Tampilkan postingan dengan label Keluarga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Keluarga. Tampilkan semua postingan
Klasifikasi Tentang Kehidupan

Klasifikasi Tentang Kehidupan

Foto ervakurniawan
Klasifikasi dalam Kehidupan ”Mama dan papa mau menjamu tamu dari luar kota malam ini, Diandra mau ikut?” tanya seorang ibu pada anak perempuan tunggalnya yang berusia sembilan tahun. ”Mama, yang makan-makan itu kan semuanya orang dewasa, tidak ada anak kecilnya. Nanti bicaraannya untuk orang dewasa, aku tidak akan merasa nyaman. Aku di rumah saja,” ujar sang anak.

Di sebuah toko, seorang ibu bertanya pada anaknya, ”Aisyah, ini ada mukena bagus dan lucu. Lihat motifnya bagus pakai sulam pita dan bisa dilipat sampai kecil. Mau beli ini untuk dipakai di sekolahmu?” tanya seorang ibu sambil menyerahkan sebuah mukena yang unik.

”Mama, lokerku di sekolah cukup besar, mukenaku sekarang muat di simpan di sana. Cara melipat mukena ini susah. Ini cocoknya untuk dibawa pergi-pergi,” ujar sang anak yang masih bersekolah di sekolah dasar.

Dua dialog di atas menunjukkan bahwa anak-anak tersebut sudah memahami apa yang dinamakan klasifikasi atau pengelompokan. Pada percakapan pertama tampak bahwa meski si anak adalah anak tunggal yang umumnya manja, ia tidak serta-merta ikut pada acara orang tuanya untuk makan-makan. Ia paham bahwa acara orang dewasa berbeda dengan acara untuk anak.  Ia tahu bahwa baginya lebih baik tinggal di rumah saja.

Pada dialog kedua tampak bahwa meski pada umumnya anak -bahkan orang dewasa sekalipun- senang memiliki barang baru, namun anak tersebut tidak begitu saja menerima tawaran mukena baru. Ia mampu mengklasifikasikan mukena untuk di sekolah dan mana untuk dibawa pergi, sehingga ia tetap memilih mukena lama untuk digunakan di sekolahnya.

Klasifikasi akan memudahkan hidup seseorang. Contoh kecil menata lemari pakaian, misalnya. Orang yang meletakan pakaian dengan klasifikasi yang baik maka akan mudah mengambil barang yang dibutuhkan. Namun sebaliknya, jika lemari tidak diklasifikasi, semua jenis pakaian disimpan begitu saja maka sangat sulit untuk mengambil sesuatu yang diperlukan dalam waktu cepat. Saat membutuhkan dasi, yang terambil bisa kaos kaki. Saat butuh baju pesta, yang didapat malah pakaian rumah.

Kemampuan mengklasifikasi tidak tumbuh begitu saja, namun perlu dibangun sejak bayi. Anak di usia dini harus sudah mulai dibangun kemampuan klasifikasi dalam hal yang kongkrit berdasarkan warna, bentuk, dan ukuran. Hal ini bisa dilatih melalui bermain balok, meronce, dan lain-lain. Sangat penting untuk melatih anak membereskan mainan berdasarkan jenis, ukuran, bentuk, atau warna. Latihan klasifikasi juga bisa dibiasakan dalam kegiatan sehari-hari seperti meletakan benda pada tempatnya dan mengelompokannya.

Jika anak sudah mampu mengklasifikasi benda kongkrit maka ia akan mampu mengklasifikasi pada hal yang abstrak. Dengan demikian saat dewasa ia mampu mengklasifikasi banyak hal, salah satunya ia akan mampu memisahkan mana masalah pribadi, keluarga, dan kantor.

Kemampuan mengklasifikasi bukan hal yang sepele, namun sesungguhnya sangat penting. Maraknya korupsi di negara ini dikarenakan lemahnya kemampuan klasifikasi. Banyak orang yang tak memiliki kemampuan yang kuat dalam mengklasifikasi mana uang pribadi, uang kantor, atau uang negara. Ia menggunakan uang yang ada sesukanya.

Hampir semua aspek kehidupan menuntut kemampuan klasifikasi. Ajaran Islam melarang manusia untuk mencampuradukan antara yang haq dan bathil. Untuk selamat, manusia harus memiliki kemampuan mengklasifikasi mana perintah Allah dan mana larangan-Nya. Bagaimana mungkin seseorang dapat mengklasifikasi hal yang abstrak jika klasifikasi dalam hal kongkrit tidak terbangun baik sejak dini.*Penulis buku (suara Hidayatullah)

Oleh Ida S. Widayanti
Dikutip dan Update Judul oleh situs Dakwah Syariah


Rating: 5
Istri Merupakan Penyempurna Suami

Istri Merupakan Penyempurna Suami


بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين, والصلاة والسلام على أشرف المرسلين. أما بعد :

Dalam kehidupan berkeluarga, interaksi antara suami dan istri sangat menentukan suasana rumah tangga. kasih sayang (mawaddah dan rahmah) adalah suasana yang di impikan oleh setiap keluarga. akan tetapi masalah yang muncul dalam keluarga antara suami dan istri sering mengancam hubungan tersebut dan dapat merubah suasana rumah tangga.

Selain setiap suami dan istri harus mengetahui posisi dan tugasnya masing-masing, suami sebagai kepala rumah tangga harus bertanggung jawab atas semua yang terjadi dalam keluarga. jika masalah yang di sebabkan oleh suami maka dia lah yang salah, dan jika masalah itu di sebabkan oleh istri, maka suami juga yang salah.

Karena suami adalah pemimpin keluarga, penanggung jawab keluarga, bertanggung jawab atas semua kebutuhan keluarga termasuk kebutuhan istri dan anak-anaknya. menafkahi baik lahir maupun batin, juga bertanggung jawab atas pendidikan istri. dan istri juga tidak boleh merasa sudah cukup tahu akan tugasnya dan tidak ingin di atur.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mewasiatkan kepada para suami dalam mendidik istri harus selalu di hadapi dengan kesabaran, dan mendidik mereka dengan cara yang baik. karena wanita di ciptakan dari tulang rusuk, dan bagian yang bengkok dari tulang rusuk tersebut adalah pada ujungnya. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :

وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا

Artinya : "Dan berwasiatlah kepada para wanita dengan baik, karena sesungguhnya mereka di ciptakan dari tulang rusuk, dan bagian yang bengkok dari tulang rusuk adalah atasnya, jika engkau memaksa meluruskannya maka dia akan patah, dan jika engkau biarkan maka dia akan tetap bengkok. maka berwasiatlah kepada para wanita dengan baik." (HR Bukhori dan Muslim)

Dengan ini, maka istri adalah penyempurna bagi suami. istri bagaikan bagian tubuh yang dahulu hilang dan kini telah di temukan kembali. bagian hidup dan dahulu kurang dan kini telah lengkap kembali. menjaga istri dengan mendidiknya dengan cara yang baik, dengan begitu hidup kita akan terjaga.

http://www.artikelislami.com/
Dikutip dan Update Judul oleh situs Dakwah Syariah


Rating: 5
Bahagianya Bila Terus Bahagiakan Istri

Bahagianya Bila Terus Bahagiakan Istri

Rasa Bahagia, Jika Bisa Membahagiakan Istri." Banyak pasangan bertanya, bagaiamana tips agar kita dapat membahagiakan pasangan kita? Kita tidak akan bahagia selagi orang di sisi kita tidak ikut bahagia. Itulah kuncinya. Impilikasinya, agar kita bahagia, carilah orang yang paling dekat dengan kita dan bahagiaakanlah mereka. Setelah itu, barulah kita akan merasa bahagia. Sesungguhnya bahagia itu bukan "benda" yang akan berkurang bila diberikan, tetapi ia seumpama cahaya yang semakin "diberikan" akan bertambah sinar terangnya. Ada kata orang bijak pandai, “dengan menyalakan lilin ke orang lain, lilin kita tidak akan padam... tetapi kita akan mendapat lebih banyak cahayanya.”

Siapakah orang –orang terdekat dan yang paling layak kita berikan kebahagiaan? Selain kedua ibu-bapa, maka para suami harus membahagiaan istrinya. Karena ialah yang paling utama harus mendapatkan kebahagiaan itu. Jika istri kita tidak merasa bahagia, jangan harap kita dapat membahagiakan orang lain. Dan paling penting, jika istri sudah menderita itu juga pertanda kita juga akan ikut menderita. Ingat, kita tidak akan bahagia selagi orang di sisi kita tidak ikut menikmati kebahagiaan.

Apakah langkah pertama untuk membahagiakan istri? Pertama, hargailah kehadirannya. Rasakan benar-benar bahwa si dia adalah anugerah Allah yang paling berharga. Jodoh kita itu merupakan anugrah yang telah dikirim Allah khusus sebagai teman hidup kita sepanjang masa ketika hidup di dunia ini.  Karena itu, jangan pernah sia-siakan ia.

Ingatlah bahwa yang paling berharga di dalam rumah kita bukannya perabot, bukan peralatan eletronik, komputer ataupun barang-barang antik yang lain. Yang paling berharga ialah manusianya, istri atau suami kita itu. Itulah" modal insan" yang sewajarnya lebih kita hargai daripada segala-benda yang mudah rusak itu. Masalahnya, benarkah kita telah menghargai istri melebihi barang-barang berharga di rumah kita?

Sayang sekali, kadang lain difikiran lain pula yang dirasa. Coba renungkan, berapa banyak para suami yang lebih prihatin keadaan kendaraan mewahnya atau barang-barang berharganya dibanding perasaan istrinya. Batuk istri yang berpanjangan seolah tidak ikut ia (suami) rasakan, dibanding  "batuk" kendaraan pribadinya. Jika mobilnya suaranya aneh, ada sedikit kerusakan, para suami cepat-cepat membawanya ke tempat resvice mobil. Sementara jika sakit istrinya, ia tak segera buru-buru mengantarkan  ke dokter atau rumah sakit agar segera mendapatkan perawatan.

Bila kendaraan terdengar/terasa sedikit 'aneh', cepat-cepat dibawa ke bengkel, namun jika istrinya yang batuk-batuk, malah dibiarkan. Alasannya, itu batuk biasa,  atau tanda badan sudah tua.

Banyak pria memilih menjadi  'workoholic'. Ia bekerja siang, malam, tak kenal cuti dan istirahat. Bila ditanya mengapa ia begitu sibuk? Dia menjawab, “ini demi anak dan istri.” Padahal, ketika pulang ke rumah, waktunya juga bukan untuk anak dan istrinya. Yang ada, ia justru mengabaikan istri.

Ada suami yang hobi memancing setiap akhir pekan. Sementara di saat yang sama, ia membiarkan anak-anak dan istrinya kesepian di rumah. Padahal saat itulah waktu luang yang mereka tunggu selama ini agar bisa berasama-sama setelah semua harinya dihabiskan di kantor dan tempat kerja.

Di sekitar kita banyak orang aneh. Ada yang mencari duit sampai tidak sempat menikmati duit. Bila duit sudah terkumpul, kesehatan sudah tergadai, rumah tangga sudah berkecai, istri malah ikut terabai.

Jadi bagaimana kita dapat mengharagai pasangan kita? Insya-Allah, bila ada kemauan pasti saja ada jalan. Dunia akan menyediakan jalan kepada orang yang bersungguh-sungguh. Kata orang, kasih, cinta dan sayang seumpama aliran air, senantiasa tahu ke arah mana ia hendak mengalir. Mulakan dengan memandangnya dengan perasaan kasih, mungkin wajah istri kita sudah berkerut, tetapi rasakanlah mungkin separuh "kerutan" itu karena memikirkan kesusahan bersama kita. Mungkin uban telah penuh di kepalanya, tetapi uban itu "tanda bukti" pengorbanannya dalam membina rumah tangga bersama kita. Itulah pandangan mata hati namanya.

Kalau dulu semasa awal bercinta, pandangan kita dari mata turun ke hati. Tetapi kini, setelah lama bersamanya, pandangan kita mesti lebih murni. Tidak dari mata turun ke hati lagi, tetapi sudah dari hati "turun" ke mata. Jika saat pertama kita terpaut karena "body", kinia yang kita lihat lebih jauh  lagi, namanya “budi”. Yang kita pandang bukan lagi urat, tulang dan daging lagi... tetapi suatu yang murni dan hakiki – kasih, kasihan, cinta, sayang, mesra, ceria, duka, gagal, jaya, pengorbanan, penderitaan – dalam jiwanya yang melakarkan sejarah kehidupan berumah tangga bersama kita!

Daripada pandangan mata hati itulah lahirlah sikap dan tindakan. Love is verb, cinta itu tindakan, kata penyair. 

Para suami kaya pulang bersama cincin permata untuk menghargai si istri. Atau petani hanya membawa sebiji mangga untuk dimakan bersama sang "permaisuri". Buruh yang pulang bersama keringat disambut senyuman dan dihadiahkan seteguk air sejuk oleh istri tentunya lebih bahagia dan dihargai oleh seorang jutawan yang disambut di muka pintu villanya tetapi hanya oleh seorang "orang-orang yang digaji".

Begitulah ajaibnya cinta yang dicipta Allah, ia hanya boleh dinikmati oleh hati yang suci. Ia terlalu mahal harganya. Intan, permata tidak akan mampu membeli cinta!

Hargailah sesuatu selagi ia masih di depan mata. Begitu selalu pesan cerdik-pandai dan para pujangga. Malangnya, kita selalu lepas pandang. Sesuatu yang 'terlalu' dekat,  kadang lebih sukar dilihat dengan jelas. Sementara yang jauh terkesan jelas. Istri di depan mata, tidak dihargai, tapi orang lain nun jauh dipuji-puji. Kajian menunjukkan bahwa para suami di Amerika lebih banyak meluangkan masa menonton TV daripada bercakap dengan istrinya. Bayangkanlah, tiga jam menonton TV bersama tanpa sepatah-katapun pada istri atau keluarga, apa untungnya? Padahal istri dan anaknya duduk bersebelahan dengannya hanya beberapa inci.

Bahkan jika kita di rumahpun, kadang lebih sibuk ber SMS dengan orang lain. Malam SMS kadang, SMS  ke teman lebih banyak dibanding jika ia SMS dengan istri jika sedang berada di luar atau di kantor. No news is a good news. Begitu seharusnya , rasa di hati kita. 

Hidup terlalu singkat. Hidup hanya sekali. Dan yang pergi tak akan pernah kembali lagi. Yang hilang, mungkin tumbuh lagi... Tetapi tidak semua perkara akan tumbuh seperti semula. Apakah ibu-bapa yang 'hilang' akan berganti? Apakah anak, istri, suami yang 'pergi'... akan pulang semula? Jadi, hargailah semuanya selama segalanya masih ada di dekat kita. Pulanglah ke rumah dengan ceria, tebarkan salam, lebarkan senyuman. Mungkin esok, anda tidak 'pulang' atau tidak ada lagi si dia yang selama ini begitu setia menunggu kita di  balik pintu. Mungkin Anda 'pergi' atau dia yang 'pergi'. Karenanya, hargailah nyawa dan raganya dengan dengan perasaan sayang dan cinta. Sebab hakekatnya kita tidak akan bahagia, selagi orang di sisi kita tidak bahagia!*

Pahrol Mohamad Juoi, penulis dan motivator parenting, tinggal di Malaysia
Dikutip dan Update Judul oleh situs Dakwah Syariah
Sumber : iluvislam
Rep: Muhammad Usamah
Red: Cholis Akbar


Rating: 5
Apakah Yang Bisa Antarkan Kita ke Surga!

Apakah Yang Bisa Antarkan Kita ke Surga!

Mereka, Yang Bisa Mengantarkan Kita ke Syurga!.." Sebuah berita kecil membuat para orangtua Indonesia kaget bukan kepalang. Seorang siswi kelas 1 SMK di Surabaya, diringkus anggota Satreskrim Polrestabes Surabaya lantaran diduga telah menjual temannya untuk dijadikan pekerja seks (WTS). Bayangkan, remaja berusia 15 tahun itu telah berani menjadi mucikari  dengan memberikan iming-iming bayaran tinggi jika temannya mau menjadi anak buahnya di bisnis prostitusi.

Sebelumnya, berita cukup menyedihkan datang dari Komnas Perlindungan Anak dan BKKBN ( Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional )  yang melakukan penelitian tentang Perilaku Seksual Remaja SMP dan SMU tahun 2009. Hasilnya tak  kalah menyedihkan. “Tingkat keperawanan remaja Indonesia masih mengkhawatirkan”.

Survey BKKBN tahun 2010 yang menunjukkan bahwa 51% remaja di Jabodetabek telah melakukan hubungan seks diluar nikah. Kondisi ini tak hanya terjadi di Jabodetabek, tren mengerikan juga terjadi di berbagai kota. Surabaya (54 %), Bandung (47 %), dan Medan (52 %).

Apa yang sesungguhnya terjadi?

Banyak yang menilai, arus globalisasi yang udah tak terbendung tanpa dibarengi dengan pemahaman agama dan perhatian orangtu lah penyebabnya.

Pendidikan yang utama

Di jaman penuh fitnah ini, sering kita dapati orangtu yang tak bisa membedakan mana pendidikan utama dan mana pendidikan yang sampingan. Umumnya orangtua terkecekoh dengan angka-angka, nilai akademik dan janji-janji artificial. Banyak orangtua mengantarkan anaknya les Inggris, matematika dengan harapan IQ nya cemerlang dan indeks prestasinya terdongkrak. Beberapa orangtua lain; mengikutkan anak-anak mereka ikut les balet, piano, dll sementara di sisi lain mereka lupa pendidikan tauhid. Bagaimana anak-anaknya mengenal sang Pencipta, Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Bagaimana agar anaknya kelak memiliki rasa malu, menjaga aurat, membatasi lawan jenis dll. Yang terjadi justru kebanyakan orantua bangga anak-anak putri mereka dijemput pacarnya. Seolah jika anak mereka tak punya pacar, mereka khawatir anak perempuannya tidak laku.

Apakah semua kursus-kursus itu dilarang? Tentusaja tidak. Harusnya mana yang lebih diutamakan, tauhid  mereka atau sekedar keahlian mereka yang bisa diajarkan beberapa minggu saja.

Padahal, jauh-jauh hari, Allah memperingatkan para orangtua agar menjaga anak-anak mereka. Sebab dari merekalah kita bisa akan ikut terseret ke neraka janannam.

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat malaikat yang kasar, yang keras yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”(QS.At-Tahrim:6)

Imam Al Ghazali mengatakan, pendidikan utama bagi anak-anak adalah pendidikan agama. Karena di situlah pondasi utama bagi pendidikan keluarga. Pendidikan agama ini meliputi pendidikan aqidah, mengenalkan hukum halal-haram memerintahkan anak beribadah (shalat) sejak umur tujuh tahun, mendidik anak untuk mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarganya, orang-orang yang shalih dan mengajar anak membaca al-Qur’an.

“Hendaklah anak kecil diajari al-Qur’an hadits dan sejarah orang-orang shalih kemudian hukum Islam,” ujar Al-Ghazali. Baru setelah itu diajarkan pada mereka pengetahuan umum.

Yang terjadi banyak orantua lebih sedih anaknya tak bisa matematik, Inggris atau IPA namun mereka tenang-tenang saja ketika anaknya tak mengerti adab, hukum Islam. Bahkan banyak orangtua tidak sedih ketika anak-anak perempuan mereka pergi bahkan sampai pulang malam dengan teman-teman prianya. Padahal dari situlah kehancuran masa depan anak-anak perempuan mereka bermula.

Rahasia Anak Perempuan

Begitu pentingnya Islam memperhatikan anak-anak perempuan, jauh-jauh hari, Rasulullah dan Al-Quran memperingatkan pada para orangtua.

Padahal, dahulu di zaman jahiliyah, masyarakat lebih mencintai anak laki-laki dan mendahulukannya daripada anak perempuan. Bahkan di antara mereka ada yang membenci dan menjauhi istrinya karena melahirkan anak perempuan, bukan anak laki-laki. Namun ketika datangnya Islam dengan sinarnya yang cemerlang bagai matahari yang menyinari seluruh peloksok negeri dan semua penghuninya. Islam menyeru dengan lantang dengan keutamaan mendidik anak perempuan. Islam menawarkan banyak kebaikan dan pahala yang besar atas mendidik anak perempuan bagi orang tua yang melaksanakan tugas mulia ini.

Sebenarnya, mendidik anak perempuan itu akan menjadi penghalang dari api neraka. Diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa ia berkata: "Ada seorang wanita masuk besama dua anak perempuannya seraya meminta diberi sesuatu. Akan tetapi aku tidak mendapatkan sesuatu untuk diberikan kecuali sebutir buah kurma. Aku berikan sebutir buah kurma tersebut kepadanya. Kemudian si ibu itu membaginya kepada kedua anaknya. Sementara ia sendiri tidak makan. Kemudian mereka keluar dan pergi. Ketika Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. datang dan masuk kepada kami, aku beritahukan kisah ini kepadanya. Kemudian beliau berkata:

"مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هَذِهِ الْبَناَتِ بِشَيْءٍ فَأَحْسَنَ إلَيْهِن كُنَّ لَهُ سِتْراً مِنَ النّاَرِ"

“Barangsiapa yang diuji dengan mendapatkan anak peremuaan kemudian ia berbuat baik kepada mereka (dengan mendidiknya) maka anak perempuan itu akan menjadi penghalang baginya dari sentuhan api neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Mendidik anak perempuan juga dapat mengantarkan masuk ke surga. Diriwayatkan oleh Aisyah ra. ia berkata: “Aku kedatangan seorang ibu miskin yang membawa kedua anak perempuannya. Aku berikan kepadanya tiga butir buah kurma.

Kemudian ia memberikan masing-masing dari kedua anaknya satu butir kurma dan yang satu butir lagi ia ambil untuk dimakan sendiri. Akan tetapi, ketika ia akan memakannya, kedua anaknya itu memintanya. Akhirnya satu butir kurma itu dibelah dua dan diberikan kepada mereka berdua. Kejadian itu mengagumkanku. Maka, aku ceritakan hal itu kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Dengan demikian beliau bersabda:

"إِنَّ اللهَ قَدْ أوْجَبَ لَهاَ بِهاَ الْجَنَّةِ، أَوْ أَعْتَقَهاَ بِهاَ مِنَ الناَّرِ"

“Allah Subhanhu Wa Ta'ala. mengharuskan ibu itu masuk surga atau membebaskannya dari neraka disebabkan kasih sayangnya terhadap anak perempuannya.” (HR. Muslim)

Selain itu, mendidik anak perempuan dapat mengangkat derajat. Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra bahwa ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. telah bersabda:

"مَنْ عاَلَ جاَرِيَتَيْنِ حَتَّى تَبْلُغاَ جاَءَ يَوْمَ الْقِياَمَةِ أناَ وَهَوَ"

“Barangsiapa mengurus dan mendidik dua anak perempuan hingga mereka dewasa maka ia datang di hari kiamat bersamaku.” Beliau merapatkan jari-jemarinya. (HR. Muslim)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. menerangkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang ingin masuk surga, yaitu dengan berbuat ihsan terhadap anak perempuan dengan rincian sebagai berikut:

Pertama, Merawatnya hidup dan tidak menguburkannya hidup-hidup seperti yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah.
Kedua, Memuliakan, memelihara dengan baik dan memperlakukannya dengan penuh kasih sayang, kebanggaan dan penghormatan tanpa merendahkan ataupun menghinakan
Ketiga, Tidak mengutamakan anak laki-laki ketimbang anak perempuan dalam memperlakukan mereka

Barangsiapa yang dapat merealisasikan tiga syarat di atas maka ia sangat patut untuk mendapatkan pahala tersebut di atas yaitu masuk surga.

Mendidik anak perempuan dan mentarbiyahnya akan menjadi tabir dan penghalang dari api neraka. Diriwayatkan dari Uqbah bin Nafie ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. bersabda,

"مَنْ كاَنَ لَهُ ثَلاَثُ بَناَتٍ فَصَبَرَ عَلَيْهِنَّ وَأَطْعَمَهُنَّ وَسَقاَهُنَّ وَكَساَهُنَّ مِنْ جِدَتِهِ كُنَّ لَهُ حِجاَباً مِنَ النّاَرِ يَوْمَ الْقِياَمَةِ"

“Barangsiapa memiliki tiga anak perempuan kemudian ia sabar atas (merawat dan mendidik) mereka serta ia memberi makan dan minum mereka dari apa-apa yang ia dapatkan maka anak-anak perempuan tersebut akan menjadi penghalang baginya dari api neraka di hari kiamat.”  (HR. Ahmad)

"مَنْ عاَلَ ابْنَتَيْنِ أوْ ثَلاَثَ بَناَتٍ أوْ أُخْتَيَنِ أوْ ثَلاَثَ أخَواَتٍ حَتَّى يَمُتْنَ أوْ يَمُوْتُ عَنْهُنَّ كُنْتُ أناَ وَهُوَ كَهاَتَيْنِ"

“Barangsiapa yang menanggung dua atau tiga anak perempuan; dua atau tiga saudara perempuan hingga mereka meninggal dunia atau ia lebih dahulu meninggal dunia maka aku dan dia seperti dua ini.” (Shahih al Jami')

Semoga kita bisa menjadi orangtua yang bisa menjaga anak-anak perempuan kita menjadi benar. Sebab, sesungguhnya merekalah yang bisa mengantarkan kita ke surga.*

Bunda Mulia. Penulis ibu rumahtangga tinggal di Surabaya
Dikutip dan Update Judul oleh situs Dakwah Syariah
Red: Cholis Akbar


Rating: 5
Lelah Itu Menjadikan Sangat Berharga

Lelah Itu Menjadikan Sangat Berharga

Ternyata, Lelah itu Sangat Berharga!." Sebenarnya siapakah yang paling berjasa dalam keluarga? Pernahkah pertanyaan itu terlintas dalam benak Anda ketika penat mendera dan emosi memuncak? Ya, kelelahan memang kadang memicu emosi dan membuat ketajaman berpikir kita memudar. Terutama bila sudah menyangkut ego, tentang siapa yang lebih banyak berkontribusi.

Setiap orang pada dasarnya memang ingin diperhatikan dan dimengerti. Ketika kelelahan mendera dan ada pihak lain yang menuntut perhatian dari kita, di saat itulah ego dan keinginan menjadi satu. Memuncak dan menuntut timbal balik yang kita harapkan.

Namun, tariklah nafas sejenak dan perhatikan kembali, sebenarnya sebesar apa kebutuhan kita terhadap timbal balik dari orang lain tersebut.

Berteman dengan Lelah

Sebuah komentar menarik saya dapatkan dari seorang pedagang sayur yang sangat sederhana ketika seorang ibu bertanya kepadanya, apakah ia tidak lelah menjalani aktivitasnya. Sebab, selain sebagai seorang pedagang sayur yang sudah harus berbelanja di pasar sejak jam sepuluh malam dan mengemas aneka sayur-mayur hingga pagi menjelang lalu melayani pembeli, ia juga masih menggarap sawah miliknya sendiri. Ia berkata, “Orang hidup memang harus cape’ Bu, lha orang yang sudah meninggal saja masih cape’ menghadapi malaikat.”

Saya tersenyum mendengar ucapan si bapak penjual sayur tersebut. Namun, ada kesadaran lain yang menggelitik saat menyadari bahwa ada sesuatu yang bermakna lebih jauh dalam kehidupan yang sesungguhnya. Bahwa, kelelahan memang begitu dekat dengan kita bahkan rasa lelah tak kenal henti menemani dalam pergulatan kehidupan. Namun, alangkah indahnya, bila kelelahan tersebut nantinya mengantarkan kita pada istirahat yang panjang dan menyenangkan di akhirat kelak.

Karena itu, bisakah kita “aminkan” dalam hati bahwa sesungguhnya kita membutuhkan semua kegiatan yang melelahkan itu. Bukan untuk siapa-siapa, bukan untuk orang lain tetapi untuk diri kita sendiri. Bahwa dengan seluruh aktivitas yang melelahkan itu, kita akan mendapatkan tabungan yang akan menjadi tiket istirahat dalam kehidupan yang kekal, juga dalam kebahagiaan yang kekal.

Bahwa, tak perlu menanyakan siapa yang paling keras bekerja untuk keluarga. Bahkan tak perlu menakar jasa siapa yang paling berharga untuk keluarga. Karena, sesungguhnya, kita justru harus bersyukur kita masih memiliki kesempatan dan diberi kesempatan oleh Allah dan orang-orang yang kita cintai untuk mengumpulkan bekal akhirat kita.

Bahkan, kita harus berterima kasih untuk setiap “jasa wajar” yang kita lakukan, orang-orang tercinta disisi kita tersebut justru membalasnya dengan cinta dan perhatian yang melimpah. Yang selama ini, mungkin masih seringkali luput terlihat.
Sungguh, sebenarnya kita tak membutuhkan timbal balik dari orang-orang yang begitu kita cintai karena memang sudah seharusnya begitulah kewajiban kita. Alangkah indahnya jika kita bercermin pada sikap Luth Alaihissalam. terhadap kaumnya dengan berkata;


وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Dan aku sekali-kali tidak meminta upah atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam.” (QS. Asy-Syu’araa:180).

Hal senada juga ditegaskan oleh utusan-utusan-Nya yang lain seperti Nuh Alaihissalam, Syua’ib Alaihissalam. dan tentu Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.

Sejatinya begitu pulalah kita. Apa yang kita usahakan di muka bumi ini untuk orang-orang yang kita cintai, sejatinya hanyalah untuk mengharapkan kebaikan dari Allah saja. Berterimakasihlah kepada mereka yang selama ini telah kita manfaatkan kehadirannya untuk mendapatkan kebaikan tersebut.

Sungguh, kehidupan di dunia ini hanyalah sebentar saja. Tataplah wajah-wajah orang yang kita cintai tersebut dan lihatlah betapa banyak kebaikan yang terpancar dari wajah mereka. Jadikanlah kehadiran mereka sebagai semangat yang terbesar dalam kehidupan kita. Keinginan mereka sebagai pemacu kerja-kerja terbaik kita, karena memang merekalah satu dari alasan-alasan terpenting dalam kehidupan kita.

Tumbuhkan semangat dalam keletihan yang mendera bahwa ada kenikmatan tersendiri yang menjadi bayaran. Sesuatu yang tak dapat dihitung dengan kalkulasi manusia. Bahwa, kelelahan itu sesungguhnya akan mendatangkan kebahagiaan, manakala kita melihat orang-orang yang kita cintai berbahagia. Bahwa kita tak akan bisa merasakan kebahagiaan sendiri, tanpa melihat orang-orang di sekitar kita berbahagia dari apa yang kita usahakan dan membuat kita kelelahan tersebut.
Kekuatan itu dari Allah

Walau demikian, kelelahan memang sesuatu yang wajar dalam kehidupan kita. Ada waktunya keletihan menjadi kelemahan yang membuat amal-amal kita menurun dan semangat meredup. Namun demikian, hanya keimananlah yang membedakan bagaimana seseorang menghadapi kelelahannya dan mengatasinya. Karena itu, sejatinya kekuatan itu memang hanya datang dari Allah saja. Yang mampu meneguhkan dan membuat langkah kita senantiasa terayun, meski dalam kondisi yang sangat menyulitkan sekalipun. Karena itu, Rasulullah yang mulia pun mengajarkan kita untuk senantiasa memohon kepada-Nya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas ra,

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keinginan yang berlebihan dan kesedihan. Aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan. Aku berlindung kepada-Mu dari rasa takut dan kikir. Aku berlindung kepada-Mu dari lilitan hutang dan paksaan orang yang menganiaya.” (HR.Bukhari)

Inilah teladan dari utusan-Nya yang tak pernah berhenti memberikan yang terbaik kepada ummatnya dan beribadah kepada Rabb-Nya disaat terlelah sekalipun.

Cintanya bahkan tak memudar saat sakit yang luar biasa mendera disakaratul mautnya. Alangkah indahnya bila teladan ini pun senantiasa menjadi pengingat kita di saat lelah dan emosi mulai memuncak. Karena Beliau pun mewasiatkan, “Siapa yang saat lemahnya tetap berada dalam sunnahku, maka dia telah beruntung. Sementara siapa yang beralih pada selain itu maka berati dia telah celaka.” (Musnad Imam Ahmad).

Kartika Trimarti, ibu rumah tangga tinggal di Bekasi, Jawa Barat
Dikutip dan Update Judul oleh situs Dakwah Syariah
Red: Cholis Akbar

Rating: 5
Faktor Retaknya Keharmonisan Keluarga

Faktor Retaknya Keharmonisan Keluarga

Sungguh indahnya hidup ini bila kita menikah dengan orang yang kita cintai dan orang itu adalah idaman atau pujaan hati kita. Dunia seolah hanya milik berdua, begitu terasa indah bagai hidup disurga, taman penuh bunga semerbak harum mewangi.

Bayangan pendamping idaman sering waktu hadir begitu nyata dalam keseharian, masa manis dan indah terlewati. Begitu kehidupan rumah tangga dijalani, berbagai kesulitan dilewati, sang pendamping terlihat sosok sejatinya. Partner hidup yang tidak simpatik bahkan menyebalkan. Perilaku buruk mulai terlihat, sangat berbeda dengan yang kita kenal sebelum menikah dulu.

Sifat yang santun, ramah dan penuh kasih sayang yang dulu ada pada dirinya, kini seolah sirna, diganti dengan perilaku yang kasar dan keras menghambur dalam kehidupan sehari-hari sehingga pendamping hidup kita yang disebut sebagai qurrata a'yun atau penyejuk hati benar-benar hanyalah impian, sulit untuk diwujudkan.

Padahal Rasulullah mengingatkan kita bahwa salah satu ciri di dalam keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah adalah adanya kelembutan dan kasih sayang pada keluarga itu. “Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi suatu keluarga maka Allah akan memasukkan rasa kelembutan dan kasih sayang dalam diri mereka.”(HR. Imam Ahmad).

Tercerabutnya kelembutan dan kasih sayang dari dalam seorang suami atau istri menyebabkan diri mereka bagai ongkokan kebusukan yang memperkeruh suasana di dalam Rumah tangga. Hilang keimanan dan ketaqwaan kepada Allah dari dalam diri pasangan suami istri menyebabkan carut marutnya sebuah rumah tangga. Akibatnya timbullah prasangka-prasangka buruk penuh kebencian, ketenteraman telah hilang membuat keluarga terancam kolaps.

Pendampingku idamanku bukan sosok diluar sana namun meletakkan diri kita sebagai sosok idaman bagi orang yang kita cintai. Kitalah yang menjadikan pendamping idaman bagi keluarga kita, Pendamping idaman adalah sebuah upaya untuk menjaga keluarga kita dari kehancuran. Apapun yang terjadi, kitalah yang harus berupaya menjaga keluarga agar tetap utuh, indah dan bahagia. Ada tujuh faktor yang orang sering mengabaikan yang bisa menyebabkan kehancuran sebuah keluarga. Di antaranya adalah.

Pertama, Akidah yang keliru atau sesat, misalnya mempercayai kekuatan dukun, magis. Bimbingan dukun bukan saja membuat langkah hidup tidak rasional, tetapi juga bisa menyesatkan pada bencana yang fatal.

Kedua, Makanan yang tidak halalan thayyiban. Menurut hadis Nabi, sepotong daging dalam tubuh manusia yang berasal dari makanan haram, cenderung mendorong pada perbuatan yang haram juga (qith`at al lahmi min al haram ahaqqu ila an nar). Semakna dengan makanan, juga rumah, mobil, pakaian dan lain-lainnya.

Ketiga, Kemewahan. Menurut al Qur’an, kehancuran suatu bangsa dimulai dengan kecenderungan hidup mewah, mutrafin.

وَإِذَا أَرَدْنَا أَن نُّهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُواْ فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيراً

“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menta'ati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS al Israa’:16).

Sebaliknya kesederhanaan akan menjadi benteng kebenaran. Keluarga yang memiliki pola hidup mewah mudah terjerumus pada keserakahan dan perilaku manyimpang yang ujungnya menghancurkan keindahan hidup berkeluarga.

Keempat, Pergaulan yang tidak terjaga kesopanannya (dapat mendatangkan WIL dan PIL). Oleh karena itu suami atau isteri harus menjauhi berduaan dengan yang bukan muhrim, sebab meskipun pada mulanya tidak ada maksud apa-apa atau bahkan bermaksud baik, tetapi suasana psikologis berduaan akan dapat menggiring pada perselingkuhan.

Kelima, Kebodohan. Kebodohan ada yang bersifat matematis, logis dan ada juga kebodohan sosial. Pertimbangan hidup tidak selamanya matematis dan logis, tetapi juga ada pertimbangan logika sosial dan matematika sosial.

Keenam, Akhlak yang rendah. Akhlak adalah keadaan batin yang menjadi penggerak tingkah laku. Orang yang kualitas batinnya rendah mudah terjerumus pada perilaku rendah yang sangat merugikan.

Ketujuh, Jauh dari agama. Agama dalah tuntunan hidup. Orang yang tidak mematuhi agama meski kurang pandai, dijamin perjalanan hidupnya tidak menyimpang terlalu jauh dari rel kebenaran. Orang yang jauh dari agama mudah tertipu oleh sesuatu yang seakan-akan menjanjikan padahal palsu.*

M. Agus Syafii. Penulis tinggal di Ciledug, Tangerang
Dikutip dan Update Judul oleh situs Dakwah Syariah
Red: Cholis Akbar


Rating: 5
Menjadi Muslimah dan Juga Pengusaha

Menjadi Muslimah dan Juga Pengusaha

Menjadi Muslimah Sekaligus Pengusaha." Muslimah selalu identik dengan urusan dapur dan merawat anak. Tapi, ada jutaan muslimah memiliki talenta kuat dalam dunia usaha yang bisa meraup pundi-pundi finansial melebihi kemampuan pria. Di antara mereka, tetap ingin mengurus rumah tangga, anak dan tanpa harus menjadi wanita karir yang harus masuk kantor dari pagi hingga malam.

Sayang, di antara mereka masih kebingungan menentukan keputusan. Di bawah ini ada beberapa tips dan hal-hal yang tak boleh diabaikan.

Niatkan Membantu Suami

Menentukan niat, adalah awal yang akan sangat menentukan perjalanan selanjutnya. Selain karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi nilai segala perbuatan berdasarkan pada niatnya, lebih dari itu niat inilah yang semenjak awal membentuk pola pikir kita sehingga nantinya mengarahkan pilihan dalam menentukan berbagai kebijakan. Berarti dia pulalah yang akan menyetir arah berkembangnya karir dan usaha seseorang.

Muslimah yang sejak awal berniat mengembangkan usaha demi ambisi kesuksesaan pribadi atau mengumpulkan kekayaan, bisa jadi akan mengorbankan banyak kepentingan keluarganya jika dirasa akan menghalangi langkahnya dalam mencapai niat awal ini. Jelas, ini tak diperbolehkan dalam Islam.

Selama masih ada suami sebagai penopang nafkah keluarga, niat terbaik bagi istri untuk membuka usaha adalah dalam rangka membantu suami mencari nafkah. Dalam batas ini, maka kepentingan karir suami tetap dinomorsatukan.

Pekerjaan yang Aman

Kriteria ‘aman’ bagi seorang istri adalah manakala kondisi pekerjaan tersebut bisa disesuaikan dengan karakter fisik dan psikisnya yang khas. Mempertahankan karakter keibuan yang feminin misalnya, tetap harus dilakukan dengan cara memilih jenis-jenis pekerjaan yang diperkirakan tidak terlalu maskulin agar tidak mengikis karakter keibuannya.

Pekerjaan yang tidak harus menguras keletihan fisik akan jauh lebih baik, karena keluarga masih menunggu sumbangan tenaga dan pikiran ibu di luar urusan kantor. Dan ini tak akan sukses dilakukan jika secara fisik ibu sudah kelelahan.

Karakter lain dunia seorang ibu adalah tugas merawat dan mendidik anak. Tugas ini seringkali tak bisa diperkirakan terlebih dahulu penjadwalannya. Ketika anak sakit misalnya, bisa jadi ia membutuhkan kehadiran ibu selama dua puluh empat jam di sisinya. Itulah sebabnya, jenis pekerjaan yang fleksibel, dengan paruh waktu atau dengan disiplin waktu yang tidak terlalu mengikat, adalah menjadi pilihan terbaik. Tujuannya, agar dalam kondisi-kondisi tertentu ibu tetap bisa menomorsatukan urusan keluarga yang mendesak.

Selesaikan Urusan Rumah

Bereskan urusan keluarga sebelum menangani yang lain, itu prinsip yang tak boleh dilepas. Sepagi apapun meeting dijadwalkan di tempat tugas, pastikan bahwa urusan di rumah sudah tak ada masalah. Bukan berarti semua harus ditangani oleh tangan ibu sendiri. Bisa saja dibantu suami, adik, atau pembantu rumah tangga. Tetapi sebagai manajer rumah tangga, tanggung jawab tetap berada di pundak ibu. Kalau perlu, bangun sedini mungkin, lalu kerjakan urusan rumah seawal dan sepraktis mungkin.

Sebaliknya jika berencana pulang kerja agak terlambat, atau bahkan harus meninggalkan rumah untuk lebih dari sehari, persiapkan segala sesuatu di rumah seberes mungkin. Semua itu perlu dilakukan agar suami dan anak-anak tidak telantar.

Tetap harus diingat, walau ibu sedang berada di tempat kerja pada jam kerja sekalipun, tugas rumah tetap harus diperhatikan. Jalin selalu komunikasi dengan anak-anak di rumah, bisa lewat telepon atau SMS. Mereka tetap perlu diingatkan ketika tiba waktu makan siang, waktu beristirahat, dan sebagainya. Dengan cara ini, tetap terjalin komunikasi yang sangat penting bagi anak.

Dukungan Anggota Keluarga

Bekerja dan menuntaskan segala sesuatunya seorang diri, mustahil. Perlu dukungan dan pengertian dari orang-orang di sekitar Anda. Suami, ridhanya adalah di atas keutamaan yang lain. Pengertiannya terhadap masalah yang dihadapi istri bekerja menjadi teramat penting. Apalagi manakala terjadi hal-hal mendesak, seperti tugas-tugas yang luar biasa padat, yang membutuhkan waktu di luar jam kerja biasanya, atau di saat-saat keluarga membutuhkan lebih banyak perhatian seperti saat anak sakit.

Anak pun perlu diberi pengertian agar mendukung pilihan ibunya untuk bekerja. Penting memberi pengertian anak lewat dialog-dialog, pancing reaksi dan perasaan mereka sebenarnya. Ibu juga harus bisa tetap penuhi kebutuhan mereka berupa perhatian dan kasih sayang, dengan cara membagi waktu sebaik-baiknya. Manfaatkan waktu yang ada ketika di rumah, untuk total berbagi, berbuat, dan berkomunikasi dengan suami dan anak-anak.

Beberapa Persiapan Membuka Usaha

1. Pilih yang Terdekat dengan Kegemaran

Tak ada pekerjaan yang tak memiliki hambatan dan tantangan. Begitu juga upaya ibu membuka usaha, pasti dalam perjalanannya akan menemukan berbagai permasalahan. Untuk menghadapinya, diperlukan keuletan, kesabaran, dan keteguhan hati. Semua ini akan lebih mudah ditumbuhkan bila usaha pilihan tadi merupakan kegemaran kita sendiri. Kemungkinannya akan lebih besar bagi kita untuk eksis, bertahan, dan terus berjuang.

2. Tahu Seluk Beluknya

Secara sepintas, berdagang nampaknya gampang. Uang dapat diperoleh dengan segera. Betapa banyak orang terkecoh karenanya. Walaupun nampaknya mudah, sebenarnya untuk berdagang sangat diperlukan keuletan, keteguhan, ketrampilan komunikasi, naluri memahami keinginan pembeli, serta keterampilan melayani orang lain. Sama sekali tidak sesederhana yang diduga banyak orang.

Adalah penting bagi pemula untuk mempelajari terlebih dahulu seluk beluk usaha yang hendak dipilih. Jangan hanya mengetahui keuntungan-keuntungannya, tetapi pelajari juga risiko-risikonya, hambatan, serta tantangannya.

3. Belajar dari Pengusaha Lain

Benar sekali bahwa pengalaman adalah guru yang sangat berharga. Akan sangat bermanfaat jika sebelum membuka usaha kita belajar sebanyak-banyaknya dari pengalaman pengusaha lain, baik yang positif maupun negatif. Sehingga untuk mengenal berbagai risiko buruk, cukup belajar dari pengalaman orang lain, dan tak harus mengalaminya sendiri bukan?

4. Pisahkan dengan Urusan Keluarga

Yang tak bisa diubah, bahwa tugas utama ibu tetap dalam keluarga. Sebagai pengusaha, bisa saja ibu membuka usaha di rumah, sehingga tak perlu harus banyak keluar meninggalkan rumah. Namun kelemahan utama yang kerap terjadi adalah tercampur-baurnya urusan usaha dengan urusan keluarga.

Ini yang harus dihindari sedini mungkin. Buatlah adminisrasi keuangan yang rapi dan jelas, sehingga tidak membingungkan untuk membedakan mana hak untuk keluarga serta mana hak untuk usaha. Jangan lupa untuk mencatat setiap transaksi, sekecil apapun. Jangan ditunda lewat dari sehari.

Biasanya, disiplin dalam hal-hal tersebut kerap diabaikan, sehingga banyak pengusaha kesulitan untuk membuat pencatatan yang rapi. Sayangnya, bahkan masih banyak yang merasa tak memerlukan hal ini.*/
Dikutip dan Update Judul oleh situs Dakwah Syariah
Sumber : Sahid
Red: Cholis Akbar


Rating: 5
Menjadi Ibu Rumah Tangga Sangat Bahagia

Menjadi Ibu Rumah Tangga Sangat Bahagia

Menjadi Ibu Rumahtangga, Ternyata Membahagiakan." Kisah seorang mantan aktivis kampus yang memilih menjadi ibu rumahtangga. Mulanya merasa kecewa dan hampa, namun kemudian bahagia

Selain Adam dan Hawa, tak seorang pun di dunia ini yang tidak memiliki ibu. Bahkan bayi mungil yang dibuang di pinggir jalan sekalipun, tetaplah memiliki seorang ibu,  bagaimanapun bentuk dan wujudnya.

Tetapi ternyata tidaklah mudah untuk sekadar berterima kasih dan menghargai peran seorang ibu. Sebuah peran suci dan sakral yang kini lebih sering dianggap sebagai peran domestik dan amat tradisional. Karenanya, kini tidak sedikit perempuan, termasuk saya, kerap lebih bangga menyebutkan berbagai profesi, entah sebagai guru, wartawan, sekretaris, pedagang, atau profesi lain dibandingkan menyebut dirinya sebagai ibu rumah tangga (saja).

Suatu hari saya pernah mendaftarkan diri untuk melakukan pemeriksaan USG (ultrasonografi) pada bayi yang saya kandung di sebuah klinik bersalin. Tiba-tiba sang perawat dengan ramah menanyakan, “Apakah ibu bekerja?”

Dengan gagap dan segan saya terpaksa menggeleng. Perawat yang ramah itu pun kemudian menuliskan sesuatu di dalam kartu kontrol berobat milik saya. Belakangan saya baru tahu kalau perawat itu menuliskan “IRT” alias “Ibu Rumah Tangga” dalam kolom pekerjaan saya.

Tiba-tiba saya merasakan ada sepenggal hati saya yang terbang entah ke mana. Ada rasa kesal, sedih, malu, atau apa namanya, saya tidak tahu. Yang jelas saya diam-diam mengeluh mengapa saya tak bisa bangga mengatakan bahwa saya (hanyalah) seorang ibu rumah tangga.

Mencari Makna “Fungsi Perempuan”

Entah kenapa, sejak menjalani babak kehidupan yang baru (sebagai ibu rumah tangga murni), tiba-tiba saya merasa belum pernah menjadi ‘manusia’. Karena, merasa sama sekali belum mempunya nilai dan fungsi sosial bagi kehidupan.

Saya belum mampu memberikan sedikit warna dalam kehidupan meskipun dalam bentuk yang remeh-remeh sekalipun. Bukankah seberapa besar manusia mampu menjadi ‘manusia’ tergantung dari seberapa besar dia memberikan manfaat pada orang lain dan lingkungan sekitarnya? Dan kini, bagaimana saya bisa merasa menjadi ‘manusia’? Bagaimana bisa memiliki fungsi sosial jika saat ini kehidupan saya berputar tak lebih dari urusan kerumahtanggaan dan melayani suami?

Tidak pernah lagi saya rasakan kenikmatan memberikan sedikit pengetahuan saya dalam berbagai pelatihan rekan-rekan mahasiswa, yang dulu kerap saya lakukan. Juga kepuasan batin yang tiada terkira ketika berhasil mengumpulkan dana dan berbagai bantuan material untuk para korban bencana lewat LSM dan sebuah organisasi kemahasiswaan yang dulu pernah saya geluti. Pun peluh keringat kelegaan setelah berhasil mengejar deadline menyelesaikan tulisan-tulisan untuk tabloid kampus, tempat saya mencurahkan segala ide. Rasanya semua itu sudah begitu lama tidak lagi saya alami. Dan jujur saja, saya kangen dengan semua aktivitas itu.

Dulu, saya membayangkan begitu indah dan sederhana kehidupan menjadi seorang ibu rumah tangga. Mengurus suami dan anak-anak, membereskan berbagai urusan rumah, dan menunggu kepulangan mereka dengan senyum yang menyejukkan.

Kenyataannya ternyata tidaklah semudah itu. Ketika suami berangkat bekerja, maka mulailah saya berusaha menikmati segala bentuk kesendirian dengan tenggelam dalam berbagai rutinitas rumahtangga. Dan tetap saja semua itu terasa menyiksa, karena saya tidak lagi mempunyai teman untuk sekadar bertukar pendapat tentang berbagai hal.

Otak saya terasa begitu tumpul dan bebal karena sama sekali tidak lagi terasah dalam berbagai forum diskusi. Satu-satunya kegiatan untuk mempertahankan kemampuan otak adalah dengan membaca dan menulis.

Wanita Modern dengan Peran Tradisional

Hingga akhirnya saya menemukan tulisan Annie Iwasaki, sosok perempuan yang dengan bangga menentukan sebuah pilihan untuk bekerja sebagai ibu rumahtangga di tanah air suaminya, Jepang. Annie benar-benar berusaha untuk menghayati dan memaknai kariernya itu. Ia kemudian menemukan bahwa justru dengan kembalinya para perempuan modern yang berpendidikan tinggi kepada peran tradisionalnya sebagai ibu rumahtangga murni, maka negara Jepang bisa maju!

Menurutnya hal ini dikarenakan, pertama, bekerjanya perempuan di sektor domestik (rumahtangga) itu berarti mengurangi kemungkinan kelebihan jumlah tenaga kerja di sektor publik. Kedua, perempuan berpendidikan yang bekerja di sektor domestik lebih menjamin terciptanya generasi masa depan Jepang yang berkualitas. Bahkan dalam sebuah artikelnya ia berani memberi judul “Peran Ganda Perempuan Karier Itu Nonsense!”

Sejak membaca tulisan itu, saya mulai belajar untuk berbesar hati menerima kenyataan bahwa kini saya adalah ibu rumah tangga murni. Meskipun menjadi ibu rumah tangga dalam pengertian yang paling klasik: berdiam di rumah, mengerjakan segala rutinitas kerumahtanggaan dengan tangan dan tetes keringat saya sendiri, adalah hal yang sebelumnya sama sekali tak terbayangkan.

Semasa remaja saya biasa menghabiskan waktu dengan berbagai aktivitas di luar rumah. Mulai dari urusan kuliah, mengerjakan koran kampus, rapat di masjid, rapat organisasi kemahasiswaan, dari pagi hingga malam. Maka apakah berlebihan jika saya begitu gamang menjalani profesi ibu rumahtangga (murni) ini? Apakah berlebihan jika saya begitu gelisah karena harus seharian berdiam diri di rumah dengan setumpuk pekerjaan rumah tangga yang seolah tiada berujung?

Menemukan Permata

Waktu terus berjalan. Putri kecil saya menginjak usia dua tahun. Celoteh dan tingkah lakunya telah mengajarkan begitu banyak hal kepada saya untuk terus belajar menjadi ibu yang baik. Bukankah guru terbaik seorang ibu adalah pengalamannya sendiri? Bukankah proses belajar menjadi ibu yang baik adalah proses sepanjang hayat?

Begitu satu tahap perkembangan keluarga telah terlampaui, maka masih terdapat milyaran tahapan pembinaan keluarga yang harus dijalani. Bukan sekadar mengandung selama sembilan bulan sepuluh hari. Sebab begitu terlahir, bayi itu masih harus dijaga, disuapi, dilimpahi kasih sayang, dididik agar ketika dewasa tidak tersesat jalan, juga masih harus disekolahkan. Setelah anak selesai sekolah apakah tugas ibu selesai?

Tentu saja tidak. Sang ibu akan terus memikirkan dimana si anak bekerja, bagaimana pendamping hidupnya, cukupkah kebutuhan hidupnya, bahagiakah perkawinannya? Dan sederetan pertanyaan lain yang akan terus mengikuti sang ibu dan menuntutnya untuk terus belajar hingga tutup usia. Maka adakah batas proses belajar (menjadi) seorang ibu? Tentu saja batasnya hingga akhir hayat.

Jadi, kegamangan yang saya alami ketika mulai menjalani profesi sebagai ibu rumah tangga, mungkin itu adalah bagian dari proses belajar menjadi ibu. Kini saya sudah kembali ke kota asal saya. di Malang - Jatim.

Saya kembali bergabung dengan teman-teman untuk mengaji seminggu sekali dan menghadiri pengajian umum tiap Ahad pagi. Saya juga menjalin hubungan baik dengan para tetangga, memberikan kursus bordir untuk menambah penghasilan keluarga, dan terus belajar menjadi istri sekaligus ibu yang baik.

Bayi mungil saya telah tumbuh menjadi malaikat kecil yang setiap saat mampu mengingatkan saya, betapa hidup hanya sekali dan hanya akan bermuara pada kematian. Sebagaimana dulu bayi saya tidak ada, kini Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya ada. Maka kelak Allah pun akan menjadikan saya tiada. Tidak ada pilihan lain bagi saya selain berusaha untuk memberikan yang terbaik sebagai bekal pertanggungjawaban kelak di hari pembalasan.

Anda mengalami keresahan ketika harus menjalani profesi ibu rumahtangga murni? Mulai sekarang, sapalah lingkungan sekitar Anda. Bergabunglah dengan kelompok-kelompok pengajian di sekitar tempat tinggal. Interaksi sosial yang baik akan banyak membantu menyegarkan sekaligus menghilangkan kejenuhan akibat rutinitas rumah yang cenderung monoton.

Atau jika Anda resah karena penghasilan suami begitu minim, mulailah untuk mengembangkan potensi. Apapun itu! Pun bila Anda bingung harus memulai dari mana, sertakanlah Allah dalam setiap usaha. Berdoalah pada-Nya. Allah Maha Kaya, Dia akan membukakan pintu-pintu rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.

Allah akan membantu sebesar apapun masalah dan kesulitan kita. Tetapi semua itu hanya mungkin terjadi jika seorang perempuan, seorang hamba, mampu berlaku ikhlas serta mau melibatkan Allah dalam setiap detik pengabdiannya.*/Indah Tri, tinggal di Malang 
Dikutip dan Update Judul oleh situs Dakwah Syariah
Sumber : sahid
Rep: Administrator
Red: Cholis Akbar


Rating: 5
Cara Menjadikan Keluarga Yang  Inovatif

Cara Menjadikan Keluarga Yang Inovatif

Mencetak Keluarga Inovatif." Fenomena kecelakaan pesawat terbang milik tentara RI beberapa waktu lalu menjadi sebuah ironi sekaligus kekonyolan yang menggelitik. Bagaimana mungkin, sebuah negara dapat mempertahankan kedaulatannya, jika alat-alat utama sistem pertahanannya sudah lansia dan tak aman digunakan?

Namun demikian, mari sejenak kita memikirkan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surat Al-Anfal ayat 60:

وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدْوَّ اللّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِن دُونِهِمْ لاَ تَعْلَمُونَهُمُ اللّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لاَ تُظْلَمُونَ

“Dan persiapkanlah dengan segenap kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan pasukan berkuda yang dapat menggetarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak dapat mengetahuinya, tetapi Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu infaqkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dirugikan.”

Dalam ayat di atas, sebagai Muslim kita diperintahkan untuk  selalu siaga penuh menghalau musuh yang datang mengganggu kedaulatan dalam segala bidang.

Umat Mandiri

Sayangnya, umat kini masih banyak yang tak bergerak mempersiapkan “kuda-kuda perang” mereka. Banyak alasan yang dikemukakan untuk membela diri. Mulai ketidaksiapan sumberdaya, hingga tidak bersatunya secara mendunia umat ini.

Kita tentu tidak dapat berlindung pada kekuatan yang berasal dari musuh Islam untuk melindungi hak-hak seorang Muslim.

Hal menarik telah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau dan umat Islam menjalani masa pemboikotan. Masa-masa pemboikotan inilah yang kemudian mengajarkan kepada umat untuk senantiasa mandiri tanpa bergantung pada kekuatan lain selain kekuatan sendiri. Termasuk dalam hal pertahanan diri, dan  mencukupi segala kebutuhan dengan sumber daya yang dimiliki.

Kesadaran untuk mandiri dan membangun kekuatan sendiri ini, seharusnya juga tertanam kuat pada umat generasi ini. Tidak selamanya kita dapat bergantung kepada fasilitas yang diciptakan oleh pihak yang tak selamanya bersahabat. Bukankah tidak pernah ada jaminan bahwa selamanya kita akan berdamai dengan negara tersebut? Bila suatu saat perang di maklumkan atas kedua negara, bukankah “rahasia” persenjataan kita sudah ada di tangan mereka?

Generasi umat ini harus belajar untuk menguasai teknologi dan mandiri menciptakannya. Semangat dan kesungguhan inilah yang harus dimulai dari sebuah elemen terkecil dalam masyarakat yaitu keluarga.

Pendidikan para Penemu

Sudah saatnya, kita mengajarkan pada anak-anak untuk menjadi penemu dan ‘pencipta’. Menjadi orang yang kelak menciptakan pesawat tempur, tak sekadar menjadi pilot pesawat tempur. Apalagi hanya sebatas mengagumi kegagahan sang pilot yang berlaga di film-film Barat. Mengajarkan kepada anak-anak kita untuk bercita-cita menjadi gubernur baitul maal bukan sekadar menjadi pegawai bank.

Tak ada salahnya bila kita mencontoh yang telah dilakukan Jepang dalam membangun negerinya. Sebelum tahun 1868, Jepang adalah negeri yang tertinggal dan tak diperhitungkan di pentas dunia. Namun, tiga puluh tahun setelah Restorasi Meiji bergulir di tahun tersebut, Jepang telah berubah menjadi negara adidaya yang ditakuti.

Kunci dari perubahan besar-besaran yang dilakukan oleh bangsa ini adalah pendidikan. Yaitu mengubah sistem pendidikan tradisional (yang kerap dilakukan di kuil-kuil) dengan sistem pendidikan modern, program wajib belajar, pengiriman mahasiswa Jepang ke luar negeri, serta peningkatan anggaran sektor pendidikan secara signifikan.  Selain itu, Jepang mendorong rakyatnya untuk bersahabat dengan buku.

Sebagai keluarga Muslim,  sangat penting untuk meningkatkan kualitas anak-anak yang kita miliki. Pendidikan mereka adalah investasi penting yang wajib kita lakukan saat ini. Kualitas pendidikan inilah yang harus diperhatikan setelah masalah akidah.

Allah Subhanhu Wa Ta'ala pun menantang umatnya untuk memecahkan rahasia di balik setiap penciptaan-Nya yang begitu sempurna. Dia membekali manusia untuk menjawab tantangan ini dengan hati, mata, dan telinga. Sebagaimana yang telah Allah firmankan dalam ayat 78 surat An-Nahl:

وَاللّهُ أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لاَ تَعْلَمُونَ شَيْئاً وَجَعَلَ لَكُمُ الْسَّمْعَ وَالأَبْصَارَ وَالأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun. Dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati supaya kamu bersyukur.”

Oleh karena itu, selayaknya pendidikan yang kita berikan adalah pendidikan yang memacu anak-anak kita menemukan dan mengembangkan rahasia yang tersimpan di balik penciptaan Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Semangat untuk menjadi penemu dan berinovasi inilah yang begitu penting untuk dipupuk di dalam keluarga.

Mewujudkan Mimpi

Keluarga kita harus menjadi keluarga yang haus akan hal-hal yang baru. Tak betah diam manakala tak bisa memberikan kemanfaatan bagi orang lain. Juga bersemangat untuk menjadi keluarga yang luar biasa bukan menjadi yang biasa-biasa saja.

Merangsang setiap anggota keluarga untuk menjadi para penemu memang bukan perkara mudah. Namun, hal ini dapat dirangsang dengan membiarkan ide-ide liar anak-anak dan pasangan kita bermekaran. Walau mungkin, dalam sesaat kita sempat menganggap hal tersebut hanya mimpi dan tak masuk akal, mari saling mendukung untuk membuatnya menjadi nyata. Karena, banyak teknologi yang kini sangat bermanfaat berasal dari mimpi yang tak masuk akal.

Mengasah akal untuk berjalan di tempat yang terasa “tak mungkin” akan membuat kita mendalami hal yang belum terjamah. Hal yang belum terjamah inilah yang membuat seseorang akan merasa tertantang dan berusaha untuk menaklukkannya. Sehingga, ia akan terbiasa untuk menemukan dan menciptakan hal-hal baru. Semangat inilah yang mendorong dunia Barat dan bangsa Jepang menjadi bangsa-bangsa yang menguasai peradaban modern.


Kita harus menanamkan dalam diri dan keluarga bahwa Allah Subhanhu Wa Ta'ala tidak pernah menyuruh hamba-Nya menjadi orang-orang biasa. Sebaliknya, Allah memasang target bagi hamba-Nya agar benar-benar menjadi orang-orang luar biasa. Sebagaimana yang telah Allah nyatakan dalam surat Ali Imran ayat 110:

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْراً لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ

“Kamu adalah umat yang terbaik bagi seluruh manusia; menyuruh pada yang makruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah.”

Orang-orang luar biasa inilah yang mampu mempersiapkan kuda-kuda perang tangguh yang akan menggentarkan nyali musuh.

Mulai saat ini, kita harus membiasakan anak-anak kita membaca ayat-ayat Allah yang bertebaran dalam kehidupan dengan lafadz keluar-biasaan yang telah Allah ciptakan dalam mata, telinga, hati, dan akal. Sehingga, setiap anak kelak akan bercita-cita menjadi “pembuat burung Ababil” yang memporak-porandakan pasukan Abrahah. Burung Ababil tersebut mereka buat dalam bentuk pesawat tempur yang kelak menghancurkan pasukan Abrahah modern yaitu Israel dan sekutunya.

Tak hanya membuat Burung Ababil pelumat pasukan musuh, kita pun melihat anak-anak yang terdidik dalam keluarbiasaan ini menjelma menjadi Avicena muda, Imam Ghazali yang diteladani seluruh ekonom besar dunia, bahkan panglima perang sehebat Thariq bin Ziyad. Sungguh, mereka adalah sosok-sosok luar biasa yang piawai dalam cara yang bukan biasa-biasa saja.  Kelak, dengan semangat  inilah, Islam akan kembali menjelma menjadi raksasa yang menguasai dunia. */Kartika Trimarti, Ibu rumah tangga dan penulis lepas
Dikutip dan Update Judul oleh situs Dakwah Syariah
Red: Cholis Akbar


Rating: 5
Bertambah Usia Semakin Banyak Hikmah

Bertambah Usia Semakin Banyak Hikmah

Istimewa dengan Bertambah Usia." Bertambah usia bagi kaum Hawa memiliki arti yang sangat besar. Banyak orang bilang perempuan sangat dibatasi oleh usia. Karena itu, banyak perempuan yang sangat khawatir terhadap bertambahnya usia mereka. Bertambahnya usia berkonotasi pada semakin sempitnya kesempatan dan berkurangnya kebanggaan.

Semua itu, membuat hidup bagi perempuan bagaikan pilahan-pilahan sempit. Rentang waktu yang membanggakan hanyalah antara 20 hingga 40 tahun. Sebelumnya adalah usia anak-anak dan selebihnya adalah usia yang mengkhawatirkan karena harus berhadapan dengan ketuaan. Sungguh, semuanya membuat perempuan merasa begitu terkejar-kejar oleh waktu.

Orientasi Fisik

Ini semua adalah buah dari paham materialisme yang begitu ampuh memporak-porandakan eksistensi perempuan. Semuanya berorientasi pada fisik. Setiap perempuan dijejali propaganda untuk tampil cantik dan sempurna agar bisa mendapatkan cita-cita yang dimimpikannya. Jenis-jenis kesuksesan yang diekspos pun yang berangkat dari modal fisik.

Perempuan yang cantik dan muda akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan, lebih diterima dalam pergaulan, dan memiliki masa depan yang lebih cerah dibandingkan mereka “yang biasa-biasa saja.” Sehingga anak-anak perempuan pun berlomba untuk memoles diri agar masa depan mereka di usia dewasa terjamin oleh kecantikan dan penampilan. Ketika usia memasuki dasawarsa ketiga, perempuan pun segera dihinggapi kekhawatiran akan penampilan. Tanda-tanda penuaan yang mulai merambah wajah segera membuat kepercayaan diri menurun. Akibatnya, begitu banyak potensi yang lebih penting dibandingkan fisik, terabaikan begitu saja lalu padam sebelum waktunya.

Padahal, bertambahnya usia seharusnya membuat perempuan semakin bersinar dan membuat masa depan semakin cerah. Karena, bertambahnya usia berarti bertambahnya kedewasaan. Bertambah usia berarti semakin banyaknya hikmah kehidupan yang telah berhasil digenggam, sehingga langkah ke depan untuk mencapai keberhasilan pun akan semakin ringan.

Tak mudah memang membangun pengertian ini di dalam benak kita. Karena, propaganda materialisme sedemikian kuat mencengkeram perempuan. Kesan yang dibangun dunia industri pun melulu menggunakan perempuan sebagai objek. Sehingga perlahan, setiap perempuan merasa tak sempurna, bila tak seperti yang terpampang dalam iklan.

Namun, tentu sebagai perempuan, kita sama-sama sepakat bahwa keadaan ini harus segera diubah. Inilah saatnya untuk mengubah pandangan tentang usia, dimulai dari dalam diri sendiri.

Menjadi yang Dicintai

Hal pertama yang harus dikedepankan dalam benak kita adalah usia merupakan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bertambahnya usia, selayaknya membuat kita menjadi manusia yang lebih bernilai di hadapan Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Bila usia yang menapaki masa tua menjadi hal yang merisaukan, marilah menukar tempat kerisauan itu dengan semangat. Semangat untuk melihat lebih dalam apa yang telah kita lakukan dengan usia yang semakin menjemput senja. Bila semangat evaluasi ini menuntun kita pada sebuah kenyataan bahwa tak banyak yang berarti dengan usia yang sekian lama kita lalui, teruskanlah menjadi semangat untuk melakukan lebih banyak hal yang berarti.

Jadikanlah setiap pagi sebagai awal untuk mengukuhkan eksistensi kita sebagai orang yang dicintai oleh Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Sebagaimana sebuah riwayat pernah memuat percakapan antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan seorang Badui. Orang Badui yang kasar itu bertanya kepada Rasulullah tentang ciri-ciri orang yang dicintai oleh Allah Subhanhu Wa Ta'ala dan ciri orang yang dibenci oleh Allah Subhanhu Wa Ta'ala.

Namun, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam justru balik bertanya kepada orang tersebut, “Dapatkah engkau ungkapkan, bagaimana perasaanmu ketika bangun tidur?” Orang Badui tersebut kemudian menjawab, “Mula-mula yang kurasakan adalah keinginan untuk melakukan kebajikan dan rindu hendak berkumpul dengan orang-orang yang senang berbuat baik. Jika aku tidak bisa berbuat kebajikan, maka remuk-redamlah hatiku. Aku juga sangat berduka, jika tidak dapat menjumpai orang-orang yang saleh dalam pergaulanku.” Atas jawaban tersebut, Rasulullah tersenyum dan kemudian berkata, “Kalau keadaanmu demikian, maka itulah ciri-ciri orang dicintai oleh Allah. Adapun ciri-ciri orang yang dibenci oleh Allah adalah mereka yang ketika bangun tidur sudah berencana untuk berbuat maksiat serta ingin bersuka ria dengan ahli maksiat.”

Bertambahnya pagi juga berarti bertambahnya usia. Bila setiap pagi yang ada di dalam hati kita adalah keinginan untuk berbuat kebaikan dan berkumpul bersama orang-orang yang gemar berbuat baik, maka kita pun tak akan pernah merasa tua. Semangat untuk melakukan kebaikan ini akan membuat kita menyambut hari esok dengan penuh harapan dan kegembiraan. Ini akan membuat kita merasa berarti dan berenergi untuk melakukan hal yang benar-benar bernilai.

Optimis dan Ikhlas

Sebuah penelitian membuktikan bahwa pembentukan sel dan hormon tubuh dipengaruhi oleh emosi. Setiap kali kita berbuat baik, maka terjadilah proses kimiawi dalam tubuh yang menjadikan sel yang terbentuk lebih berkualitas, hormon dan organ menjadi imun dan anti oksidan.

Fakta ini tentu dapat menunjukkan pada kita bahwa apa yang ada dalam hati dan pikiran kita jauh lebih penting dari berbagai produk kecantikan yang selalu ditawarkan untuk memperlambat penuaan. Hati dan tindakan yang positif akan mendorong tubuh untuk memproduksi sel baru yang lebih berkualitas, ini juga berarti peremajaan sel-sel tubuh. Hormon dan organ pun menjadi lebih imun (kebal) terhadap serangan bakteri dan virus yang menggerogoti kebugaran. Tubuh pun menjadi lebih terlindungi dari serangan racun dengan anti oksidan yang berhasil diproduksi oleh tubuh yang memiliki emosi yang baik.

Karena itu, penting kiranya untuk semakin meringankan perjalanan usia kita dengan semangat ikhlas. Ikhlas untuk memaafkan dan ikhlas untuk mengambil hikmah dari setiap lembaran menyedihkan yang pernah kita lalui. Juga ikhlas merelakan segala hal yang urung kita miliki. Sikap seperti ini akan membuat hidup kita akan terasa lebih ringan dan optimis menyambut hari esok.

Kesedihan, kegelisahan, bahkan kemarahan biasanya lahir dari ketidakmampuan kita memiliki sesuatu seperti yang kita inginkan. Inilah yang kemudian melahirkan angan-angan yang membuat kita semakin tertekan dan menyesali keadaan. Akhirnya hidup pun terasa sempit.

Hidup dalam optimisme dan keikhlasan akan membuat kita tak pernah terbebani oleh kesedihan manakala kita tak dapat meraih sesuatu dan ambisi yang berlebihan. Ini akan membuat kita senantiasa menikmati hari-hari yang dikaruniakan oleh Allah. Merasa menjadi hamba yang beruntung dan tak akan terusik oleh hal-hal kecil seperti tanda-tanda penuaan sekalipun. Karena, dalam keadaan fisik seperti apapun, kita tahu apa yang harus kita lakukan. Sehingga kita pun tahu, bahwa kita akan senantiasa cantik dan bermanfaat dengan amal terbaik yang kita upayakan.*/Kartika Trimarti, ibu rumah tangga tinggal di Bekasi
Dikutip dan Update Judul oleh situs Dakwah Syariah
Red: Cholis Akbar


Rating: 5
Mencintai Istri Kita Karena Allah

Mencintai Istri Kita Karena Allah

Dalam Islam, menikah sama dengan menyempurnakan separuh agama. Berbagai kenikmatan di surga sepertinya belum cukup bagi Adam ‘alaihis-salaam. Itulah sebabnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan ibu kita, Hawa, untuk mendampinginya.

Jika ditelusuri, sesungguhnya karya-karya besar orang sukses lahir ketika seluruh energi di dalam dirinya bersinergi dengan sumber energi di luar dirinya, yakni dukungan dari orang-orang terdekat. Bagi seorang suami, istri adalah salah satu sumber energi itu.

Istri, di samping sebagai sandaran emosional, juga sebagai penyangga spiritual. Dialah yang siap berbagi tanpa pura-pura dan pamrih. Karunia istri, menurut Al-Qur`an, sama berharganya dengan kejadian dunia dan seisinya (Ar-Ruum: 16-30). Subhanallah!

Seorang suami bisa memperoleh ketenangan dan gairah hidup dari seorang istri. Juga kenyamanan, keberanian, keamanan, dan kekuatan. Laki-laki menumpahkan seluruh energinya di luar rumah dan mengumpulkannya kembali di dalam rumah. Rumah tidak sekadar tempat berteduh secara fisik, tetapi tempat berlabuh lahir dan batin. Sumber menu ruhani dan jasmani.

Potensi besar yang dikaruniakan Allah kepada perempuan adalah kelembutan, kesetiaan, cinta, kasih sayang, dan ketenangan jiwa. Kekuatan itu seringkali dilukiskan bagaikan ring dermaga tempat suami menambat kapal, atau pohon rindang tempat sang musafir merebahkan diri dan berteduh.

Di dalamnya merupakan padang jiwa yang luas dan nyaman. Tempat menumpahkan sisi kepolosan dan kekanakan suami untuk bermain dengan lugu; saat suami melepaskan kelemahan-kelemahan nya dengan aman; saat suami merasa bukan siapa-siapa; saat suami menjadi bocah besar yang berjenggot dan berkumis. Di keadalaman telaga itulah suami menyedot energi spiritual dan ketajaman emosional.

Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Jadilah engkau bocah di depan istrimu, tetapi berubahlah menjadi lelaki perkasa ketika keadaan memanggilmu.”

“Saya selamanya ingin menjadi bocah besar yang polos ketika berbaring dalam pangkuan ibuku dan istriku,” kata Sayyid Quthub.

Sebaik-baik wanita (istri), kata Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah apabila kamu melihatnya menyenangkanmu. Istri yang seperti inilah yang bisa menjadi sumber kebahagiaan, keamanan, dan penjaga kehormatan diri. Bila sumber itu hilang atau kering, tragedi cintalah yang akan terjadi.

Jangan Sampai Membelenggu

Hanya saja, kecintaan kepada istri harus rasional dan proporsional. Tak sekadar menonjolkan rasa, tetapi juga rasio. Cinta terhadap istri hendaknya diletakkan demi kepentingan agama.

Cintailah istrimu di bawah cinta kepada Allah! Jangan sampai kecintaan kepada keluarga menjadi ketergantungan yang membelenggu dan melumpuhkan. Saling mengasihi yang tidak dilandasi agama, suatu ketika bakal menjadi batu sandungan dakwah.

الْأَخِلَّاء يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِي

“Para kekasih pada hari itu (kiamat) sebagian mereka terhadap sebagian yang lain menjadi musuh kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (Az-Zuhruf:  67)

Ketergantungan kepada selain Allah adalah indikasi kelemahan jiwa. Umar bin Khattab pernah menyuruh putranya, Abdullah bin Umar, satu dari tujuh ulama besar sahabat Rasulullah, untuk menceraikan istrinya. Pasalnya, ia terlalu berlebihan dalam mencintai istrinya itu.

Terkadang, ia terlambat shalat berjamaah karena asyik menyisir rambut istrinya. Sekalipun ia mempertahankan istrinya yang tercinta, tetapi Umar menganggapnya sebagai kelemahan jiwa.

Ketika seorang sahabat mengusulkan kepada Umar untuk mencalonkan putranya sebagai khalifah ketiga saat menjelang wafatnya, beliau menolak. “Aku tidak akan pernah menyerahkan amanah ini kepada seorang laki-laki yang lemah, yang tak berdaya menceraikan istrinya,” kata Umar.

Ibnu Abbas dan Mujahid mengatakan: "Pada hari kiamat setiap kekasih hati menjadi musuh kecuali orang-orang yang bertaqwa."

Sedang Al-Hafidz Ibnu Asakir meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: "Jika antara dua orang saling mencintai karena Allah, yang seorang di Timur dan yang seorang lagi di Barat, maka pada hari Kiamat Allah pasti akan mempersatukan keduanya sambil berfirman: "Inilah orang yg kau cintai karena-Ku..."

Agamalah yang bisa memberikan keterampilan kepada pemeluknya untuk mengelola fluktuasi (naik turun) kehidupan dengan semangat yang sama. Sedih dan gembira, suka dan duka, gagal dan sukses, adalah peta realitas kehidupan dunia.

Dinamika kehidupan dipersepsikan dan disikapi sebagai romantika, sehingga istri bisa menjadi teman abadi sepanjang hayat di dunia dan di akhirat. Tidak sebatas pandai dalam menjalin kasih secara biologis, tetapi terampil dalam memetakan masalah dan memutuskan risiko yang terjadi pascanikah.

Membangun Sandaran Spiritual

Syaikh Hasan an-Naisaburi, seorang ulama yang alim, pada usia 40 tahun belum juga menikah. Di tengah kesibukannya, datanglah seorang gadis shalihah yang cacat (bermata juling) dan miskin memberanikan diri untuk menghibahkan dirinya kepada beliau.

“Wahai Ustadz, sudikah engkau berkeluarga dengan orang yang fari ini?” kata gadis itu.

Sang ulama tergagap, seakan-akan telinganya disambar petir, diingatkan akan sunnah Rasul yang selama ini seolah-olah terhapus dalam memorinya. Segera, setelah itu ia bisa menguasai diri.

Beliau menjawab, “Apakah sudah engkau pertimbangkan secara matang hidup denganku yang sudah tua ini? Ingat masa depanmu masih panjang! Jangan engkau korbankan harapanmu denganku!”

Singkat cerita, lamaran gadis tersebut diterima. Sang gadis, terutama bapaknya, segera melakukan sujud syukur, “Alangkah senangnya kehidupanmu kelak, Nak. Bapak doakan semoga pernikahanmu ini yang pertama dan terakhir. Anakku, ditinjau dari berbagai segi, sesungguhnya kamu tidak sekufu dengan ustadz. Baik dari sisi usia, keilmuan, harta, dan keturunan. Tetapi alhamdulillah, permohonanmu diterima dengan tangan terbuka. Doa apakah yang selalu kamu panjatkan kepada Allah selama masa penantianmu yang panjang, Nak?”

Selama lima tahun mujahid yang harum namanya itu berdampingan dengan wanita yang cacat fisik, tetapi sukses mengarungi samudera kehidupan berkeluarga tanpa hambatan yang berarti. Ia berhasil merangkai keluarga sakinah, mawaddah, warahmah, wa muthmainah.

Sekalipun banyak ketidakcocokan di tengah jalan, tetapi dengan mudah dicarikan jalan keluar. Tentu, pasangan ini tidak terfokus perhatiannya pada hal yang bersifat lahiriah. Sang ulama menyadari, jika tidak menyukai satu sifat istri, palingkan penglihatanmu pada sisi yang lain.

Kalau kita baca tarajum (riwayat kehidupan) sang ulama, bisa dipahami bahwa kesamaan cinta kepada Allah-lah yang bisa mempertahankan dan merawat keharmonisan rumah tangga mereka sampai 15 tahun.

Suatu hari, sang istri yang cacat itu lebih dahulu kembali kepada Allah. Sang ulama menuliskan bait-bait puisinya yang melukiskan kepedihan hatinya, karena terlalu cepatnya berpisah dengan belahan jiwanya. “... Sungguh istriku, hati kita yang telah terbuhul... dengan cinta kepada Allah.”

Ia selalu terkenang dengan istrinya yang cacat fisik tetapi hatinya laksana intan mutiara. Lentera di dada.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berpesan, “Janganlah laki-laki mukmin membenci istrinya yang mukminah. Bila ada perangai istri yang tidak disukai, dia pasti ridha (senang) dengan perangai istri yang lain.” (Riwayat Muslim)./Sahid
Dikutip dan Update Judul oleh situs Dakwah Syariah
Red: Cholis Akbar


Rating: 5
Cara Agar Sebuah Cinta Bersemi Indah

Cara Agar Sebuah Cinta Bersemi Indah

Apa yang paling banyak menyebakan konflik dalam rumah-tangga? Bukan persoalan-persoalan prinsip. Juga bukan masalah-masalah besar. Sebab semua itu biasanya sudah “selesai” ketika seseorang memutuskan menikah. Di luar soal niat, penyebab konflik rumah-tangga yang bahkan berakhir dengan perceraian, paling banyak justru komunikasi. Cara kita menyampaikan maksud, pikiran dan perasaan itulah yang kerap menjadi sebab bertikainya suami-isteri yang saling mencintai. Sekali lagi, komunikasi. Bukan perbedaan suku. Alhamdulillah, saya sendiri nikah beda suku. Saya orang Jawa dan istri saya orang Bugis yang besar di Kendari, Sulawesi Tenggara.

Beda jenjang pendidikan? Tak masalah.

Banyak pernikahan yang suami-isteri memiliki perbedaan jenjang pendidikan amat jauh, tetapi tetap bahagia tanpa masalah. Tentu saja tak ada pernikahan yang tak pernah diwarnai perselisihan, meskipun amat kecil. Tetapi persoalannya bukan apakah kita akan menghadapi riak-riak kecil, melainkan bagaimana menghadapinya agar tetap berada dalam kebaikan dan kebenaran. Bukan sekedar bahagia yang kita ingin. Ada barakah yang patut kita harapkan dan pinta kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala seraya bersungguh-sungguh menempuh jalan menuju pernikahan penuh barakah. Kita menempuh jalan itu ketika mau memasuki pernikahan, saat mengawali hingga masa-masa berikutnya. Semoga kelak Allah Subhanhu Wa Ta'ala masukkan kita ke dalam golongan yang diseru oleh para malaikat:

ادخلوا الجنة أنتم وأزواجكم تحبرون

 “Masuklah kamu ke dalam surga, kamu dan istri-istri kamu digembirakan." (QS. Az-Zukhruf, 43: 70).

Secara ringkas, suami-isteri sepatutnya menghidupkan perkataan yang baik (qaulan ma’rufan) di antara mereka. Awal pernikahan merupakan masa yang sangat penting sekaligus sensitif bagi proses pembentukan pola komunikasi keluarga. Inilah masa-masa yang sangat menentukan. Jika suami-isteri memiliki pola komunikasi (communication pattern) yang baik, maka modal awal untuk menyelesaikan masalah jika sewaktu-waktu muncul, telah mereka miliki. Pola komunikasi yang baik ini penting untuk menghindari timbulnya gaya komunikasi memaksa (coercive communication), terlebih jika berkembang menjadi kebiasaan. Komunikasi memaksa cenderung mengakibatkan terjadinya kegagalan komunikasi (communication breakdown) dan merupakan penyebab umum perceraian. Na’udzubillahi min dzaalik.

Banyak hal-hal kecil yang besar sekali manfaatnya, besar pula pengaruhnya bagi kebahagiaan perkawinan. Mari kita ingat sejenak bagaimana Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. memberi contoh dalam perkara menjuluki istri. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. memanggil ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dengan sebutan humaira’ (yang pipinya merah jambu) atau muwaffaqah (wanita yang diberi petunjuk) atau ‘Aisy atau pun ‘Aisyah. Inilah sebutan yang mesra saat memanggil. Tampaknya sepele, tetapi berawal dari sebutan yang mesra, tutur kata selanjutnya akan terasa lebih berharga. Sebaliknya, kita jumpai bagaimana Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. menegur seorang lelaki yang memanggil isterinya dengan sebutan ukhty (saudariku).

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. pernah mendengar seseorang mengatakan kepada isterinya, “Ya Ukhtiy.” Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. lalu berkata, “Ukhtuka hiya? Saudaramukah dia?” (HR. Abu Dawud).

Ya, tampaknya sepele, tetapi besar maknanya.

Banyak hal lagi yang bisa kita reguk dari teladan serta petunjuk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. dalam membangun rumah-tangga kita. Tetapi betapa sedikitnya kesempatan dan betapa sempitnya ruang untuk bertutur, selain keterbatasan ilmu dari saudaramu ini. Semoga yang sedikit ini bermanfaat untuk menegakkan qaulan ma’rufan di rumah kita. Selebihnya kita perlu berusaha dengan sungguh-sungguh agar dapat mempergauli isteri dengan makruf. Ingatlah firman Allah Subhanhu Wa Ta'ala:

يا أيها الذين آمنوا لا يحل لكم أن ترثوا النساء كرها ولا تعضلوهن لتذهبوا ببعض ما آتيتموهن إلا أن يأتين بفاحشة مبينة وعاشروهن بالمعروف فإن كرهتموهن فعسى أن تكرهوا شيئا ويجعل الله فيه خيرا كثيرا

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisaa’, 4: 19).

Satu hal yang perlu kita ingat tatkala ingin menegakkan mu’asyarah bil ma’ruf (mempergauli secara makruf) bahwa kita menikah dengan orang yang pasti memiliki banyak perbedaan dengan kita. Jenis kelamin sudah jelas beda, orangtua juga pasti berbeda (sebab tidak halal menikahi saudara sekandung), masa kecil berbeda serta sejumlah perbedaan lain. Maka salah satu yang perlu kita tumbuhkan dalam diri kita adalah kesediaan untuk menenggang perbedaan dan tidak meributkannya sejauh bukan masalah yang prinsip. Inilah jalan untuk memetik kemesraan.

Tetapi ini tidak cukup. Sama sekali tidak cukup. Perhatikan olehmu bagaimana cara memperoleh rezeki. Segala usaha yang gigih untuk menumbuhkan kemesraan agar cinta bersemi indah, akan sia-sia jika rezeki kita tidak barakah. Wallahu a’lam bishawab.

Muhammad Fauzil Adhim, penulis buku-buku parenting
Dikutip dan Update Judul oleh situs Dakwah Syariah
Red: Cholis Akbar


Rating: 5
Belajar Dengan Cara Menakar Tindakan

Belajar Dengan Cara Menakar Tindakan

Belajar Menakar Tindakan." Ada saatnya diam merupakan kebaikan. Kita berdiam diri karena memberi kesempatan untuk berpikir dan menyadari kekeliruannya. Kita diam bukan karena tidak bertindak, tetapi justru diam itulah tindakan yang kita ambil agar anak dapat mengembangkan dirinya. Tetapi adakalanya diam justru tercela. Kita menahan diri dari bicara, padahal saat itu seharusnya kita angkat bicara agar anak tidak terjatuh pada keburukan lebih yang besar. Diam pada saat seharusnya berbicara merupakan tanda kelemahan. Sebagaimana terlalu banyak meributkan anak merupakan penanda ketidakmampuan menahan diri.

Dua hal inilah PR panjang yang harus diselesaikan bagi orangtua semacam saya; orangtua yang miskin ilmu, lemah kendali diri dan serba instan. Ingin mengubah anak, tetapi tidak sabar menunggu proses. Ingin membaguskan akhlak, tetapi tidak siap mendengarkan keluhan mereka.

Ada saat-saat kita harus tegas, ada pula saat kita perlu memberi kelonggaran kepada anak. Ada hal-hal yang mengharuskan kita menunjukkan kemarahan kepada anak meskipun kita tidak sedang emosi, tetapi ada pula saat dimana kita perlu berusaha keras untuk menahan diri meskipun emosi kita sedang meledak-ledak.

Ini semua berkait erat dengan apa yang dilakukan anak sekaligus menimbang maslahat dan madharat dari setiap tindakan kita. Adapun terhadap kerasnya ucapan dan tindakan yang muncul dari lemahnya kendali emosi, secara jujur kita perlu menyadari kekeliruan kita, mengakuinya sebagai kesalahan meski belum mampu mengungkapkan secara terbuka kepada anak, dan bersedia meminta maaf kepada anak atas salah dan keliru kita.

Hal yang sama juga berlaku untuk perbuatan baik mereka. Meskipun kita sedang marah dan suasana emosi kita sedang tidak enak, kita tetap harus menyampaikan ucapan terima kasih kepada mereka. Jika perlu, kita memaksakan diri untuk mengucapkan terima-kasih dengan setulus-tulusnya meskipun kita sedang jengkel.

Ini bukan tindakan pura-pura. Justru kita sedang mendidik diri sendiri untuk mampu mengungkapkan rasa terima-kasih kita secara sadar dan memaksakan diri untuk mengucapkannya, meskipun suasana hati kita sedang dongkol. Kalau ternyata kita tidak mampu menaklukkan raut muka kita sendiri, kita bisa secara terbuka mengatakan apa yang kita rasakan kepada anak dengan didahului permohonan maaf kepada mereka.

Dengan demikian anak akan belajar mengakui kebaikan orang lain dan menyadari keadaan mereka. Ini juga bisa meningkatkan penerimaan mereka terhadap orangtua.

Kembali pada soal kelonggaran. Anak yang dibesarkan dengan toleransi, memang akan belajar mengendalikan diri. Sebaliknya, anak yang dibesarkan dengan kekerasan juga belajar menggunakan kekuatannya untuk memaksakan keinginannya. Tetapi ada hal yang harus kita ingat, di luar apa yang kita lakukan, anak juga sedang berkembang. Mereka secara terus-menerus belajar, termasuk belajar memegang kendali sehingga orangtua pun bahkan bisa tak berdaya.

Orangtua melakukan apa pun yang diinginkan anak,meskipun tampaknya ia melakukan itu agar anaknya melakukan apa yang diinginkan oleh orangtua. Contohnya, orangtua memaksakan diri membelikan mainan untuk anak karena mainan itulah yang diminta anak ketika ia disuruh mandi.

Kecenderungan anak memaksa orangtua menuruti keinginannya sebagai imbalan atas kesediaannya melakukan perintah orangtua, terutama mudah terjadi ketika orangtua memberlakukan cara pengasuhan yang tidak konsisten. Apalagi jika cara mengasuh antara kedua orangtua tidak selaras. Mereka saling menyalahkan di depan anak, atau cara pengasuhan mereka saling bertentangan. Lebih parah lagi jika salah satu pihak cenderung dominan dan mudah menyalahkan di depan anak. Artinya, ada salah satu pihak –entah ayah, entah ibu—yang sering disalah-salahkan di depan anak sehingga otoritasnya sebagai orangtua melemah dan dengan demikian perintahnya menjadi kurang efektif.

Jika ini terjadi, anak akan berusaha meningkatkan pengaruh dan daya paksanya sehingga orangtua benar-benar di bawah kendalinya. Tak ada jalan lain kecuali orangtua harus mengambil keputusan dengan segera dan secara terencana menghentikan situasi yang tidak sehat ini. Pada saat yang sama, orangtua harus menyadari bahwa kebiasaan memaksakan keinginan ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Anak belajar sedikit demi sedikit. Anak memiliki pengalaman panjang sehingga bisa memaksakan kehendak kepada orangtuanya, sementara orangtua tak berdaya menghadapinya.

Sebaliknya, anak yang tidak memiliki kendali atas diri dan lingkungannya karena terbiasa dipaksa oleh orangtua, akan berangsur menjadi pribadi yang tidak mandiri. Ia sulit mengambil keputusan, sekalipun hanya untuk mengambil pilihan dalam perkara sederhana. Ia takut menghadapi resiko, yang sangat kecil sekalipun, terutama yang berimbas pada teguran orangtua. Padahal apa pun yang kita lakukan, pasti ada resikonya. Bahkan berdiam diri pun punya resiko.

Ketakutan menghadapi resiko tersebut bukan hanya terjadi saat mereka masih kanak-kanak. Jika tidak disadari, lalu secara sengaja diatasi, maka ketakutan dalam mengambil keputusan tersebut bisa berlanjut sampai mereka dewasa dan menjadi orangtua. Ia tetap menjadi kanak-kanak, bahkan di saat ia seharusnya bertindak sebagai orangtua dari anak-anaknya.

Serupa dengan takut menghadapi resiko adalah peragu. Ia sulit mengambil keputusan bukan terutama karena takut menghadapi resiko, tetapi karena sulit memilih. Ini mudah terjadi pada anak yang dibesarkan dengan pemanjaan. Anak tunggal, anak bungsu, atau anak laki-laki maupun perempuan satu-satunya dalam keluarga –begitu pula cucu laki-laki atau perempuan satu-satunya dalam keluarga besar—sering tumbuh dengan cara pengasuhan yang memanjakan. Mereka serba dilayani sehingga menyebabkan dirinya tidak memiliki keterampilan melayani dirinya sendiri. Mereka serba dituruti, sehingga tidak memperoleh kesempatan belajar menahan diri. Mereka juga sulit belajar berempati. Mereka juga terbiasa dipenuhi keinginannya, sehingga tidak ada kesempatan yang memadai untuk belajar menimbang, mengambil keputusan dan menentukan prioritas; mana yang lebih penting di antara yang penting.

Bahkan boleh jadi, sulit baginya untuk membedakan mana yang penting dan mana yang tidak karena ia miskin pengalaman untuk memilah antara kebutuhan dan keinginan.

Apa yang menyebabkan anak-anak itu mengalami kesulitan di masa dewasanya? Bukan sulitnya kehidupan. Bukan pula kecilnya pendapatan. Tetapi kekeliruan orangtua dalam mengasuh mereka. Bisa karena berlebihan dalam membantu anak menghadapi masalah, bisa juga karena mereka membiasakan anak hidup mudah sehingga anak kehilangan tantangan. Mereka sibuk mengurusi apa yang seharusnya diatasi sendiri oleh anak, sehingga anak akhirnya kehilangan inisiatif produktif.

Ini semua tidak berhubungan dengan kekayaan dan banyaknya fasilitas hidup. Ini terkait dengan sikap kita sebagai orangtua, termasuk kemampuan kita menakar setiap tindakan. Wallahu a’lam bish-shawab.

Muhammad Fauzil Adhim, penulis buku-buku parenting
Dikutip dan Update Judul oleh situs Dakwah Syariah
Red: Cholis Akbar


Rating: 5