah memulai dakwah beliau yang baru dalam menegakkan masyarakat Islam yang baru dengan memfokuskan perhatian terhadap anak-anak dengan cara memberikan proteksi dengan menyeru dan dengan mendo’akan sehingga akhirnya si anak ini (Ali bin Abi Thalib) kelak memperoleh kemuliaan sebagai tameng Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam dengan tidur di rumah beliau pada malam hijrah ke Madinah.

Ini merupakan buah pendidikan yang ditanamkan nabi kepada anak-anak yang sedang tumbuh berkembang agar menjadi pemimpin-pemimpin dimasa depan dan menjadi pendiri masyarakat Islam yang baru.

Sumber: Mendidik Anak Bersama Nabi, Muhammad Suwaid, Pustaka Arafah.

(zafaran/muslimahzone.com)
Dikutip dan Update Judul oleh situs Dakwah Syariah


Rating: 5
Memilih Nama Terbaik Untuk Anak Kita

Memilih Nama Terbaik Untuk Anak Kita

Al-Ism (nama) berasal dari kata al-wasm yang artinya pertanda atau lambang. Hal ini banyak tercantum dalam Al-Quran seperti firman Allah Subhanhu Wa Ta'ala,

“Hai Zakariya, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia.” (QS. Maryam: 7)

Ada yang berpendapat kata al-ismberasal dari kata al-sumuw yang artinya al-’uluw (tinggi). Akan tetapi tidak masalah menggabungkan dua makna ini terutama ketika nama itu diberikan kepada anak Adam dari kalangan kaum muslimin. Dengan demikian nama tersebut sebagai pertanda yang tinggi (luhur) untuk dirinya.

Hakikat dari nama bayi adalah sebagai identitas dan tanda pengenal yang dapat dibedakan sesuai dengan kemuliannya sebagai anak Adam dan sebagai kaum muslimin. Oleh karena itu, para ulama sepakat menetapkanwajibnya memberi nama kepada laki-laki atau perempuan. Nama juga memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap akhlak dan cara hidup umat ini.

Keterkaitan Seseorang dengan Namanya

Tidak disangsikan lagi bahwa terdapat keterkaitan antara arti sebuah nama dan orangnya sebagaimana dijelaskan oleh dalil syar’idan atsar, di antaranya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَسلَمُ سَالَمَهَا اللَّهُ وَ غِفَارُ غَفَرَ اللّهُ لَهَا وَعُصَيَّةُ عَصَتِ اللَّهَ وَ رَسُولَهُ

“Aslam (nama orang -ed) semoga Allah mendamaikan hidupnya, Ghifaar (nama orang -ed), semoga Allah mengampuninya dan ‘Ushayyah (nama orang -ed) telah durhaka terhadap Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Demikian juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau melihat Sahl bin Amr datang pada hari perjanjian Hudaibiyah,

سَهلَ أمْرَكُمْ

“Urusan kalian menjadi sahl (mudah).” (HR. Bukhari)

Rasulullah juga memberikan kepada Abul Hakam bin Hisyaam dengan julukan (kunyah) Abu Jahal. Sebuah kunyah yang sesuai dengan orangnya dan ia adalah makhluk yang paling berhak mendapatkan kunyah ini. Demikianjuga kunyah Abu Lahab yang diberikan kepada Abdul ‘Izza karena ia akan di tempatkan di dalam neraka yang memiliki lidah api.

Juga perhatikan hadits Sa’id bin Musayyib dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata, “Aku pernah menghadap Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bertanya kepadaku, ‘Siapa namamu?’ Ia menjawab ‘Namaku huzn (kasar atau sedih).’ Beliau kembali bersabda, ‘Ganti namamu dengan nama Sahl (mudah).’ Ia berkata, ‘Aku tidak akan menukar nama yang telah diberikan oleh ayahku.’ Ibnu Musayyib berkata, Sejak saat itu sifat kasar senantiasa ada di keluarga kami.” (HR. Bukhari)

Maka pilihlah nama yang terbaik untuk buah hati anda.

(muslimah site/mz.com)
Dikutip dan Update Judul oleh situs Dakwah Syariah


Rating: 5
Apakah Boleh Orang Tua Memukul Anak?

Apakah Boleh Orang Tua Memukul Anak?

Permasalahan ini termasuk masalah yang wajib dipahami oleh setiap orangtua. Sikap yang diambil tentunya beragam sesuai dengan kesalahan yang dilakukan anak. Perlu diperhatikan apakah anak memahami kesalahan itu dan mengetahui dosa dan bahayanya ataukah tidak?

Keutamaan berlemah lembut

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ الرِّفْقَ لاَيَكُوْنُ فِيْ شَيْئٍ إِلَّا زَانَهُ وَمَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْئٍ إِلَّا شَانَهُ

“Tidaklah kelemahlembutan ada pada sesuatu kecuali akan menghiasainya dan tidaklah dicabut darinya melainkan akan memperjeleknya ” (HR. Bukhari 2594 dair ‘Aisyah radhiallahu’anha)

Sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,

مَنْ يُحْرَمُ الرِّفْقَ يُحْرَمُ الخَيْر

“Siapa saja yang dihalangi dari kelemahlembutan maka dihalangi pula dari kebaikan” (HR. Muslim 2542 dari Jabir bin Abdullah radhiallahu’anhu)

Juga sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,

إِنَّهُ مَنْ أُعْطِيَ حَظُّهُ مِنَ الرِّفْقِ فَقَدْ أُعْطِيَ حَظُّهُ مِنْ خَيْرِالدُّنْيَاوَالأَخِرَة

“Sungguh orang yang telah diberi bagian kelembutan berarti ia telah diberi bagian kebikan dunia dan akhirat” (HR. Ahmad 6/159 dari ‘Aisyah radhiallahu’anha)

Dan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,

إِذَا أَرَادَ اللهُ بِأَهْلِ بَيْتٍ خَيْرًا أَدْخَلَ عَلَيْهِمُ الرِّفْقَ

“Jika Allah menginginkan kebaikan bagi sebuah anggota keluarga maka Dia akan memasukkan kelembutan kepada mereka” (HR. Ahmad 6/71, 6/104-105, hadits shahih)

Sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,

إِنَّ اللهَ رَفِيْقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ

“Sesungguhnya Allah Maha Lembut dan mencintai kelembutan.” (HR. Muslim 2593 dari ‘Aisyah secara marfu’)

Nasehat lebih baik daripada memukul

Selama dalam perbaikan tidak memerlukan pemukulan maka janganlah memukul. Karena Nabi shallallahu’alaihi wasallam sendiri bila harus memilih antara dua pilihan maka beliau memilih yang paling mudah selama bukan dosa. (HR. Bukhari 3560 dan Muslim 2327 dari ‘Aisyah secara marfu’)

Telah diriwayatkan pula bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tidak pernah memukul sesuatu dengan tangannya sama sekali, tidak kepada istri beliau ataupun pembantu beliau. Beliau hanya memukul ketika berperang dijalan Allah. (HR. Muslim 2328)

Maka kita sebaiknya menggunakan kata-kata nasehat jika ingin memperbaiki perilaku anak atau dengan menggunakan dorongan dan motivasi.
Bila kata-kata yang baik tidak berpengaruh maka kita gunakan kata-kata yang berisi teguran dan ancaman sesuai dengan kesalahan anak. Bila juga tidak bermanfaat maka saatnya memukul. Untuk itu kondisi tabiat anak berbeda-beda.

Diantara mereka ada yang cukup dengan isyarat mata untuk menghukum dan menegurnya. Isyarat mata ini memberikan pengaruh yang kuat pada dirinya dan menjadi sebab berhenti dari kesalahan yang ia lakukan.

Diantara mereka ada yang jika Anda membuang muka darinya maka dia segera paham maksud Anda dan berhenti dari kesalahannya.

Diantara mereka ada yang berubah dengan kata-kata baik. Maka gunakan kata-kata yang baik untuk anak yang seperti ini.

Dan diantara mereka tidaka ada yang membuatnya sadar kecuali harus dengan pukulan dan perlakukan keras. Maka untuk anak tipe seperti inilah kita lakukan pemukulan dan berlaku keras. Akan tetapi sesuai dengan kebutuhan saja serta tidak menjadikannya kebiasaan. Seperti halnya seorang dokter yang memberi suntikan kepada pasiennya walaupun suntikan itu menyakitkan akan tetapi suntikan itu sebatas kadar penyakitnya saja.

Orangtua diperblehkan bersikap keras kepada anak bila anak malas beribadah

Adapun dalil-dalil lainnya yang menunjukkan bolehnya memukul anak bila diperlukan karena anak tidak taat dalam hal yang ma’ruf atau karena mengabaikan perintah kebaikan atau berbuat maksiat, dzalim secara terus menerus diantaranya adalah

• Firman Allah Subhanhu Wa Ta'ala,

وَاللهُ لَايُحِبُّ الفَسَادَ

“Dan Allah tidak menyukai kerusakan.” (QS. AL-Baqarah: 205)

• Firman Allah Subhanhu Wa Ta'ala,

فَلَوْلَا كَانَ مِنَ القُرُوْنِ مِنْ قَبْلِكُمْ أُولُوا بَقِيَّةٍ يَنْهَوْنَ عَنِ الفَسَادِ فِى الأَرْضِ إِلَّا قَلِيْلاً مِمّنْ أنْجَيْنَا مِنْهُم

“Maka mengapa tidak ada dari umat-umat sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan melarang dari mengerjakan kerusakan di bumi. Kecuai sebagian kecil diantara orang-orang yang telah Kami selamatkan diantara mereka.” (QS. Hud: 16)
Bila kerusakan dan kedzaliman yang timbul dari ulah si anak tidak dapat hilang kecuali dengan pemukulan maka saat itu juga dia harus dupukul.

• Sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam, “Perintahkanlah anakmu shalat pada usia tujuh tahun dan pukullah dia karena (meninggalkan)nya pada usia 10 tahun dan pisahkan tempat tidur mereka.”(HR. Abu Daud no 495 dengan sanad hasan)

• Sikap tegas Abdullah bin Umar kepada anaknya Bilal bin Abdullah bin Umar radhiallahu’anhuma
Dari abdullah bin Umar radhiallahu’anhuma berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, ‘Jangan kamu cegah istrimu kemasjid jika mereka izin kepadamu keluar menuju kesana.’”
Kemudian Bilal bin Abdullah bin Umar berkata, “Demi Allah aku akan mencegah mereka.”
Ibnu Umar menoleh kepadanya lalu mencela dengan celaan yang belum pernah aku (perowi) dengar sebelumnya dan berkata, “Aku kabarkan kepadamu hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dan kamu katakan,’Demi Allah aku akan cegah!.’”

• Tatkala melihat kecerdasan dan keunggulan Ikrimah yang saat itu masih kecil sehingga senang bermain dan lari-lari maka Ibnu Abbas mengikatnya dengan tali agar mau memperlajari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Ikrimah berkata, “Ibnu Abbas pernah merantai kakiku ketika sedang mengajariku Al Qur’an dan Sunnah.” Dalam riwayat lain, “Ketika sedang mengajariku AlQur’an dan ilmu waris.”
Lantas bagaimana kondisi Ikrimah setelah mendapat hukuman itu? Dia menjadi salah seorang ulama besar ahli hadits yang banyak meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dari Ibnu Abbas dan menjadi ahli tafsir yang handal.

• Begitujuga sikap tegas Abu Bakar Ash Shidiq kepada ‘Aisyah radhiallahu’anhuma. Abu Bakar memukul putrinya karena menyebabkan pasukan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tertunda keberangkatannya dan karenanya sahabat lain mengeluh. Dan kisah lainnya sangatlah banyak sekali untuk disebutkan.

Larangan memukul wajah

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

“Jika salah seorang diantara kalian memukul saudaranya maka hendaknya dia menghindari memukul wajah.” (HR. Muslim 2616 dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu secara marfu’).

***
Diringkas dari buku “Bagaimana Nabi shallallahu’alaihi wasallam Mendidik Anak” (Terjemahan dari kitab Tarbiyatul Aulad), Syaikh Musthafa Al Adawi, Media Hidayah.

Muslimahzone.com
Dikutip dan Update Judul oleh situs Dakwah Syariah



Rating: 5
Janganlah Merusak Jiwa Anak-Anak Kita

Janganlah Merusak Jiwa Anak-Anak Kita

Jangan Rusak Jiwa Anak Kita!." Anak yang membanggakan pasti merupakan idaman setiap orangtua. Merupakan hal yang wajar, bila anak yang berprestasi atau memiliki kelebihan kemudian menjadi buah bibir orangtuanya. Hal ini bisa kita lihat manakala para orangtua berkumpul, pasti ada saja topik yang membahas kebanggaan mereka terhadap anak.

Meskipun membanggakan anak awalnya merupakan tanda syukur kita terhadap karunia Allah, akan tetapi ada beberapa dampak yang harus kita waspadai manakala berbicara tentang hal ini.

Dampak pertama membanggakan adalah membandingkan. Manakala seseorang membanggakan sesuatu, ia akan cenderung mengganggap remeh hal lain yang menjadi pembandingnya. Dalam hal ini, orangtua yang membanggakan kelebihan anaknya pasti akan membandingkan kelebihan sang anak terhadap anak orang lain yang menjadi lawan bicaranya, secara langsung ataupun tidak. Kondisi membandingkan ini pasti akan menumbuhkan ketidaknyamanan dalam hati lawan bicara. Akibatnya, boleh jadi orangtua yang merasa dibandingkan tersebut “ngedumel” dalam hati atau malah balik menyerang dengan sanggahan dan berakhir dengan pertengkaran.

Dampak lanjutan dari membandingkan ini adalah perasaan rendah diri orangtua yang berada “di pihak yang kalah”. Mereka akan merasa bahwa anak mereka bukanlah orang-orang yang istimewa. Akibatnya, bukan hanya orangtua yang tertekan, anak-anak pun akan terkena dampak. Orangtua akan memaksa anaknya untuk mencapai keberhasilan yang sama.

Misalkan saja, orangtua yang memiliki anak berusia di atas satu tahun tetapi belum dapat berjalan cenderung memaksa anaknya untuk segera berjalan, meski hanya dengan mengeluh di depan anaknya, “Koq, kamu belum bisa jalan sih, Nak?”

Efeknya tentu dapat dirasakan pada harga diri anak. Alih-alih orangtua bertugas sebagai pembangun harga diri dan tempat berlindung anak, orangtua yang telah berada di bawah tekanan pembandingan justru akan melemahkan harga diri anak.

Bila hal ini tidak segera disadari dan diperbaiki oleh orangtua, anaklah yang menjadi korban dari sebuah ambisi kebanggaan.

Melihat buruknya dampak yang diakibatkan dari berbangga-bangga ini, tentu sebaiknya kita meninggalkan sikap ini manakala tengah berbicara tentang anak. Seorang ulama bahkan pernah berpesan untuk menghindari membangga-banggakan anak ini ketika kita berada dalam sebuah forum silaturrahim.

Karena, selain dapat berakibat buruk bagi anak, sikap ini juga dapat merusak persaudaraan.

Jangan berlebihan

Kita masih mengingat akan penyebab turunnya ayat 103 surat Ali Imran yaitu sikap bangga-membanggakan antar kabilah yang akhirnya nyaris memicu perkelahian antar sahabat Anshar. Belajar dari peristiwa ini, alangkah baiknya jika kita menghindari sikap bangga-membanggakan yang Allah firmankan dalam surat At-Takatsur ayat 1: أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu.”

Selain dapat merusak kehangatan persaudaraan, sikap berbangga ini akan membuat seseorang enggan datang bersilaturrahim atau malah menghindar untuk berbicara. Semua ini tentu akan melalaikan kita untuk menyambung tali silaturrahim dan saling tolong-menolong.

Padahal, telah sampai kepada kita ayat-ayat-Nya dan sunnah Rasul-Nya yang menyuruh kita untuk saling bahu-membahu dalam kebaikan dan mencegah dari perbuatan yang dimurkai Allah.

Tak sedikit di sekitar kita,  ada orangtua membangga-banggakan salah satu anaknya dan di saat yang sama menjatuhkan anaknya yang lain.

“Tiru tuh, kakakmu, bukan seperti kamu,” begitu salah satu orangtua yang pernah saya dengar membanding-bandingkan anaknya.

Padahal, dengan membanding-bandingkan,  akan membuat kerusakan pada jiwa masing-masing anak. Bagi yang dibanggakan ia berpotensi menjadi sombong, sementara bagi yang dijatuhkan, ia berpotensi menjadi rendah diri. Kedua-duanya akan berpotensi memiliki kepribadian buruk di kemudian hari.

Islam melarang sikap berlebihan. Dalam al_Quran  Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman:

"Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar…" [An-Nisaa': 171]

Sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:

“Permudahlah dan janganlah kalian mempersulit. Berikanlah berita gembira, dan janganlah kalian menakut-nakuti”

Orangtua harusnya besikap adil kepada semua anaknya. Tak perlu menekankan bahwa “anak harus bisa”. Karena setiap anak memiliki potensi berbeda. Alangkah indahnya, jika salah satu potensi dan kelebihan di antara anaknya menjadi pemacu spirit bagi yang lainnya.

Alangkah indahnya, bila dalam setiap bertemunya orangtua dengan anak, yang hadir hanyalah kata-kata positif yang dapat mendorong dan membantu dan memberi semangat untuk menjadi lebih baik.

Begitupun bila anak kita memiliki kelebihan, menjadi lebih indah, bila kelebihan tersebut dapat menjadi solusi bagi permasalahan saudara kita. Kelebihan tersebut dapat melengkapi kekurangan yang dimiliki saudaranya.

Apalagi bila kemudian menjadi kesyukuran dan kebanggaan bersama. Tentu ini akan membuat persaudaraan semakin rekat dan semangat untuk berlomba-lomba menjadi yang terbaik dalam kebaikan semakin subur.

Jika rasa cinta dan kasih sayang orangtua kurang tercurahkan pada diri anak-anak, tak mustahil ia hanya akan tumbuh sebagai pribadi berprilaku aneh di tengah komunitasnya. Sebaliknya, jika orangtua memberi rasa lebih cinta dan kasih sayang,  ia akan tumbuh menjadi pribadi barik di tengah kawan-kawannya. Ia akan menjadi percaya diri dan memiliki kepekaan sosial. Karena ituitu, kewajiban bagi orang tuauntuk memenuhi kebutuhan cinta dan kasih sayang pada mereka.

Perkataan Ibnu Khaldun dalam Kitab Al Muqaddimah bisa menjadi renungan kita bersama;

“Barangsiapa yang pola asuhannya dengan kekerasan dan otoriter, baik (ia) pelajar atau budak ataupun pelayan, (maka) kekerasaan itu akan mendominasi jiwanya. Jiwanya akan merasa sempit dalam menghadapinya. Ketekunannya akan sirna, dan menyeretnya menuju kemalasan, dusta dan tindakan keji. Yakni menampilkan diri dengan gambar yang berbeda dengan hatinya, lantaran takut ayunan tangan yang akan mengasarinya”.*

Kartika Trimarti, penulis lepas dan ibu rumah tangga tinggal di Bekasi
Dikutip dan Update Judul oleh situs Dakwah Syariah
Red: Cholis Akbar


Rating: 5
Biasakan Atau Didik Anak Gemar Berinfaq

Biasakan Atau Didik Anak Gemar Berinfaq

Membiasakan Anak Menjadi Gemar Berinfaq." Seorang anak perempuan berumur dua tahun berlari menghampiri meja komputer dimana sang ibu biasa menaruh uang sisa belanja. Tangan-tangan kecilnya meraih beberapa uang logam dan celoteh cadelnya segera terdengar meminta sang ibu mengambilkannya sesuatu, “Bunda, ipak (infaq). Abi (ambil) itu.” Tangannya menunjuk-nunjuk kotak infaq yang diedarkan mushala ke setiap rumah.

Sang ibu dengan tersenyum mengambilkan kotak infaq di atas meja ruang keluarga tersebut dan meletakkannya di hadapan puteri kecilnya. Tangan-tangan kecil itupun dengan lincah memasukkan koin demi koin ke dalam kotak. Ketika uang logam di tangannya habis, dia pun bersorak gembira, “Horeee…ipak!” Ibu muda itu pun menatap anaknya penuh syukur.

Menyenangkan memang melihat anak kita sejak dini telah terbiasa bersedekah. Namun, ternyata mengajarkan anak untuk bersedekah tak sesederhana yang dibayangkan. Seperti perjalanan gadis kecil bernama Arina tersebut mengenal infaq. Sebelum usianya genap dua tahun, ayah bundanya telah membiasakan sang anak menaruh uang logam sisa belanja di kotak infaq.

Awalnya berniat untuk membiasakan sang anak berinfaq. Setiap ada uang logam, terutama sang ayah, segera menyemangati puteri kecilnya untuk memasukkan uang logam ke dalam celah kotak infaq, meski jari-jari kecilnya saat itu belum dapat memposisikan uang logam dengan baik. Seiring dengan waktu, sang anak pun terbiasa memasukkan uang logam yang dilihatnya langsung ke kotak infaq. Jari-jari kecilnya pun sudah terampil memasukkan uang logam tanpa bantuan.

Namun, yang kemudian terjadi sungguh di luar dugaan. Setiap melihat uang logam koin, Arina pun spontan menyebutnya infaq. Bahkan meskipun uang tersebut bukan untuk infaq. Ayah-bundanya pun segera menyadari bahwa infaq dalam persepsi puteri kecilnya adalah koin uang logam.

“Waaahh… kalau Arina tahunya infaq berupa uang logam recehan, gawat itu!” Ujar sang ayah. Maka Ayah-Bunda Arina pun sepakat untuk mengajarkan menginfaq-kan uang lembaran kertas ke kotak infaq agar sang anakpun tahu bahwa infaq tak cuma recehan.

Arina pun dengan senang hati belajar memasukkan uang lembaran seribuan dan lima ribuan ke dalam kotak infaq. Ayah-bundanya pun mulai lega melihat kemajuan tersebut. Namun, suatu hari mereka dikejutkan oleh tingkah anaknya. Mereka melihat Arina memasukkan beberapa lembar uang kertas ke dalam kotak infaq yang berada di atas lantai.

Pasalnya, sepertinya warna biru uang kertas yang dimasukkan  oleh jari-jari puterinya bukanlah warna biru uang seribuan dan ooohhh… ada uang kertas berwarna merah yang kini juga tengah berusaha dimasukkan Arina.

Ternyata Arina telah berhasil memasukkan uang lembaran limapuluh ribuan dan kini tengah berusaha memasukkan lembaran seratus ribuan! Sementara itu dompet sang ayah tergeletak dalam keadaan terbuka di lantai kamar. Arian pun menoleh mendengar kepanikan orangtuanya, sambil tersenyum ia berkata, “Ipak niii…”

Sang ayah dan bunda pun saling menatap tak tahu berkata apa. “Yaaa... infaq memang tak boleh hanya recehan Nak, tapi kalau sebesar itu, Ayah-Bunda juga belum mampu,” begitulah kira-kira yang tercetus dalam hati kedua orangtuanya.

Tanamkan sejak Dini

Nah, mengajarkan bersedekah atau berinfaq pada anak memang tak semudah yang dikira karena memang disinilah seninya mendidik manusia yang selalu berkembang kemampuannya dan dianugerahi inisiatif.

Namun demikian, sikap gemar bersedekah ini memang harus ditanamkan sedini mungkin dalam jiwa anak karena tindakan ini sangat dicintai oleh Allah Subhanhu Wa Ta'ala sebagaimana yang disebutkan dalam wasiat Rasulullah saw:

“Tidaklah seorang hamba bersedekah dari harta yang baik yang dia miliki karena Allah Subhanhu Wa Ta'ala tidak menerima kecuali yang baik-baik, melainkan Ia akan menyambutnya langsung dengan tangan kanan-Nya. Jika sedekahnya itu berupa sebutir kurma, maka ia akan tumbuh subur di telapak tangan-nya sampai menjadi lebih besar dari gunung. Perumpamaannya adalah seperti jika sang hamba tersebutmemelihara anak sapi atau unta (yang tentu setiap waktu akan bertambah besar).” (HR.Tirmidzi)

Di samping itu, sedekah juga merupakan sarana untuk menyucikan diri, di antaranya terkandung dalam sabda Rasulullah, “Berusaha keraslah menghindari api neraka meski hanya dengan (menyedekahkan) sebutir kurma.” (HR.Bukhari)

Lalu bagaimana caranya supaya anak dapat menyukai amalan bersedekah dan terdorong selalu bersedekah? Berikut adalah beberapa dari banyak hal yang dapat dilakukan: Yang pertama, ajarkan sejak dini dengan cara yang disukai anak. Seperti menyediakan kotak infaq di rumah (apalagi bila disediakan dalam bentuk yang lucu) dan biarkan ia merasa tertantang memasukkan koin-koin uang logam dengan jari-jari kecilnya. Lalu perdengarkanlah bagaimana bunyi uang logam ketika menyentuh dasar kotak dan iramakanlah dengan mimik yang lucu, seperti “cluk-cluk-cluk!” Anak pun pasti akan merasa senang.

Kedua, tanamkanlah pada anak bahwa bersedekah adalah hal yang menyenangkan dan diperlukan. Seperti mengatakan kepada anak, “Waah, Bunda sedang nggak  punya uang nih, Nak. Kasih uang sama pengemis dulu, yuk. Insya Allah si Ibu tua itu senang, sehingga kita pun ikut senang meski sedang tak punya uang.” Dengan demikian, anakpun akan belajar bahwa bersedekah akan mendatangkan kebahagiaan pada orang lain dan diri sendiri. Menanamkan bahwa ibadah adalah hal yang menyenangkan juga dapat dilakukan pada amalan yang lain seperti shalat, membaca al-Quran, berjilbab dan lain-lain.

Ketiga, sentuhlah hati anak yang lembut untuk turut merasakan penderitaan orang lain. Seperti ketika ia tengah memakan kue sarapannya, ajaklah ia untuk bersyukur akan kelezatan rasa kue yang tengah disantapnya tersebut. Lalu, ajaklah ia untuk mengetahui bahwa ada anak lain yang tak dapat menyantap kue untuk sarapan dengan mengingatkannya pada anak-anak di pinggir jalan yang suka dilihatnya ketika bepergian. Kemudian, doronglah ia berinfaq mengumpulkan uang untuk anak jalanan dan kaum dhuafa lainnya.

Keempat, berikanlah informasi yang lengkap tentang apa saja yang dapat diinfaq-kan atau disedekahkan pada anak. Sehingga kepanikan yang dialami orangtua Arina tak terjadi pada Anda!

Kartika Trimarti, penulis lepas dan ibu rumah tangga tinggal di Bekasi, Jawa Barat
Dikutip dan Update Judul oleh situs Dakwah Syariah
Rep: Ibnu Syafaat
Red: Cholis Akbar


Rating: 5
Saudaraku, Didiklah Anakmu Sejak Dini

Saudaraku, Didiklah Anakmu Sejak Dini


Didiklah Anak Sedari Dini Hari." Sejak dimulai dari pemilihan bibit bagi sang calon Ibu dan pemilihan bagi sang calon ayah, sejak semula, semua pasangan sudah ada niat mencari dan menyiapkan bibit yang unggul, sehat, baik dan shalih.

Ketika semua orang telah memiliki pasangan dan dikaruniai calon bayi, benih itu dipupuk, dijaga, diberi makan yang teratur.  Diajarkan mengaji sejak dalam kandungan dengan suara merdu sang ibu setiap saat, juga makanan jasmani dan ruhaninya melalui sikap dan tingkah laku orangtua (ortu). 

Ia harus diberi makanan pencerdas otak sejak awal kandungan, akhlaq mulia dengan prilaku sang Ibu. Dilarang membiasakan kata-kata kotor penuh nada ejekan atau hinaan dari sang ibu dimulai dari anak dalam kandungan, agar sang anak kelak tak terbiasa mendengarkannya.

Para ibu, juga dilarang ada hati yang sombong, angkuh, kikir, karena jiwa sang Ibu berpengaruh pada sang bayi ketika ia hamil.

Para ibu, juga diperintahkan sebaik mungkin menghindari penyakit-penyakit hati, namun melakukan kebaikan hati, karena getaran dada dirasakan sang bayi. Semua ajaran di atas telah tercantum dalam firman Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Termasuk dalam Q.S Al-Baqarah, Luqman Al Hujuraat, dan surah lain-lainnya.

Setelah ia lahir disusukan dengan ASI yang murni sampai berumur 2 tahun penuh (sebagaimana ajaran Islam).

Ketika anak berumur 7 tahun,  Islam memerintahkan untuknya shalat. Jika telah berumur 10 tahun, ia bahkan boleh dipukul, tapi pukulan penuh didikan bukan menyakiti.

Ketika anak sudah mulai bisa membedakan yang baik dan yang buru,  maka Islam meminta agar anak diajarkan berenang, memanah, naik kuda, dll.

Anak juga harus diajarkan mengenal Allah Subhanhu Wa Ta'ala, Nabinya, serta agamanya.

Anak Ibarat Pohon

Kenapa sejak kecil anak diajarkan shalat dan tahu agamanya? Ini adalah pendidikan ruhaninya kelak agar dewasa dia bisa mandiri, tahu apa yang harus dilakukannya saat menghadapi segala macam permasalahan.

Kenapa sejak kecil anak juga harus diajarkan memanah, berenang, naik kuda dan sebagainya dari olahraga? Lihatlah bagaimana sikap seorang pemanah dari sisi saat ia memanah dengan tepat, lihatlah orang yang berenang dalam menjaga keseimbangan tubuhnya, saat orang naik kuda mengendalikan kuda yang larinya kencang sekalipun. Jadi bukan dari sisi permainan itu saja diambil hikmahnya, tetapi substansi hikmah di belakang dari semua itu.

Mendidik anak yang sudah besar, itu sama saja kita mencoba meluruskan pohon bengkok sejak semula. Karenanya, akan sangat sulit sekali lurusnya. Kalau diluruskan dengan paksaan ia akan patah. Karena itu selagi dia masih kecil, dan masih bisa dibentuk, maka  bentuklah sedari dini hari, jangan sampai siang hari, nanti kesiangan, apalagi senja hari, nanti  rabun senja. Lebih parah kalau dibentuk sudah malam hari, mata udah rabun, gelap, pandangan dan samar-samar.

Orangtua kalau sudah dibentuk ketika tuanya tentu akan sulit, karena pandangan di malam hari juga sudah pada gelap. Orang siap-siap mau tidur, waktu malam hari hanyalah banyak berdo’a dan beribadah saja. Seperti begitulah orangtua, seharusnya masa-masanya sudah dekat ke kubur siap-siap menghadapi maut.

Jangankan yang sudah tua, masih muda saja kita selalu siap-siap ke kubur, itu sebabnya pohon itupun disirami sejak dari dalam tanah, sejak dari bibitnya. Kalau pohon sudah rindang, sudah tua, sudah tinggi yang diharapkan hanyalah siraman hujan dari langit, dan hidayah dari Allah Subhanhu Wa Ta'ala.

Siklus kehidupan, rotasi alam, akan seperti itu ke itu saja adanya. Sunnatullah, dari bibit, menjadi benih, tunas kecil, pohon remaja dan lagi ranum-ranumnya, dan akhirnya berbuah.

Tatkala dia berbuah, dia menghasilkan biji, benih yang baru untuk penerus kehidupannya. Kehidupannya tadi digantikan lagi oleh benih yang baru, begitulah seterusnya.

Lantas, dilihat dari perputaran siklus kehidupan tanaman tadi, apakah tidak terpikir oleh kita, bagaimana sebenarnya hakikat jati diri kita?

Buat apa kita hidup, dari mana asal kita hidup, untuk apa kita hidup, pada akhirnya ke mana jalan akhir hidup kita?

Bibit, benih yang kita tanam tadi, setelah sekian tahun baru kita memetik hasilnya. Saat kita petikpun tak begitu lama, datang masa akhir hayat kita. Lantas, sudah siapkah diri kita menghadapi kehidupan nan abadi dan kekal di akhirat nanti?

Waktu yang diberikan buat bekal itu hanyalah sedikit sekali, sementara yang akan kita capai dan akan kita jalani kelaknya adalah sangat terlalu panjang, apakah tidak terfikir oleh kita untuk mempersiapkan segala sesuatunya buat diri kita sendiri dalam menghadap illahi?

Sudahkah kita menghitung amalan dan dosa-dosa kita? Masa akhirat, hari pembalasan masa kiamat  adalah masa-masa sang anak lupa pada ibunya, ibu sendiri lupa pada janin yang ada dalam kandungannya, semua lupa pada siapa, yang difikirkannya hanyalah kondisi nasib dirinya sendiri.

Masa itu tak ada naungan dan pertolongan selain naungan dan pertolongan Allah Subhanhu Wa Ta'ala semata.

Namun kenapa di saat-saat kita sadar diri, masih muda, masih kaya, masih memiliki akal sehat, masih punya banyak waktu, kita jarang berinteraksi dan memohon hanya padaNya?

Tetapi kita memohon pada selainNya dalam bentuk apapun itu, kita sadari ataupun tak kita sadari. Termasuk kesalahan-kesalahan kita dalam mendidik anak.

Lantas, apakah tidak ada rasa malu dalam diri kita, di saat kita nanti berada dalam kondisi serba sulit di hari akhirat, kita baru datang kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala untuk meminta perlindungan?

Cobalah saja kita membayangkan diri kita.

Bagaimana perasaan kita, andaikan ada teman, saudara, istri, suami, anak atau siapa saja, di saat dia senang, bahagia dia lupa sama kita, dia malah ingat sama yang lainnya. Tidak tahunya di saat-saat dia berada dalam kesulitan dia datang ke kita, mengadu pada kita.

Allah juga maha pencemburu. Sungguh tak masuk diakal yang waras dan cerdas, apabila kita datang ke Allah di saat-saat kita berada dalam kesulitan. Semata, saat sehat, saat bahagia, saat kaya kita tak ingat padaNya. Lupa ibadah, lupa berinfaq, lupa memberi padaNya, lupa mengingatNya.

Manusia saja tidak bisa dibegitukan, apatah lagi Allah yang maha kuasa, maha pencemburu.

Mari sama-sama kita merenungkan semua ini. Semua bermula dari benih, bibit, anak, karena itu pantaslah anak kita katakan anugerah. Karena dari perkembangan bibit, benih, anaklah, kita dapat mengambil hikmah besar dari kehidupan ini, untuk mencapai tujuan akhir hidup kita, yakni RidhaNya semata, tak lebih dari itu.

Dan sesungguhnya, Allah telah memperlihatkan pada kita semua semua ilmunya. ALlah bahkan memilima melihat dengan “Mata Hati”, bukan “Mata Telanjang”. Sayangnya, kita sering alpa dalam masalah ini.

وَفِي أَنفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ

“dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?.” [QS.Adz Zaariyah: 21]

Semoga, kita semua mampu menjadi orangtua yang peka, yang bisa melihat dengan “Mata Hati”.

Rahima Rahim, Ibu rumah tangga, kuliah Jurusan Ushuluddin di Universitas al Azhar As-Syarif, berdomisili di Bukittinggi

Foto: parenthots
Rep: Administrator
Red: Cholis Akbar
Dikutip dan Update Judul oleh situs Dakwah Syariah

Rating: 5
Cara Memberi Kepercayaan Pada Anak Kita

Cara Memberi Kepercayaan Pada Anak Kita

Berikan Kepercayaan Pada Anak Kita!." Ada sebuah perusahaan yang berhasil dibangun dengan kekuatan kepercayaan. Yaitu perusahaan sepeda dengan nama Zane's Cycles. Sebuah perusahaan penjual berbagai jenis sepeda ontel di Amerika. Perusahaan yang didirikan oleh Christopher J. Zane tahun 1980 ini dimulai dari toko sederhana. Toko sepeda pertama kali didirikannya di kota Branford, negara bagian Connecticut. Toko ini cepat berkembang dan mempunyai cabang yang cepat menyebar.

Berkembang menjadi sebuah perusahaan besar yang sekarang bergerak tidak hanya masalah sepeda ontel saja. Zane mempu mengembangkan bisnisnya dalam berbagai sektor. Dan perusahaan ini akhirnya sukses dengan memperoleh keuntungan sekitar 13 juta dollar US setahun hanya untuk satu lokasi cabangnya saja.

Apa kunci kesuksesannya?

Salah satu keberhasilan perusahaan ini adalah mampu membangun kepercayaan dengan konsumennya. Zane tahu persis bahwa kepercayaan adalah kunci utama bagi toko sepeda kecil seperti miliknya.  Tanpa kepercayaan sulit baginya untuk menyaingi ritailer besar sekelas Walmart dan sejenisnya.

Akan tetapi dengan membangun kepercayaan, sudah pasti ada sisi yang harus ia korbankan. Zane tahu betul, bahwa dalam diri konsumen ada prinsip "No Body Perfect".

Bagaimana Chris Zane yang berusia 33 tahun mempertahankan penjualan terus tumbuh 25 persen per tahun dalam bisnis yang sangat kompetitif? Sangat sederhana sekali.  Yaitu dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi konsumen yang ingin mencoba sepedanya dan garansi seumur hidup.

“Strategi yang membuat saya sangat dikenal adalah garansi servis seumur hidup. Setelah seorang konsumen membeli dari saya, jika sepeda tidak bisa berjalan atau memerlukan perawatan, kami akan melakukan apa pun yang diperlukan untuk membuat konsumen kembali bisa menggunakan sepeda. Gratis,” ujar Zhris Zane.

Hebatnya lagi, tanpa harus ditanya macam-macam, alias "no question asked", silakan mencoba berbagai jenis sepeda yang disukainya. Para pembelinya boleh memilih sepeda yang diinginkannya, dan mencoba semaunya tanpa perlu syarat tertentu.

Dan luar biasanya lagi, tidak hanya sepeda-sepeda yang berharga murah yang bisa dicoba, bahkan sepeda dengan harga 6000 US dollar (atau sekitar 50 juta) pun boleh dicobanya sebelum dibelinya. Dicoba berarti harus dinaiki, dan dibawa ke suatu tempat yang mungkin akan menjauh dari tokonya.

Apakah tidak takut sepedanya dicuri konsumennya? sudah pasti khawatir dan takut. Akan tetapi ternyata sikap kepercayaan kepada konsumen  yang lebih besar inilah yang membuahkan keberanian melakukan “garansi seumur hidup” pada pelanggannya.

Hasil yang luar biasa. Faktanya menunjukkan, dari 4000 sepeda yang ia jual setiap tahun, hanya 5 sepeda dicuri oleh konsumennya.

Hilangnya 5 sepeda adalah tidak ada artinya bagi sebuah keuntungan yang luar biasa yang telah ia dapatkan. Dan 5 sepeda tidak ada pengaruhnya dengan kepercayaan kepada konsumen yang telah ia bangunnya. 5 sepeda tidak menjadikan usahanya bangkrut, justru dari hilangnya 5 sepeda ini ia mampu menorehkan tinta sejarah sebagai salah satu perusahaan yang berhasil membangun kepercayaan dengan konsumennya.

Inilah buah dari berpositif thinking. Kalau seandainya kekhawatiran hilangnya sepeda dirasakan Zane lebih besar daripada kesempatan yang ada di depan matanya, maka kesempatan kesuksesan itu tidak akan pernah ia dapatkan selamanya. Boleh jadi Zane masih sebuah toko sepeda kecil di kota Branford.

Al Amin

Suatu ketika seorang gadis kecil bersama dengan ayahnya melintasi jembatan tua yang tidak terawat baik. Jembatan itu penuh dengan lubang menganga, dan talinya pun terlihat ada yang putus. Pertanda kalau kurang diperhatikan oleh yang empunya. Tampak suasana takut dan cemas di raut muka sang ayah dan gadis kecil ketika hendak menyeberanginya. Sambil berbicara pelan kepada putri yang ia cintainya. "Sayang, tolong pegang tangan ayah kuat-kuat agar kamu tidak jatuh ke dalam sungai."

Mendengar permintaan ayahnya si gadis kecil berkata sedikit keras, "Tidak ayah! Ayah yang harus pegang tanganku."

"Apa bedanya?" tanya laki-laki itu sedikit bingung.

"Ada perbedaan besar, yah," balas si gadis kecil.

"Jika aku memegang tangan ayah dan sesuatu terjadi padaku, kemungkinan aku biarkan tangan ayah lepas dariku. Tetapi jika ayah memegang tanganku, aku yakin  apapun yang terjadi, ayah tidak akan pernah membiarkan tanganku terlepas," jelasnya.

Gadis kecil ini menyandarkan keselamatan jiwanya kepada ayahnya. Ia yakin dan percaya betul bahwa ayahnya akan menyelamatkannya walau rintangan berat menghadangnya.

Pembaca, pernahkan anda membayangkan begitu besar kepercayaan anak-anak kita kepada kehadiran sang ayah?

Pada awalnya mereka mengharapkan untuk tidak pernah lepas dari genggaman sang ayah dalam segala hal. Termasuk dalam pendidikan moral dan agamanya. Mereka begitu menyenangi kehadiran sang ayah. Kehadirannya memunculkan harapan, dan kepergiannya memunculkan kekhawatiran. Mereka dulu terlihat begitu senang dengan sapa dan teguran yang ayah berikan. Bahkan mereka mencarinya ketika sang ayah tidak berada di sampingnya.

Hanya karena kesalahan yang diciptakan sang ayah-lah yang menjadikan mereka terkadang lepas dari genggamannya. Mereka lupa dengan prinsip yang ayah miliki, karena sang ayah tidak pernah mengajarkannya kembali. Mereka lupa dengan amal-amal sholeh yang harus dilakukannya, karena ayahnya tidak memegang kuat-kuat jalan yang harus ditempuhnya. Mereka tidak percaya kepada ayahnya lagi karena ia tidak memupuk dan menjaga kepercayaan yang diberikannya oleh anak-anaknya.

Dan akhirnya kepercayaan sang anak kepada ayahnya pun sirna. Apa yang keluar dari ucapannya tidak digubris oleh anak-anaknya kembali. Bahkan ketika ajal menjemputnya, jasad sang ayah yang sudah terbujur kaku pun menjadi sesuatu yang mengerikan bagi anak-anaknya.

Sebuah pepatah mengatakan, “Trust is like a mirror, once its BROKEN you can never look at it the same again.” (Kepercayaan seperti sehelai cermin, satu kalinya RUSAK anda tidak pernah dapat memandangnya yang sama lagi).

Pernah suatu ketika terjadi hal yang memprihatinkan di keluarga Muslim di Amerika. Mereka datang ke Amerika dengan harapan besar. Suami dan istri ini menjadi Muslim sejak lahir. Kehidupan dan pendidikan bagi anak-anaknya yang lebih baik. Kehidupan yang lebih manusiawi. Mereka mempunyai dua orang anak. Beberapa tahun kemudian, ketika anak-anaknya beranjak dewasa, ayahnya meninggal dunia karena sakit keras yang sudah lama dideritanya.

Ketika giliran memandikan jenazahnya, tidak ada satu pun anak-anaknya yang berani melakukannya. Dan ketika giliran menshalatkannya pun, mereka tidak paham bagaimana harus memulainya. Parahnya lagi, mereka pun sudah lupa bagaimana cara mengambil air wudhu.

“How should I do it?”, ujarnya dengan wajah bingung. Urutan dan aturan wudhunya tidak dapat ia lakukan dengan baik.

Peristiwa ini adalah salah satu bukti apa yang disebutkan di dalam hadist Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, "Setiap bayi terlahir dalam keadaan fitrah (Muslim muwahhid), namun kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nashrani atau Majusi. Sebagaimana seekor hewan melahirkan anaknya dalam keadaan sempurna, adakah kamu dapati cacat padanya."(Muttafaq 'alaih)

Kembali ke tema kata “kepercayaan”, tidak ada keberhasilan tanpa kepercayaan. Itulah prinsip hidup dari sebuah kesuksesan. Banyak sekali cerita kesuksesan orang-orang besar karena adanya kepercayaan. Bahkan salah satu kunci kesuksesan dakwah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam adalah karena sebutan Al-Amin (orang yang dapat dipercaya) sejak sebelum kenabian dari semua orang. Dengan kepercayaan

inilah, dahulu Rasulullah hallallahu 'Alaihi wa Sallam menyulam kesuksesan, dan merajut keberhasilan.
Kepercayaan adalah salah satu bentuk nyata dari keberhasilan sebuah positif thingking seseorang. Positif thinking adalah sebuah upaya untuk melihat sesuatu dari sisi positifnya. Segala sesuatu pasti tidak sempurna, kecuali Allah Subhanhu Wa Ta'ala.

Oleh karena itu kalau kita terus mencari ketidak sempurnaan akan sesuatu, maka pasti akan kita dapatkan.  Akan tetapi mencari ketidak sempurnaan adalah salah satu jalan kita mendapatkan kerugian dan kegagalan. Dan perilaku ini menjadi salah satu penyebab hilangnya sebuah kesempatan besar.

Begitu pula dengan kepercayaan yang dimiliki oleh seorang ayah dari anak-anaknya. Ketika mereka masih kecil, mereka percaya bahwa kekuatan otot ayahnya akan mampu menopang beban berat yang dimilikinya. Mereka percaya bahwa ayahnya adalah sosok yang mampu membimbing jalan hidupnya ke arah yang benar dan tepat. Sehingga ketika anak-anak diajak ke suatu arah kebaikan, mereka tetap percaya kepadanya. Tidak bisa dipungkiri kepercayaan selalu membutuhkan patner. Dan patner sang ayah adalah anak-anaknya.

Membangun kepercayaan perlu tumpukan kebaikan. Bahkan terkadang harus merasakan penderitaan  dan ketidak berdayaan. Dan tidak jarang harus berhadapan dengan ide-ide orang lain yang menentangnya. Berhadapan dengan tarikan-tarikan yang lebih menarik bagi anak-anak dari pada keinginan baik ayahnya. Membangun kepercayaan berarti bersiap untuk berkorban. Berat memang, tapi kita perlu kepercayaan untuk menegakkan kehidupan. Ada pepatah yang dapat mengingatkan kita akan sifat kepercayaan ini, “Trust is the hardest thing to find and the easiest to lose.” (kepercayaan adalah hal yang paling sukar didapat namun paling mudah hilang).

Ketika kepercayaan anak-anak ada di pundak sang ayah, maka tidak mustahil ia akan mudah menasehatinya seperti ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menasehati Ibnu Abbas RA ketika kecil. Pintu nasehat yang dimiliki oleh anak-anaknya akan terbuka lebar bagi apapun yang datang dari ayahnya.

Dari sahabat Ibnu Abbas ia berkata: Suatu hari aku membonceng Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, maka beliau bersabda kepadaku: ”Wahai nak, sesungguhnya aku akan ajarkan kepadamu beberapa kalimat: Jagalah (syariat) Allah, niscaya Allah akan menjagamu, jagalah (syariat) Allah, niscaya engkau akan dapatkan (pertolongan/perlindungan) Allah senantiasa di hadapanmu. Bila engkau meminta (sesuatu) maka mintalah kepada Allah, bila engkau memohon pertolongan, maka mohonlah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah (yakinilah) bahwa umat manusia seandainya bersekongkol untuk memberimu suatu manfaat, niscaya mereka tidak akan dapat memberimu manfaat melainkan dengan sesuatu yang telah Allah tuliskan untukmu, dan seandainya mereka bersekongkol untuk mencelakakanmu, niscaya mereka tidak akan mampu mencelakakanmu selain dengan suatu hal yang telah Allah tuliskan atasmu. Al Qalam (pencatat takdir) telah diangkat, dan lembaran-lembaran telah kering.” (Riwayat Ahmad, dan At Tirmizy)

Nah, jika kita ingin sukses sebagai ayah, mulailah dengan memperhatikan dan membangun satu kata, yaitu "kepercayaan" pada mereka. Silakan mencobanya.

Yusuf Muhammad Efendy, tinggal di San Francisco, Amerika
Dikutip dan Update Judul oleh situs Dakwah Syariah
Rep: Administrator
Red: Cholis Akbar


Rating: 5
Berikan Ilmu Bermanfaat Pada Anak Kita

Berikan Ilmu Bermanfaat Pada Anak Kita

Jangan Durhakai Anakmu!." Pernah suatu ketika ada seorang bapak yang mengeluh kepada Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab ra mengenai anaknya yang durhaka. Orang itu mengatakan bahwa putranya selalu berkata kasar kepadanya dan sering kali memukulnya. Maka, Umar pun memanggil anak itu dan memarahinya.

“Celaka engkau! Tidakkah engkau tahu bahwa durhaka kepada orangtua adalah dosa besar yang mengundang murka Allah? Bentak Umar.

“Tunggu dulu, wahai Amirul Mukminin. Jangan tergesa-gesa mengadiliku. Jikalau memang seorang ayah memiliki hak terhadap anaknya, bukankah si anak juga punya hak terhadap ayahnya?” Tanya si anak.

“Benar,” jawab Umar.

“Lantas, apa hak anak terhadap ayahnya tadi?” lanjut si Anak.

“Ada tiga,” jawab Umar. “Pertama, hendaklah ia memilih calon ibu yang baik untuk putreanya. Kedua, hendaklah ia menamainya dengan nama yang baik. Dan ketiga, hendaklah ia mengajarinya al-Quran.”

Maka, si Anak mengatakan, “Ketahuilah wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ayahku tidak pernah melakukan satu pun dari tiga hal tersebut. Ia tidak memilih calon ibu yang baik bagiku; ibuku adalah hamba sahaya jelek berkulit hitam yang dibelinya dari pasar seharga dua dirham, lalu malamnya ia gauli sehingga ia hamil mengandungku. Setelah aku lahir pun ayah menamaiku Ju’al,  dan ia tidak pernah mengajariku menghafal al-Quran walau seayat.”

Ju’al adalah sejenis kumbang yang selalu bergumul pada kotoran hewan. Bisa juga diartikan seorang yang berkulit hitam dan berparas jelek atau orang yang emosional. (Lihat Al-Qamus Al-Muhith, hal. 977).

“Pergi sana! Kaulah yang mendurhakainya sewaktu kecil, pantas kalau ia durhaka kepadamu sekarang,” bentak Umar kepada si Ayah. (Disadur dari kuthbah Syaikh Dr. Muhammad Al-Arifi, Mas’uliyatur Rajul fil Usrah. Lihat Ibunda Para Ulama, Sufyan bin Fuad Baswedan, hal. 11-12.)

Pembaca budiman, satu hal yang perlu kita renungkan dari kisah di atas adalah; cobalah untuk menengok diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain. Bisa jadi, ada sesuatu yang salah pada diri kita.

Piilihkan Calon Ibu yang Shalihah

Hendaklah setiap muslim memilihkan bagi anak-anaknya seorang ibu muslimah yang mengenal hak Rabbnya, hak suami dan hak anak. Hendaklah ia memilihkan ibu yang mengenal tugas hidupnya. Seorang ibu yang mengenal posisinya di dalam hidup ini. Seorang ibu yang memiliki rasa kecemburuan terhadap agama dan sunnah Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.

Hal ini karena seorang ibu adalah madrasah yang akan meluluskan anak-anak Anda. Apabila ibu tersebut baik, maka ia akan menyusukan kebaikan dan ketakwaan. Namun bila ibu tersebut buruk, maka ia akan memberikan keburukan juga. Sebagai contoh nyata, Zubair bin ‘Awam. Ia merupakan hasil dari didikan ibundanya, Shafiyah binti Abdul Muththalib, sehingga ia pun tumbuh di atas tabiat dan budi pekertinya. Di kemudian hari, ia pun memilihkan calon ibu bagi anak-anaknya seorang wanita mulia, Asma binti Abu Bakar. Sehingga, ia pun melahirkan generasi orang-orang yang memiliki keagungan, Abdullah, Al-Mundzir dan ‘Urwah.

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu dididik oleh dua wanita mulia; di waktu kecil ia bersama ibunya, Fathimah binti Asad dan ketika menginjak remaja ia bersama Khadijah binti Khuwailid, istri Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.

Abdullah bin Ja’far adalah penghulunya bangsa Arab yang paling dermawan sekaligus pemuda Arab yang cerdas. Ayahnya meninggal ketika ia masih kecil. Maka ibunya, Asma binti ‘Umais berusaha untuk membesarkannya. Ia adalah sosok ibu yang memiliki keutamaan dan kecerdasan yang luar biasa.

Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah adalah orang yang pandai dan cemerlang. Ia telah mewarisi dari ibunya, Hindun binti ‘Utbah sesuatu yang tidak ia warisi dari ayahnya, Abu Sufyan. Hindun berkata ketika anaknya, Mu’awiyah berada di dalam dekapannya, “Apabila Mu’awiyah hidup dalam umur panjang, maka ia akan memimpin kaumnya.” Ia juga bertutur, “Celakalah kaumnya apabila tidak dipimpin seseorang dari kaumnya.” Kelak, bila Mu’awiyah -radhiyallahu 'anhu- memiliki kebanggaan dengan kemampuan dan keahliannya dalam berpendapat, maka ia selalu menisbatkannya kepada ibunya sehingga akan mengetarkan pendengaran musuh-musuhnya, seraya berkata, “Saya adalah anak dari Hindun.”

Abu Hafsh Umar bin Abdul Aziz termasuk raja yang paling menakjubkan, adil dan mulia. Ibunya, Ummu ‘Ashim binti ‘Ashim bin Umar bin Khaththab. Ia adalah orang yang paling sempurna di zamannya dan yang paling mulia. Ibunya adalah seorang wanita yang dinikahkah oleh Umar dengan anaknya, ‘Ashim. Tidak ada yang dibanggakan darinya baik dari segi harta maupun nasab kecuali perkataannya yang jujur ketika menesehati ibunya. Dialah yang menurunkan akhlak kakeknya Al-Faruq kepada Umar bin Abdul Aziz.

Pilihkan Nama yang Terbaik

Hendaklah seorang muslim memilih nama-nama yang terbaik dan terindah sebagai bentuk pelaksanaan atas apa yang telah ditunjukkan dan dianjurkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Dari Abu Darda’ radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّكُم تُدْعَونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِأَسْمَائِكُم وَأَسْمَاءِ آبَائِكُم فأَحْسِنُوا أَسْمَاءَكُم

“Sesungguhnya kalian akan dipanggil di hari Kiamat dengan nama-nama anak kalian dan dengan nama ayah-ayah kalian. Maka perbaguslah nama kalian.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad hasan)

Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ أَحَبَّ أَسْمَائِكُمْ إِلَى اللّهِ عَبْدُ اللّهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَـنِ

“Sesungguhnya nama-nama kalian yang paling disukai oleh Allah Subhanhu Wa Ta'ala adalah Abdullah dan Abdurrahman.” (Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya).

Ajarkan al-Quran kepada Anak

Dalam al-Quran terkandung sejumlah Tarbiyah Imaniyah. Yang dimaksud Tarbiyah Imaniyah adalah mengikat si kecil sejak ketergantungannya kepada pilar-pilar keimanan, membiasakannya sejak ia memahami rukun-rukun Islam, serta mengajarkannya pokok-pokok syariat Islam yang mulia semenjak masa tamyiz (mampu membedakan mana yang hak dan mana yang bathil)

Mengajarkannya pilar-pilar keimanan, seperti; iman kepada Allah Subhaanahu wa ta'ala, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan iman kepada para Rasul-Nya, mengimani adanya pertanyaan dua malaikat, adzab dan nikmat kubur, pembangkitan, surga dan neraka dan semua perkara-perkara yang ghaib.
Mengajarkan rukun-rukun Islam, seperti; shalat, puasa, zakat dan haji. Mengajarkannya dasar-dasar syariat Islam, seperti; peradilan Islam, hukum-hukum Islam, undang-undang dan peraturan dalam Islam.

Dari sinilah akan lahir beberapa hal, di antaranya:

Pertama, Hubbullah (cinta kepada Allah ta’ala). Yaitu dengan menunjukkan nikmat-nikmat Allah yang tak terhitung jumlahnya kepada si kecil. Misalnya, bila si ayah duduk-duduk bersama si kecil ketika sedang makan seraya mengatakan kepadanya: ‘Nak, tahukah engkau siapakah yang telah memberikan makanan ini kepada kita?’

Si kecil akan menjawab: ‘Siapakah wahai ayah?’

Si ayah bertutur: ‘Allah’.

Si kecil balik bertanya: ‘Terus, bagaimana ayah?’

Maka si ayah menjelaskan: ‘Nak, karena Allah yang telah memberi rizqi kepada kita dan kepada semua manusia, maka bukankah Ilah ini yang berhak engkau cintai?’
Si kecil akan menjawab: ‘Tentu, ayah’

Seandainya si kecil sedang sakit, maka orangtua akan membiasakannya untuk selalu berdoa, seraya berkata: ‘Nak berdoalah kepada Allah semoga menyembuhkanmu, sebab Dia-lah yang memiliki penyembuhan’, lalu mendatangkan seorang dokter dan mengatakan: ‘Dokter ini hanya sekedar perantara saja, namun kesembuhan hanya datang dari Allah’. Apabila Dia mentaqdirkan kesembuhan bagi si kecil, maka orantg tua mengatakan: ‘Nak, bersyukurlah kepada Allah’, lalu menjelaskan kepadanya nikmat-nikmat Allah, sehingga si kecil akan mencintai-Nya, sebab Dia-lah yang telah mengaruniakan kesembuhan baginya.

Demikian seterusnya dalam setiap kesempatan dan dalam setiap mendapatkan kenikmatan hendaklah engkau selalu mengaitkannya kepada Yang Memberi nikmat, sehingga dalam hati si kecil tertanam  rasa cinta kepada Allah.

Kedua, Hubburrasul (cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ). Yaitu dengan mengajarkan kepada si kecil sikap-sikap Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, keberanian, konsisten, kelemah lembutan, kemurahan, kesabaran dan keihklasan beliau. Dengan hal ini, seorang anak akan mencintai Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.

Ketiga, Muraqabatullah (menumbuhkan sifat merasa terus diawasi oleh Allah Tabaaraka wa ta’ala). Yaitu dengan mengajarkan kepada si kecil bahwa Allah selalu mengetahui dirinya dalam setiap gerakan dan diamnya, sehingga si kecil akan merasa terus diawasi oleh Allah, takut kepada Allah dan ikhlas dalam setiap amalannya hanya mencari keridhaan Allah.

Keempat, Mengajarkan kepada si kecil hukum-hukum halal dan haram. Hendaklah orangtua menjelaskan kepada si kecil tentang hal-hal yang haram sehingga ia bisa menjauhinya, hal-hal yang halal dan mubah agar ia bisa melakukannya serta menjelaskan adab-adan islami supaya ia bisa melaksanakannya.

Semoga kita senantiasa dibimbing oleh Allah agar mampu memenuhi hakhak anak, sehingga kita tidak sampai menzhaliminya, apalagi menyandang gelar orangtua yang durhaka kepada anaknya.

Abu Hudzaifah, Lc. Penulis seorang penerjemah dan penulis buku-buku islami
Dikutip dan Update Judul oleh situs Dakwah Syariah
Red: Panji Islam

Rating: 5
Mengajarkan Anak-anak Kita Berburu Ilmu

Mengajarkan Anak-anak Kita Berburu Ilmu

Ajarkan Mereka Berburu Ilmu, Bukan Angka!." Hampir bisa dipastikan, sistem pendidikan modern yang menjadikan angka-angka (nilai-nilai ujian) sebagai standar kesuksesan dalam evaluasi akhir proses pembelajaran bagi para siswa-siswi, sedikit-banyak telah menggeser motivasi para peserta didik dalam menuntut ilmu. Mereka tidak lagi memahami akan urgensi ilmu bagi kehidupan mereka di masa mendatang, namun, lebih disibukkan untuk berburu angka sebesar-besarnya. Karenanya, nilai-nilai norma pun mereka langgar, dengan target tujuan tercacai (mencontek).

Setali tiga uang, para wali murid pun mengalami hal serupa. Tidak sedikit, di antara mereka mendorong buah hatinya untuk giat sekolah namun dengan motivasi yang keliru. Banyak kita temukan orangtua mengatakan, “Belajar yang rajin, biar nanti hasil ulangannya bagus, dan nanti juara satu.”

Tentu bisa dimaklumi jika banyak kasus dikemudian hari adanya melakukan kecurangan-kecurangan demi menggapai target yang telah dibebankan olehnya, baik itu oleh pemerintah sendiri, guru, ataupun orangtuanya.

Peristiwa yang menghebohkan dunia pendidikkan di Jawa Timur, khususnya Surabaya, beberapa waktu lalu, terkait dengan terbongkarnya kasus sontek-menyontek satu sekolahan pada pelaksanaan Ujian Nasional (UN) di salah satu SD di kota Pahlawan tersebut, adalah sedikit bukti betapa motivasi (niat) yang keliru dalam menuntut ilmu sangat mempengaruhi perilaku setiap oknum yang terlibat dalam proses pendidikkan.

Sebagaimana diberitakan oleh media massa, seorang wali kelas, tega meminta muridnya untuk berbuat culas, demi ‘kesuksesan’ peserta didiknya yang lain dalam UN. Sungguh memprihatinkan, seorang pendidik yang seharusnya mengajarkan kejujuran demi kebaikkan diri murid, bangsa, dan Negara, justru mendoktrinnya dengan nilai-nilai negatif (curang), demi tercapainya target angka yang menjadi standar kelulusan. Di sisi lain, ini bisa dimaklumi,karena apa yang dilakukan para guru, akibat dari turunan dari atasnya (sistem yang ada).

Kalau sudah begini, lalu siapa yang harus disalahkan? Tidak mudah untuk menentukan kambing hitamnya. Bagaimana pun juga, semua ini berawal dari orientasi yang keliru, yang menjadikan angka-angka sebagai perburuan utama peserta didik.

Ilmu itu Penuntun

 Suatu hari, Imam Syafi’I mengadu kepada salah satu gurunya, Waqi’, bahwa dia tengah mengalami kesukaran dalam menghafal. Mendengar pengakuan muridnya, sang-guru menasehati agar imam syafi’i menjauhi kemaksyiatan, karena sesungguhnya ilmu adalah cahaya (petunjuk Allah) yang tidak akan pernah diberikan kepada mereka yang bermaksiat.

Beliau (Waqi’) berujar, “fainni ‘ilma nuurun wa nuruullahi laa yuhdaa li al-‘asyi” (Sesungguhnya ilmu itu adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak diberikan kepada mereka yang bermaksiat).

Jadi, hakikat ilmu adalah penuntun yang akan mengarahkan pemiliknya kepada kebaikkan. Senada dengan ini, Ali bin Abi Tholib pun telah berujar, bahwa perbedaan antara ilmu dan harta itu ada beberapa macam, dan salah satunya, ilmu itu menjaga si pemiliknya –dari keburukkan-, sedangkan harta itu harus dijaga –agar tidak dicuri orang-.

Lebih tinggi lagi, ilmu itu seharusnya mampu mengenalkan si-pemiliknya kepada Allah, Sang-Pemberi ilmu lebih dalam lagi. Sehingga, dengan ilmunya tersebut dia semakin taat kepada Allah, dan takut untuk melanggar perintah-perintah-Nya.

Firman Allah, وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama…”. (QS: Fathir: 28).

Dan inilah sejatinya tujuan utama dari proses belajar-mengajar seorang mukmin. Yaitu mampu menghantarkan dirinya kepada ma’rifatullah. Selain bertujuan demikian, berarti dia telah keliru dalam melangkah.

Turunnya ayat pertama surat al-‘Alaq yang berisi perintah membaca (menuntut ilmu) ‘iqra’ (bacalah), itu bergandengan langsung dengan kalimat setelahnya ‘bismi rabbika alladzi khalaq’ (dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan), tanpa ada pemisah sedikit pun. Dan ini, menurut Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, dalam suatu diskusi, bahwa dalam mengkaji suatu ilmu itu harus lurus niatnya, lillahi ta’ala, yang bertujuan untuk ma’rifat kepada-Nya. Dan keduanya, tidak bisa dipisahkan. Setiap kali kita ber-iqra’, maka itu harus ber-bismi rabbika.

Jadi jelas, seorang mukmin, ketika menuntut ilmu, bukan sekedar berburu angka-angka atau pun materi. Dan barangsiapa yang melakukan demikian, maka sungguh dia merupakan pribadi yang lebih buas dari pada singa yang kelaparan.

Kenapa bisa demikian? Karena dengan ilmu yang dia peroleh dia akan membuat kerusakkan, kedzoliman, kesemena-menaan di muka bumi ini. Dia akan mengancam keselamatan siapa saja yang dia anggap sebagai penghalang dalam meraih missinya.

Kalau dia memiliki jabatan, maka jabatannya akan disalahgunakan. Kalau dia memiliki kekuasaan, maka kekuasaannya akan dijadikan media pelicin jalan menggapai impiannya.

Boleh jadi, potret pemimpin negeri ini yang menjadikaan kekuasaan sebagai alat pengeruk uang rakyat, niat mereka menjabat atau mencalonkan diri sebagai pejabat, bukan bismirabbik (atas nama Allah Subhanhu Wa Ta'ala), tapi bismilmaali (atas nama harta/pekerjaan).

Dengan Cara Mulia

Karena ilmu itu adalah sesuatu yang suci, maka cara menggapainya pun harus dengan cara-cara yang mulia pula. Setidaknya terdapat enam perkara yang harus dimiliki oleh seorang penuntut ilmu, yang menghendaki kemudahan dan kebarokahan. Enam perkara tersebut ialah; kecerdasan, ambisius, uang, menghormati guru, dan waktu yang tidak singkat.

Kesimpulannya, membenahi niat (motivasi) dalam menuntut ilmu, itu sangat penting bagi seorang pelajar, guru, dan wali murid. Ketika terjadi disorientasi, maka, alih-alih anak tersebut akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat, tapi bisa jadi, dia justru terjerumus dalam keburukkan karena tekanan-tekanan eksternal yang harus ia penuhi. Tahun ajaran baru telah di depan mata. Mari kita perbaharui niat menyekolahkan anak-anak kita untuk menuntut ilmu, bukan memburu angka-angka. Dengan demikian, ilmu yang bermanfaat akan mereka peroleh, dan angka-angka pun akan mereka dapatkan.

“Sesungguhnya semua amalan itu bergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang hanya akan memperoleh (balasan pahala) sesuai dengan yang ia niatkan. Oleh karena itu, barang siapa yang hijrahnya menuju kepada Allah dan rosul-Nya, maka berarti hijrahnya menuju Allah dan rosul-Nya, dan barang siapa yang hijrohnya karena dunia yang akan diperolehnya atau perempuan yang akan dinikahinya, maka hijrohnya itu menuju kepada apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Wallah ‘alam bis-Shawab.*/Robinsah
Dikutip dan Update Judul oleh situs Dakwah Syariah
Red: Cholis Akbar


Rating: 5